14.3 ; The Wedding Debt

1.4K 166 2
                                    

Setiap tumbuh kembang Nania tidak pernah dilewati oleh kedua orang tuanya. Tulip adalah orang tidak ketinggalan untuk menjadi saksi dari setiap perkembangan putrinya. Apalagi ketika pertama kali Nania mengucapkan kata-kata dari mulut mungilnya. Untung saja Tulip memiliki ide untuk selalu menangkap gambar atau video sedari Nania kecil di kamera yang dibelikan Hippo karena merasa mereka harus memiliki satu benda khusus untuk melihat perkembangan Nania dari waktu ke waktu jika merindukan momen tersebut atau memang sedang iseng untuk melihat-lihat saja. 

"Apapapa."

Tulip harus mengakui bahwa kata papa adalah yang pertama kali muncul dari bibir Nania dan sulit untuk mempengaruhi anak itu untuk menyebutkan kata mama. Berulang kali diminta mengucapkan kata mama, maka Nania kecil akan mengatakan papa. 

Awalnya, itu menjadi masalah bagi Tulip. Wajahnya berubah lesu karena Nania lebih mudah mengucapkan kata papa. Bahkan berulang kali hingga Hippo merasa senang luar biasa. Namun, setelah menemui dokter anak untuk melakukan cek kesehatan rutin Nania, barulah Tulip mendapatkan penjelasan yang membuat hatinya tenang. Nania sulit mengucapkan kata mama karena anak itu merasa Tulip adalah bagian dari diri Nania. Ya, maklum saja. Sejak di dalam kandungan mereka sudah berbagi tubuh yang sama.

Diusia Nania yang hampir dua tahun, barulah Nania mau mengucapkan kata mama. Itu pun terjadi karena Tulip harus buang air besar dan anak itu tak mau ditinggalkan. Nania meraung mengucapkan kata mama di depan pintu kamar mandi hingga Tulip harus cepat-cepat menuntaskan agenda poop yang membuat perutnya mulas.

Sekarang, bayi itu sudah menjelma menjadi balita yang banyak maunya. Apalagi jika menyangkut urusan papanya.

"Itut!" seru Nania yang tak mau ditinggalkan Hippo untuk bekerja.

"Nia, Papa mau kerja, Nak."

Tulip mencoba menggendong anak itu, tapi Nania melingkarkan tangan di kaki papanya.

"Itut, Papa. Itut."

Hippo yang sangat menyayangi putrinya merasakan gempuran di dada karena wajah memelas Nania di kakinya.

"Nggak boleh, Nak. Papa kerja dulu, ya?"

Nania mulai menangis dengan gayanya. Bibir anak itu melebar dan turun ke bawah, lalu dengan kekuatannya, Nania mendapatkan atensi papanya secara penuh.

"Biarin Nia ikut, Ma."

"Siapa yang jagain, Mas? Kasian kalo harus di kantor, dia nanti bosen, kamu yang repot."

Hippo menutup mata putrinya sejenak dan mencium bibir Tulip yang langsung terkejut.

"Kamu nanti ke kantor, Ma. Temani aku dan Nia."

Hippo membuat Tulip tersipu disaat Nania meronta untuk melepaskan tangan papanya.

"Aaaaaa! Igiy Papa!"

Anak itu meminta tangan Hippo untuk menyingkir dari wajahnya. Membuat Hippo dan Tulip tertawa.

"Kamu siap-siap dulu, aja. Papa berangkat duluan nggak apa-apa, Ma?"

Tulip mengangguk. Dia masih mengenakan baju rumah dan belum mandi setelah mengurus Nania yang sudah cantik.

"Nanti aku suruh sopir jemput kamu. Siapin kebutuhan Nania aja dulu, aku bisa ngurus Nania di kantor. Asal kamu jangan lama-lama datengnya."

Tulip tertawa dan mengerti wajah cemas Hippo jika Nania terlalu lama bersama pria itu di kantor.

"Aku paham." Tulip mendorong tubuh Hippo yang menggendong Nania untuk keluar menuju mobil.

"Makasih mau jadi pengasuh Nania, ya, Papa. Aku bisa punya waktu sedikit buat santai, eh, siap-siap maksudnya."

Hippo membalik badan dan mencubit pipi istrinya. "Jangan disengaja lama, Sayang. Aku bakal hukum kamu di kantor kalo lama dateng."

Pipi Tulip semakin merona. Mereka berdua tahu apa makna hukuman yang dimaksudkan.

"Iya, Papa. Have fun sama Papa dulu, ya, Nia!"

Nania mengangguk senang. "Itut Papa!"

Beginilah keluarga bahagia. Semoga saja selamanya bahagia mengiringi mereka.

The Wedding Debt / TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang