empat puluh dua | ɐnp ɥnlnd ʇɐdɯǝ

6.5K 1.2K 74
                                    

Merayakan HUT Negara tercinta kita
Indonesia
Negeri elok amat kucinta
Tanah tumpah darahku yang mulia
Yang kupuja sepanjang masa

Aku percepat update untuk kalian.
(Paling pegel leher, kaki, mulut kalo ikut lomba. Tapi mata nggak donk yaa)

Silahkan dibaca
(Itu juga kalau mau... Sumpah, nggak maksa.
Kemerdekaan ialah hak semua makhluk Tuhan yaa kan, kecuali yang lemah, Eh)
🇮🇩 🇮🇩 🇮🇩

------------------------------------

Terdengar bunyi riak air saat wanita itu menyelam dan tak lama dia muncul kembali ke permukaan danau. Tetesan air jatuh membasahi wajah cantiknya. Dia bahkan terlihat lebih terang dari sinar bulan karena rambut keemasannya yang kini basah tetap kontras dengan air dan keadaan taman yang gelap.

Kedua tangan Gurnita terangkat memberi isyarat "Abinawa, kemari. Aku kedinginan. Peluk aku Abinawa!" pintanya manja.

Mau tak mau, aku akhirnya benar-benar menolehkan wajahku menatap Gurnita. Sejak tadi aku berusaha abai tetapi aktivitasnya tetap tertangkap ekor mataku. Tidak mungkin juga aku menutup mata karena akan terkesan tolol nantinya. Merutuki diriku yang salah mengambil keputusan. Seharusnya aku pergi dari sini saja tadi.

Mataku tak ayal memindai wanita itu. Wajahnya masih secantik dulu, rambutnya masih seindah dulu, aroma tubuhnya masih seharum dulu. Selama ratusan tahun aku selalu menahan diri. Iya, aku selalu memakai topeng dan tidak membuka diriku yang sebenarnya. Mungkin ini saatnya aku harus mengikuti kata hati dan tidak terus berpura-pura lagi.

Apa Gurnita benar-benar telah hilang dari hatiku? Tentu tidak. Menghilangkan cinta itu lebih sulit daripada jatuh cinta. Dulu aku telah memilih dan kini aku juga harus memilih. Hidupkan memang tentang pilihan. Entah baik atau buruk aku akan terima semua akibatnya. Paling tidak, aku tidak menyesal di kemudian hari karena telah melakukan hal yang kuinginkan.

Memantapkan hati dan mengabaikan logikaku. Aku segera melompat turun dari batu besar yang tadi aku duduki. Sebenarnya danau ini dalam, namun tidak akan menengelamkan siapapun, badanmu akan tetap terapung dipermukaan.

Akupun melangkah perlahan menghampiri wanita cantik yang setengah badannya terendam air itu. Mataku terfokus menatapnya yang tengah tersenyum ke arahku. Akupun membalas senyumannya.

Tiba di tepi danau, aku berjongkok di hadapan Gurnita masih sambil mempertahankan senyumanku "Apa aku perlu panggilkan pengawal ke sini untuk menemanimu sekaligus menghangatkanmu? Mau satu, dua atau sepuluh pengawal, hm?"

"Ap_____"

Memotong kata-katanya, senyumku bahkan kini sudah berganti menjadi seringai meremehkan, "Hmm, atau haruskah aku panggilkan kakak ketigaku saja? Kanda Karunasankara mungkin bisa lebih memuaskanmu dibanding para pengawal rendahan itu, Gurnita," ucapku pelan tidak merasa tergoda dengan kemolekkan tubuhnya yang tersaji gratis di depanku.

"___" Tak ada kata yang keluar sebagai balasan dari perkataanku kali ini. Senyum yang tadi bertahan di bibir Gurnita juga lenyap begitu saja.

Mungkin dia sesaat tadi mengira bahwa aku turun dari batu besar karena telah tergoda rayuannya. Kini bahkan ada gurat terkejut sekaligus kemarahan di wajah cantik itu sebab aku ternyata mengetahui semua rahasianya. Iya, aku selama ini hanya berpura-pura tidak tahu akan kelakuannya saat menjadi istri kakakku.

Sebenarnya, aku tak ingin ikut campur dan menyimpan semua hanya dalam hati. Bukan tidak peduli pada keluarga, akan tetapi mereka semua itu sudah dewasa untuk memilih jalan hidupnya. Toh, pada akhirnya mereka sendiri yang harus menanggung konsekuensinya. Seperti manusia, kami juga mudah tergoda oleh napsu. Nyatanya, mengendalikan napsu memang tidak pernah mudah.

Lain Dunia (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang