dua puluh tujuh | ɥnɾnʇ ɥnlnd ɐnp

8.2K 1.4K 125
                                    

"Demi pelayan itu kau memilih mati, Sera?" tanya Abinawa sambil memandangku dalam dengan mata biru tuanya.


Abinawa versi mata biru tua itu seratus kali lebih berbahaya.

Aku menguatkan hati "Pelayan juga makhluk Tuhan, Abinawa. Tidak seharusnya kalian memperlakukan mereka bagai sampah!" mengambil jeda sebentar lalu melanjutkan, "Lagipula siapa tahu setelah mati aku bisa bertemu dengan Rakai di akhirat. Kau pasti melenyapkannya juga kan? Karena setelah aku mati maka kau bisa menemui pelayan kecil malang itu."

"Iya, aku akan melenyapkannya hingga hancur menjadi cahaya!"

Siluman sialan!!!

"Hmm," Aku merasakan tangan Abinawa bergerak melingkari leherku. Mencoba tersenyum sambil memandang wajah Abinawa untuk terakhir kali "Terima kasih atas segalanya Abinawa. Berbahagialah, aku benar-benar berharap kau bisa bahagia." Kedua tanganku luruh jatuh ke sisi tubuhku dan mataku terpejam. Di dalam hati mulai melafalkan syahadat untuk yang terakhir kali.

Sumpah, aku kecewa pada Abinawa sekarang.

"Sebegitu inginkah kau mati menggantikan Rakai?" tanya Abinawa dengan gigi bergemeretak geram.

"Iya, cepat lakuhhhmmppt" mataku seketika terbuka kembali karena suamiku yang tergoda pelakor tadi bukannya mencekikku tetapi malah menciumku dengan kasar.

Siluman b-ABI ini sudah gila!!!

Aku memang beberapa kali dicium oleh Abinawa namun kali ini aku sadar dia bukan manusia. Tak ada belas kasihan. Tidak ada ampun sama sekali. Dia menekan keras-keras tengkukku dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memeluk pinggangku erat bahkan rasanya badanku terangkat dan kakiku tak lagi menapak tanah.

Tanganku berusaha mendorong dan tidak lupa memukulnya berkali-kali namun tampak tak ada pengaruh sama sekali baginya. Abinawa terus menekan, menghisap dan melumat bibirku kasar. Seakan dia tengah menyalurkan semua kemarahannya padaku. Menghukumku dengan cara terkotor tanpa memberi celah sedikitpun padaku untuk menghindar.

Aku benci... aku benci diriku yang lemah.

Aku menggeram marah sekaligus putus asa. Air mataku bahkan kini mentetes dan mengalir turun ke pipiku. Kemarahannya seakan ikut membakar tubuhku.

Darahku bergejolak seakan siap meledak. Sakit... sakit... sakit sekali karena rasanya jantungku diremas keras oleh tangan tak kasat mata. Udara dingin di sekitarku bahkan terasa ikut memanas. Aku tidak tahan lagi... tidak tahan lagi.

"Aaaaaarrrrggg!" teriakku keras seakan memecah kesunyian malam.

"Whuuuuus.... Dhuuuuk!!!" Abinawa tiba-tiba terhempas menjauh dari tubuhku dan berakhir membetur pohon.

"Haah... hah... hah..." suara napasku tersenggal. Aku bahkan agak membungkuk dengan kedua tangan bertopang pada pahaku sambil mencari pasokan oksigen baru bagi paru-paruku.

"HAHAHA," tawa keras Abinawa terdengar membahana membuatku ingin menendang mukanya.

Siluman Abi-adab mesum sialan!

Abinawa bangkit berdiri lalu dia menyeka cairan kehitaman yang mengalir dari sudut bibirnya. Aku pikir itu warna darah siluman. Walau tidak begitu yakin karena baru kali ini aku melihatnya. Dalam pertarungan saat pesta dulu hanya manusia yang berdarah-darah sedangkan anak siluman nyaris tidak terluka.

Namun, aku yakin tadi tidak menggigit bibir Abinawa saat kami berciuman... ralat, saat dia menciumku dengan memb-ABI buta. Apa jangan-jangan beberapa hari yang lalu Abinawa tidak hanya terluka tangan kirinya saja tetapi ada luka dalam yang dia sembunyikan? Soal menyembunyikan sesuatu dialah ahlinya.

Lain Dunia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang