Hippo mendengar segalanya. Tujuan dari ayahnya membiarkan Tulip menjadi sekretaris Hippo waktu itu, kedekatan yang Hippo dan Tulip jalani, dan semua yang terjadi adalah kesengajaan. Betapa hebatnya Tulip dan Agungsyah hingga membuat Hippo layaknya orang bodoh seperti ini. Dia ditipu habis-habisan oleh dua orang yang selama ini Hippo percaya. Bahkan dia mencintai Tulip tanpa menyangka akann seperti ini jadinya.
Tuhan sepertinya sengaja membuatnya lupa membawa dompet hingga harus kembali ke ruangannya dan menitipkan Nania pada resepsionis di lobi supaya putrinya tidak ikut bolak balik. Kenyataan bahwa Tulip menipunya didengar oleh Hippo sendiri tanpa disengaja. Hippo mendengar semua itu dari bibir ayah dan istrinya sendiri.
Hippo tidak tahu mana yang lebih parah. Apakah ayahnya yang memberikan jalan dan perintah bagi Tulip, atau Tulip yang bisa-bisanya mengikuti perintah Agungsyah untuk menjebak Hippo. Yang jelas, keduanya sama-sama mengecewakan bagi Hippo.
Melihat ayahnya yang akan pergi, Hippo memilih untuk bersembunyi dan tak mau membuat kegaduhan di kantor hingga banyak pihak melihatnya. Hippo akan menyelesaikan ini dengan caranya sendiri.
Sejujurnya suasana hati Hippo sudah anjlok ke dasar jurang kekecewaan. Dia ingin sekali mengungkapkan kemarahan, tapi dia memikirkan keberadaan Nania. Nania ada di bawah. Hippo memilih untuk mengurungkan niat mengambil dompet dan menjemput putrinya saja. Dia akan naik dan tidak membeli kopi seperti keinginannya semula.
"Papa!" seru Nania yang begitu ceria.
Demi putrinya, Hippo akan menahan diri.
"Hei."
"Ayo, Pa!"
"Em, Sayang. Papa nggak jadi beli kopinya."
Nania menatap papanya dengan kernyitan. "Kenapa, Pa?"
Hippo mencari alasan yang masuk akal untuk tidak membeli kopi. "Perut papa agak nggak enak. Kayaknya mending kita langsung makan. Mama udah siapin di ruangan papa."
Nania tidak sulit untuk dibujuk. Dengan cepat anggukan Nania berikan pada papanya tanpa memikirkan ada apa sebenarnya sang papa menolak membeli kopi. Nania juga tidak menyadari sepenuhnya perubahan mood papanya yang tidak sebahagia sebelumnya.
"Papa mau poop?" tanya Nania yang menengadah dan mendapati raut murung papanya.
Anak itu hanya bisa menyimpulkan bahwa papanya merasakan sakit perut dan butuh buang air besar hingga tidak jadi membeli kopi.
"Nggak, Nia. Papa cuma ngerasa perutnya nggak enak, bukan mau poop."
"Ohhh. Biasanya Nania selalu bete kalo mules, Pa. Apalagi kalo mulesnya di sekolah, Nania malu mau bilang ke bu gurunya. Makanya kalo Nania tahan, Nania jadi kesel, terus suka ditanya-tanya sama bu guru."
Penuturan Nania memang masuk akal sesuai usia anak itu. Namun, kondisi Hippo ini tidak sama seperti apa yang Nania keluhkan. Hatinya sakit mengetahui istrinya menipu hingga menggunakan Nania sebagai jebakan. Hippo bahkan langsung melihat ke arah Nania yang tidak mengerti apa pun. Hippo ingin marah, tapi bukan pada anaknya.
Mereka sampai di ruangan Hippo dan mendapati meja sudah dipenuhi dengan makanan yang Tulip bawa. Senyuman perempuan itu membuat Hippo kesal bukan main. Bagaimana bisa akting kamu senatural ini, Li?
"Mas?" Tulip memanggil suaminya yang mematung di depan pintu.
"Hm?"
"Kamu kenapa? Kata Nania kamu sakit perut, makanya nggak jadi beli kopi."
Hippo menatap putrinya yang sudah duduk di sofa dan menunggu kedua orang tuanya untuk bergabung. Lalu, tatapannya berganti ke arah Tulip dan dia benci karena tidak menemukan kebohongan di sana.
"Aku ke kamar mandi dulu. Kalian makan duluan aja, jangan tunggu aku. Aku mungkin agak lama."
Hippo berjalan menuju kamar mandi dan membuat Tulip kebingungan dengan sikap suaminya yang aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Wedding Debt / TAMAT
RomanceTulip harus melunasi hutang mendiang orangtuanya yang mati karena bunuh diri bersama. Tekanan demi tekanan menghampiri, hingga akhirnya ayah dari Hippomenes menawarkan kesempatan. "Buat putra saya menikahimu. Buat dia jatuh cinta padamu." "Dengan...