Dua garis merah

580 27 0
                                    

"Bunga sedang apa kau, Nak? Kenapa muntah, apa kau masuk angin?" tanya Bi Zaenab dengan raut wajah yang sudah tampak cemas.

Wanita itu segera mendekat dan membantu memberikan pijatan lembut di tengkuk anak gadisnya tersebut.

Karena merasa perutnya masih bergejolak, Bunga pun tidak menjawab pertanyaan Ibunya. Dia tetap melanjutkan untuk memuntahkan semua isi di dalam perutnya.

"Sebenarnya kau ini kenapa, Nak? Apa kau telat makan?" tanya Bi Zaenab dengan tatapan penuh kekhawatiran.

Bi Zaenab terlihat menyelipkan anak rambut yang menjuntai dan menutupi wajah cantik putrinya ke belakang telinga. Meskipun rambut tersebut sudah basah terkena air wastafel saat Bunga membersihkan bekas muntahannya tadi.

"Sudah selesai muntahnya, apa masih ingin muntah lagi?" tanya Bi Zaenab yang dijawab Bunga dengan gelengan.

"Ya sudah ayo duduk dulu."

Bi Zaenab segera menggiring Bunga agar duduk di salah satu kursi meja makan yang terdapat di dalam dapur. Bahkan wanita itu sampai menggeser kursi tersebut untuk sang putri.

"Sebentar Ibu ambilkan minyak kayu putih dulu."

Bi Zaenab berjalan cepat menuju kotak P3K yang menempel di sudut dinding dapur. Membuka kotak persegi panjang berwarna putih itu dan segera mengambil botol kecil berisi minyak kayu putih sesuai dengan niat awalnya tadi.

Tanpa banyak bicara, Bi Zaenab langsung membalurkan minyak kayu putih di sekitar pelipis, tengkuk dan juga hidung putrinya. Dengan harapan bisa menghilangkan mual yang dirasakan oleh putrinya sekarang.

"Sudah cukup Bu," ucap Bunga saat Ibunya sudah berlebihan membalurkan minyak kayu putih di beberapa bagian tubuhnya.

"Sudah enakan?"

"Sudah Bu."

"Sekarang kamu istirahat di kamar ya Nduk."

"Tapi acara pertunangan juragan muda masih belum selesai, Bu. Pekerjaan Bunga juga masih banyak. Pasti sekarang Mbak Nisa lagi kewalahan melayani para tamu."

"Nggak papa kamu kan lagi sakit. Nanti Ibu mintakan izin sama juragan putri."

"Memang nggak papa, Bu?"

"Ya mau bagaimana lagi. Sudah sana masuk kamar, nanti Ibu buatkan wedang jahe biar perutmu anget."

Bunga pun menurut, kemudian berjalan pelan menuju kamarnya. Dia benar-benar butuh istirahat sekarang. Bukan hanya tubuhnya yang merasa tidak karuan. Kepalanya juga semakin memberat. Berjalan pun Bunga harus merayap di tembok.

Dengan susah payah Bunga mengganti pakaiannya dengan baju yang biasa ia gunakan untuk tidur. Lalu menarik selimut dan menyelimuti sekujur tubuhnya hingga menyisakan wajahnya saja yang terlihat.

Baru saja terlelap, dia sudah mendengar suara pintu dibuka. Muncullah Bi Zaenab dengan membawa segelas wedang jahe di tangannya.

"Bunga minum dulu, Nduk. Mumpung masih anget. Setelah itu kau bisa tidur lagi."

Bi Zaenab membantu putrinya untuk bangun dan meminum wedang jahe buatannya.

"Besok kalo badanmu masih terasa tidak enak. Kita ke dokter ya Nduk."

"Nggak usah Bu. Bunga tidak benar-benar sakit. Bunga hanya kelelahan dan butuh sedikit istirahat. Besok juga sembuh."

Mendengar penjelasan putrinya, Bi Zaenab hanya bisa tersenyum karena dia tahu Bunga sangat membenci rumah sakit. Gadis itu sangat takut melihat jarum suntik. Sehingga mati-matian menolak tawaran Ibunya untuk pergi ke dokter.

Bunga di Dapur Mama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang