Menolak pindah

1.8K 71 2
                                    

"Ke mana perginya anak itu? Kenapa sampai malam begini dia masih belum juga pulang ke rumah?!"

Anggoro Jaya Diningrat tampak berjalan mondar mandir di depan pintu rumah menunggu kepulangan sang putra. Pria paruh baya yang selalu terlihat kharismatik itu, tampak memijit pelipisnya, pusing memikirkan tingkah laku sang putra yang sudah sangat keterlaluan.

"Seharusnya aku tidak membiarkan Angger mengejar perempuan itu!"

Anggoro Jaya Diningrat berkali-kali melihat pemandangan di luar rumah, tapi tetap saja sepi. Hanya ada sisa-sisa pesta pernikahan tadi siang. Pesta pernikahan yang sudah dikacaukan oleh putranya sendiri. Sehingga membuatnya terpaksa harus menyudahi acara lebih cepat dari waktu yang sudah ditentukan.

Rasa pening di kepalanya membuat dia tidak menyadari kedatangan sang istri, yakni Nirmala Jaya Diningrat. Pria itu berjingkat kaget saat ada yang menyentuh pundaknya. Dengan cepat Anggoro Jaya Diningrat memutar leher. "Bunda?"

"Apa yang Ayah lakukan di sini? Kenapa tidak menunggu di dalam saja? Sebaiknya Ayah masuk, angin malam tidak bagus untuk kesehatan." Sang istri berusaha untuk menasehati.

"Ayah tidak akan bisa tidur dengan nyenyak jika belum berbicara dengan Angger. Anak itu sudah sangat keterlaluan, Bunda. Bagaimana mungkin dia pergi meninggalkan Bunga di hari pernikahan mereka. Seharusnya Angger bisa menghargai perasaan Bunga, karena Bunga sekarang sudah menjadi istrinya!"

Ada gurat kekecewaan yang terpancar jelas dari wajah pria paruh baya itu, dan Nirmala sangat memahaminya. Wanita itupun sangat menyayangkan sikap putranya tadi siang. Tetapi dia berusaha untuk tidak menunjukkannya di depan sang suami.

"Bunda tau Ayah kecewa. Tapi kita tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Angger. Karena kita tahu keadaan ini memang berat baginya. Mungkin Angger butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Yang terpenting sekarang Angger sudah bertanggung jawab untuk menikahi Bunga."

Nirmala mengusap pelan pundak sang suami dengan penuh kelembutan sebelum melanjutkan ucapannya.

"Sebagai orang tua kita hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk rumah tangga mereka. Memang tidak mudah menjadi Angger, apalagi Bunga. Gadis itu pasti sangat tertekan dengan keadaan yang sudah terjadi siang tadi," sambung Nirmala.

"Ayah hanya takut Angger tidak bisa menerima pernikahannya. Karena kita sudah terkesan memaksanya."

Anggoro Jaya Diningrat tampak menghela napas dalam, kemudian mengembuskannya dengan perlahan.

"Tapi kita tidak punya pilihan lain. Ada bayi yang tak berdosa yang sudah bersemayam di dalam perut Bunga. Dan itu karena perbuatan putra kita."

Gurat-gurat lelah tampak jelas terlihat dari wajah pria paruh baya itu. Sejak mengetahui sang putra telah menghamili anak dari pembantu mereka sendiri, Anggoro Jaya Diningrat memang tidak pernah bisa tidur dengan nyenyak.

Banyak pikiran yang menghantui kepalanya. Karena bagaimanapun juga Angger adalah putra satu-satunya yang harus meneruskan tra Jaya Diningrat. Sebagai keluarga Ningrat yang terpandang, banyak beban dan tanggung jawab yang harus dipikul oleh seorang Angger Jaya Diningrat sebagai seorang penerus.

"Bunda tahu apa yang Ayah khawatirkan. Tapi kita harus percaya dengan putra kita. Satu kesalahan putra kita Bunda harap tidak akan menghilangkan banyak kebaikan dalam dirinya," kata Nirmala kepada suaminya.

Anggoro Jaya Diningrat pun setuju dengan apa yang dikatakan oleh istrinya tadi. Karena selama ini Angger adalah anak yang baik, dan tidak pernah mengecewakan keluarganya. Budi pekerti luhur yang selalu mereka tanamkan sejak Angger kecil, itulah yang membuat Angger tumbuh menjadi anak baik.

Namun, kesalahan fatal yang telah dilakukan Angger kepada Bunga. Membuat Anggoro sebagai Ayah ingin mencari tahu penyebabnya. Bagaimana bisa sang putra terlibat dengan alkohol dan juga obat perangsang yang ada di dalam minumannya. Pria paruh baya itu bertekad akan menyelidikinya.

"Ini sudah terlalu malam Yah. Sebaiknya kita masuk!" ajak sang istri.

Anggoro jaya Diningrat pun menyetujui karena kasihan melihat istrinya yang pasti sudah lelah. Wanita itu pasti juga seperti dirinya yang sangat kepikiran dengan masalah yang akhir-akhir ini telah menimpa keluarga mereka. Sehingga keduanya pun memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kamar.

Di rumah yang sama tetapi di dalam kamar yang berbeda. Bunga sudah berada di dalam kamarnya sendiri, kamar pembantu yang sudah ia tempati sejak tinggal di kediaman keluarga Jaya Diningrat. Bunga masih ditemani oleh dua orang tersayangnya, yaitu Ibunya dan juga Nisa.

"Sudah Bunga jangan dipikirkan lagi. Juragan muda memang begitu, dia tidak pernah betah berdiam terlalu lama di rumah, karena beliau sudah memiliki apartemen sendiri yang lebih dekat dengan kantor. Tapi aku yakin Den Angger pasti akan menjemputmu untuk tinggal bersamanya. Sekarang kan kalian sudah menjadi suami istri," ucap Nisa.

Perempuan yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di atas Bunga itu, berusaha membujuk Bunga agar gadis itu tidak bersedih lagi. Karena Nisa tahu Bunga pasti sangat terpukul melihat perbuatan suaminya yang lebih memilih untuk pergi dengan mantan tunangannnya di hari pernikahan mereka.

"Nisa benar, Nduk. Jangan berpikiran buruk dulu terhadap suamimu. Mungkin dia pergi karena masih ada masalah yang harus diselesaikan dengan Nona Laura. Pernikahan kalian terjadi sangat mendadak, pasti banyak sekali permasalahan yang belum mereka selesaikan."

Bi Zaenab menggenggam erat tangan putrinya, berusaha untuk menenangkan dan juga menyalurkan kekuatan.

"Yang harus kau lakukan kedepannya adalah menjadi istri yang baik. Karena sekarang surgamu sudah bukan pada Ibu lagi, tapi sudah berpindah kapada suamimu. Sebagai seorang istri kau harus mengabdi kepada suami. Jangan pernah membantah kata-katanya jika memang itu adalah hal yang benar. Kau bisa melakukannya kan, Nak?" tanya Bi Zaenab yang membuat Bunga langsung mengangguk.

"InsyaAllah Bu. Bunga akan selalu mengingat dan menjalankan nasehat Ibu," jawab Bunga.

Gadis cantik itu terpaksa mengembangkan senyum terbaiknya. Berusaha untuk menutupi kegalauan hati dan rasa kecewanya terhadap sikap sang suami. Meski mereka menikah tanpa didasari cinta, tidak seharusnya Angger meninggalkan dirinya di hari pernikahan mereka. Bukankah itu sama saja dirinya sudah dipermalukan oleh suaminya sendiri di depan orang banyak.

Kebersamaan mereka terpaksa harus terusik saat mendengar suara pintu diketuk.

"Masuk!" seru Nisa.

Muncullah salah seorang teman seprofesi mereka, dan merupakan salah satu asisten rumah tangga keluarga Jaya Diningrat dari balik pintu.

"Ada apa Tum?" tanya Bi Zaenab.

"Mbak Bunga kenapa masih di sini? Bukankah tadi Ibu sudah menyuruh Mbak Bunga pindah ke kamar Den Angger yang berada di lantai atas. Kalau Mbak Bunga nggak pindah, dikira aku yang tidak menyampaikan pesan," jawab wanita bernama Tumi tersebut.

"Iya sebentar lagi Bunga akan pindah. Ini kami masih beres-beres baju Bunga dulu." Nisa ikut menjawab.

"Baiklah, yang penting aku sudah menyampaikan pesan Ibu kepada kalian. Aku pergi dulu ya!" pamit Tumi.

Setelah kepergian Tumi, Bunga langsung mengalihkan pandangan matanya kepada sang Ibu.

"Bunga tidak mau pindah, Bu. Bunga takut," ucap Bunga.

Bunga di Dapur Mama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang