Membawa sepiring besar tempe mendoan yang baru matang ke arah meja makan. Mengikuti Nyonya rumah yang tadi bersamaku di dapur. Beliau bukan memasak tapi mengawasi ART yang sibuk mempersiapkan makan malam. Aku ikut memasak? Tentu tidak karena lebih sering mencicipi ini itu sambil mengekori sang nyonya besar. Oh iya, tempe mendoan tidak pernah absen saat makan karena ini adalah makanan kesukaan tuan pemilik rumah ini.
Aku duduk di samping Bumi yang kini tengah asik dengan ponselnya. Menyenggol sedikit tangannya agar dia menghentikan games yang tengah dimainkannya, karena semua orang termasuk Tuan Besar Hartedjakusuma sudah duduk di kursinya. Setiap Jumat malam aku pasti kemari untuk sekedar berkunjung atau makan malam sesuai permintaan sang nyonya besar.
Tenang, mereka bukan keluarga bangsawan yang menakutkan, walau dibilang orang biasa juga tidak mungkin. Keluarga berdarah biru serta old money yang sangat down to earth menurutku karena bersedia menerima diriku yang termasuk mudblood (berdarah lumpur) ini jadi cukup berharga untuk bisa dekat dengan keluarga mereka. Memang kenyataannya mereka sering terlibat dalam berbagai kegiatan sosial.
Izinkan aku memperkenalkan mereka, yang pertama tentu saja Raden Wira Djaya Hartedjakusuma atau yang aku panggil Om Wira. Pria berusia 58 tahun yang setahuku merupakan direktur dari perusahaan retail di Jakarta, pemilik perkebunan, tempat wisata serta hotel. Jujur aku tidak ingin tahu detailnya karena makin membuatku jiper seketika sebab sadar diri sebagai rakyat jelata… hiks. Ada pula, Tante Aya alias Gayanti Pramesti Subagja yang adalah ibu kandung Bumi.
Pasangan ini memiliki empat orang anak yang semuanya laki-laki. Mereka itu adalah R. Dharma Bhandrika Hartedjakusuma, R. Ganendra Hara Hartedjakusuma, R. Janu Mahija Hartedjakusuma dan yang terakhir tidak lain tidak bukan yaitu R. Bumi Ravindra Hartedjakusuma. Dua kakak bumi kini menetap di Singapura. Mas Janu mengurus bisnis keluarga sedangkan Mas Ganendra bekerja sebagai pilot di maskapai asing.
Di rumah ini, selain Bumi ada juga Mas Dharma beserta istrinya. Mbak Ratih yang aku tidak hapal nama lengkapnya karena sangking panjang dan rumit urutan namanya. Perempuan ayu ini masih keturunan keraton Surakarta. Bisa kalian bayangkan betapa sebenarnya aku ingin kabur sangking merasa bagai duri dalam daging… Aaaarrrrggg.
Sayangnya mereka baik sekali padaku, apalagi Tante Aya. Mungkin karena beliau tidak punya anak perempuan. Entah kesambet apa karena dulu Tante Aya juga menawarkan untuk mengadopsiku. Untung dulu aku menolak. Menjadi saudara angkat Bumi adalah hal yang paling... paling... paling... paling... paliiiiiiiiiing nggak aku mau… ngenés banget ntar hidupku, iya kan?
Tapi berhubung Tante Aya baiknya keterlaluan jadi bukannya terhina karena penolakanku, dia malah memilih mendukungku secara finansial. Memberi aku jalan agar bisa berdamai dengan takdir kelam yang terus-menerus menimpaku. Mengubah masa lalu tidak mungkinkan, jadi masa depan yang harus dirubah. Itu pula yang sedang aku perjuangkan hingga detik ini.
Sebenarnya sejak kecil aku menolak semua orang yang berniat mengadopsiku. Berbagai cara aku lakukan, entah dengan cara bersembunyi saat panti mengadakan acara-acara yang dihadiri donatur, bermain ke luar panti saat ada orang tua yang sedang ingin mengadopsi anak atau yang sering terjadi adalah aku mendadak deman saat Ibu panti berniat mempertemukan aku dengan orang tua yang berkeinginan untuk mengadopsiku. Bukannya faktor psikis memengaruhi fisik seseorang? Kemungkinan aku sakit karena stress mungkin.
Hingga akhirnya Ibu panti menyerah setelah aku menangis histeris dan memohon agar diizinkan tinggal di panti sampai aku besar. Tetapi untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak. Pada akhirnya aku yang berkeinginan untuk keluar panti saat akan masuk SMA.
Mungkin seperti cerita dongeng, Rapunzel yang terkurung di menara ingin ke luar karena dia penasaran tentang dunia di balik tembok itu. Sebaliknya aku tak ingin keluar karena takut menghadapi dunia luar yang tak terbayang seperti apa bentuknya. Namun akhirnya kami berdua mengambil keputusan yang sama yaitu keluar dari tempat yang teraman yang kami tinggali seumur hidup karena tempat itu tidak terasa aman lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lain Dunia (Tamat)
خيال (فانتازيا)Membuka mata perlahan. Potongan-potongan ingatan bagai berkumpul melengkapi puzzle mengerikan tentang peristiwa kecelakaan yang kami alami tadi malam. Mobil menghantam pembatas jalan dan sepertinya terperosok ke semacam jurang hingga terhenti karena...