lima puluh empat | ʇɐdɯǝ ɐɯᴉl ɥnlnd

5.8K 1K 30
                                    

Beberapa hari telah berlalu setelah kejadian di tempat peristirahatan ayah dan ibu Abinawa. Suamiku juga bersikap normal bahkan tidak membahas masalah itu lagi. Diriku tak berani bertanya ataupun mengkonfirmasi kecurigaanku padanya. Walau begitu, aku yakin 99 persen tebakanku benar meski Abinawa tidak mengakui ataupun membantahnya.

"Kenapa kita kemari?" tanyaku pada Abinawa.

Tumben sekali Abinawa membawaku ke tempat bermain anak-anak harimau. Setelah penculikanku waktu itu, siluman sengklek ini menjadi suami siaga yang nempel terus di sampingku, dia paling hilang dalam beberapa jam saja. Saat keluarpun, Abinawa membuat diriku terkunci di dalam kamarnya. Aku pernah iseng memanggil pelayan namun tidak ada yang datang. Diriku curiga suami abal-abalku sengaja membuat perlindungan tambahan di kamar ini.

Siap siaga mencegah bahaya.

Rakai juga tidak bisa aku panggil lagi. Awalnya, aku khawatir pada pelayan kecilku itu. Takut jika Abinawa berbohong saat mengatakan dia sedang memulihkan diri padahal sebenarnya dia sudah lenyap menjadi cahaya. Suamiku itu memang baik hati tapi jago banget bohongnya. Tahu sendiri bahwa penipu ulung itu sulit diprediksi kapan sedang jujur atau kapan bohongnya. Datar-datar aja ekspresinya.

Abinawa itu 'poker face' banget pokoknya.

Mungkin Abinawa jengah karena aku terus bertanya maka suatu hari dia mengantarkan diriku menemui Rakai. Anak kecil itu tertidur dalam selubung cahaya. Dia terlihat bagai berada dalam gelembung yang melayang. Akan tetapi karena ini sihir maka gelembung itu bukan dari air melainkan cahaya. Abinawa berkata bahwa Rakai butuh waktu lebih lama untuk pulih karena yang terluka bukan raga melainkan jiwa.

Hal inilah yang membuatku meneteskan air mata saat memandangnya. Demi menolongku dia sampai terluka begini. Selama ini, aku menjaganya agar tidak sampai dilukai oleh Gurnita maupun Abinawa, namun kenyataannya diriku lah yang menjadi penyebab Rakai terluka.

Manusia punya rencana namun semesta punya kenyataan.

Mungkinkah aku dibuang karena dianggap sebagai pembawa sial oleh orang tuaku? Bukankah setiap bayi itu dilahirkan suci? Masalahnya, makin hari aku semakin sadar bahwa diriku memang menjadi awal petaka untuk siapapun yang berada di dekatku.

"Abi, kenapa tidak jawab pertanyaanku sih?" tanyaku lagi mengabaikan pikiran buruk yang terus bersarang di kepalaku beberapa hari ini.

Abinawa melirik ke arahku yang memang sedang dia gandeng seperti biasa "Parulian ingin bertemu denganmu," jawabnya santai.

"Oh."

Kami berjalan berdampingan memasuki miniatur hutan ini. Jujur, aku juga kangen menggendong anak-anak harimau yang cute itu. senyumku terbit kala melihat mereka sedang bermain di rerumputan seperti biasanya.

Aku segera melepaskan genggaman tangan Abinawa lalu berjalan bergegas mendekati mereka. Seolah menyadari kedatanganku, mereka berhenti bermain dan mulai berlari mendekatiku juga. Diriku terduduk di rerumputan kala mereka seakan mengerubutiku seperti biasa. harimau-harimau kecil ini berlomba naik ke pangkuanku.

Tanganku mengangkat salah satu anak harimau yang terjatuh karena tersengol temannya. "Aku kangen banget sama kalian!" seruku antusias.

"Ckckck... bagaimana bisa kau kangen dengan anak-anak nakal ini dibanding suamimu sendiri?" tanya Abinawa lalu duduk di sebelah kiriku dengan terlebih dahulu menghalau sebagian anak harimau agar menjauh dengan tangan dan kakinya.

Hewan yang tidak berperikehewanan itu yaa Abinawa.

Abinawa itu kalau baik mode on maka baiknya kebangetan, namun kalau jahat mode on maka jahatnya juga all out.

Lain Dunia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang