"Sayang, besok jadwal kamu terapi ya?" tanya Mama Kim pada anaknya yang tengah sibuk mengerjakan suatu hal di studio mininya.
Mendengar ucapan tersebut, Jennie menoleh. Sebenarnya ia sangat malas, apalagi saat mendengar kata terapi atau berobat. Sungguh ia ingin sekali saja dalam sehari tidak menegak pil-pil itu atau tak merasakan sakitnya terapi tiap bulan. Tapi bagaimana lagi, hidupnya bergantung dengan obat-obatan itu.
"Iya ma, mama bisa nemenin kan?" tanya Jennie sedikit mewanti-wanti.
Jennie tau mamanya sangat sibuk dan pekerjaannya sangat banyak. Untuk menghabiskan waktu makan berdua saja susah, apalagi menghabiskan waktu berdua layaknya anak dan ibu?
Bahkan ia beberapa kali sering ditemani berobat oleh member lain, manager, atau bahkan sendirian. Ya, sendirian menahan semua rasa sakit itu, tanpa ada yang mendampingi dan memberi dukungan untuk melewati hari berat itu.
"Iya mama bisa nemenin kok, kebetulan besok jadwal mama free." jawab sang mama sambil mengelus rambut anaknya.
Jennie senang bukan main, karena akhirnya mamanya bisa menemani dia untuk terapi.
"Yaudah sekarang kamu tidur gih, udah malem, kan besok harus bangun pagi." perintah mama kim.
"Temenin tidur yaa," rengek jennie pada mamanya, setidaknya ia berharap dengan mamanya yang tidur disampingnya membuat mimpi buruk itu enggan datang berkunjung ke alam bawah sadarnya.
"Boleh, yuk!" mamanya pun meng-iyakan keinginan anaknya.
Karena sungguh, mau sebesar apapun Jennie dan berapapun umurnya, di mata sang mama, Jennie tetap menjadi anak kecil yang manja. Setelah menyelesaikan ritual malamnya, Jennie dan mamanya pun bersiap tidur.
Benar saja, sampai pagi, Jennie sama sekali tidak mimpi buruk. Ia tidak terbangun lagi sambil terisak dan sesak napas.
"Jennie, sayang, bangun yuk, udah pagi, buruan gih siap-siap, nanti keburu siang." kata Mama Kim sambil membangunkan Jennie.
Jennie mengerjapkan matanya lucu lalu segera mengumpulkan nyawa dan segera bersiap, karena hari ini akan menjadi hari yang berat.
Sesampainya di rumah sakit milik papanya, Jennie menarik napas panjang dan menghembuskannya. Mama kim yang menyadari hal itu langsung memegang erat tangan Jennie dan memberikan kalimat penyemangat. "Kamu kuat sayang, kamu pasti bisa." yang hanya dijawab senyuman oleh Jennie.
Setelah bertemu dokter, perawat langsung mengantarkan Jennie ke ruang perawatan. Lalu berganti baju dan Jennie-pun mulai berbaring di bangsal.
"Udah siap?" tanya dokter dengan senyum manis andalannya.
"Siap ga siap harus siap sih." jawab Jennie seadanya dengan senyum tipis yang mengiringinya, karena jujur meskipun sudah cukup sering melakukan ini, ia masih gugup dan takut.
"Kita mulai ya, kalo sakit lampiasin aja jangan ditahan." kata dokter yang hanya dijawab anggukan oleh Jennie.
Dokter dan perawat mulai memasang alat-alatnya. Jennie mulai meringis saat satu suntikan mulai diberikan dan perawat mulai memasangkan infus. Tenang Jennie ini hanya permulaan, selanjutnya akan lebih berat lagi.
Mamanya pun sedari tadi tak menghilangkam fokusnya menatap Jennie yang kadang meringis kesakitan. Sungguh bagaimanapun jika ia bisa meminta, ia akan menggantikan posisi Jennie disana, menggantikan rasa sakit yang harus diderita. Tapi itu hanyalah sebuah angan, tanpa bisa diwujudkan, sekarang ia hanya bisa menatap sendu anaknya yang sedang berjuang.
"Maaf ya," kata dokter sambil mulai melakukan proses pengobatannya.
Jennie menutup matanya ketika mulai merasakan sakit yang cukup luar biasa. Sesekali ia meringis, matanya memerah yang tak lama akan mengeluarkan air mata.
Jennie mulai meremas selimut yang ia kenakan, berusaha menahan rasa sakit yang sebenarnya tak tertahankan.
Percayalah, dibalik senyumnya diatas panggung, terdapat tumpukan rasa sakit yang tak terbendung.
Jennie mulai mengatur napasnya, karena sungguh seiring waktu berjalan, semakin bertambah pula rasa sakitnya. Mama kim sudah berada disamping Jennie, menggenggam erat tangannya dan sesekali menghapus keringat yang bercucuran di keningnya.
Jennie mulai terisak kecil. ia harus bisa menahan ini karena rangkaian jadwal padatnya akan segera tiba.
Treatment tersebut menghabiskan waktu sekitar 1 jam, ya 1 jam yang terasa 1 hari bagi Jennie. 30 menit pertama ia masih bisa menahannya, tapi entah kenapa setelah itu napasnya menjadi berat dan tersengal-sengal.
Sehingga mau tak mau ia harus menggunakan masker oksigen untuk membantunya bernapas. 15 menit sebelum neraka itu berakhir, Jennie menatap lemas mamanya dan ia mengucapkan, "ca--pek" meskipun tidak terlalu jelas karena tertutup masker oksigen, Mama Kim masih bisa membaca pergerakan bibir anaknya.
"Iya sayang, sebentar lagi selesai, sabar ya, kamu pasti kuat" jawab Mama Kim dengan suara yang sedikit bergetar melihat anaknya menderita kesakitan.
Jennie hanya bisa mengangguk pelan. Tenanglah Jennie kim, sebentar lagi siksaan ini akan berakhir, bersabarlah, kau pasti bisa, kau pasti kuat.
Akhirnya 1 jam tersebut berhasil dilewati oleh Jennie kim. Good job, Jennie, you did very well.
Tapi apakah itu berarti siksaan ini akan berakhir? Tentu saja belum. Ini bahkan baru permulaan, karena siksaan sebenarnya baru saja dimulai.
KAMU SEDANG MEMBACA
BEHIND HER SMILE | JENNIE KIM
FanfictionNyatanya, semua yang terlihat bukanlah apa yang sebenarnya. Karena sejatinya, itu hanyalah sebuah topeng yang digunakan ketika tawa tak lagi bisa menutup luka.