Pilu

1.3K 30 0
                                    

Sakit tak terperih yang kini Bunga rasakan. Kejadian menyakitkan itu baru saja berakhir sekitar beberapa menit yang lalu. Entah apa yang ada di dalam pikiran lelaki durjana itu. Sehingga tega melakukan perbuatan biadap itu kepada Bunga.

Dengan sisa tenaga yang dia punya, Bunga bangkit berdiri dan menyeret langkahnya untuk kembali masuk ke dalam kamar. Meskipun ia harus tertatih dan berjuang keras menahan rasa sakit di antara kedua pahanya. Tanpa menghiraukan pria yang saat ini masih terbaring terlentang di atas dinginnya lantai dapur, setelah kelelahan menuntaskan hasratnya kepada Bunga.

Ceklek.

Blam!

Bunga membanting pintu kamarnya, hingga menimbulkan dentuman yang cukup nyaring di telinga, sebelum kemudian tubuhnya merosot ke atas lantai yang dingin.

Bunga sudah tidak kuat lagi, noda yang telah diberikan oleh anak majikan Ibunya benar-benar telah membuatnya hancur berkeping-keping. Kini tidak ada lagi yang bisa ia banggakan sebagai seorang perempuan. Karena harta berharga satu-satunya yang ia punya telah direnggut paksa dengan begitu kejam.

Gadis yang sudah tidak perawan itu menekuk kaki agar bisa memeluk lututnya sendiri. Kemudian menangis sejadi-jadinya, setelah berhasil menenggelamkan wajah ke dalam lututnya sendiri.

Jam di dinding sudah menunjukkan pukul empat pagi. Bunga masih sesenggukan di dalam kamarnya. Namun, dia dituntut harus tetap kuat. Agar apa yang sudah dia alami tidak sampai terlihat oleh Ibunya. Bunga tidak mau Ibunya melihat dirinya dalam keadaan hancur seperti ini.

Walaupun rasa sakit dan pilu masih hinggap di hatinya, Bunga berusaha untuk bangkit dan melupakan kejadian kelam yang baru saja dia alami. Meskipun itu pasti akan sulit. Tetapi Bunga harus bisa demi masa depan dan juga kebahagiaan Ibunya, yang selalu berharap Bunga bisa menjadi orang sukses di kemudian hari.

"Bunga sudah cukup jangan menangis lagi. Sebentar lagi penghuni rumah ini pasti akan bangun. Jangan biarkan mereka melihatmu dalam keadaan kacau. Apalagi Ibumu, kau harus tetap kuat demi orang-orang yang kau sayangi yaitu Ibu dan Nenekmu!" ucap Bunga menguatkan dirinya sendiri.

Akhirnya Bunga memutuskan untuk membersihkan diri, dari sisa dan jejak yang diberikan Angger di atas tubuhnya. Bunga harus bergegas mandi sebelum ada orang yang bangun dan memergoki keadaannya sekarang.

Dengan langkah berat dan masih menahan rasa sakit di bagian bawah tubuhnya, Bunga mengambil pakaian ganti sebelum menuju ke kamar mandi yang berada tidak jauh dari dapur.

Sebenarnya Bunga masih enggan untuk kembali lagi ke dapur itu, karena dia tidak mau bertemu lagi dengan pria yang sudah menghancurkan hidupnya. Namun, dia tidak punya pilihan lain karena hanya kamar mandi itulah yang bisa dia gunakan sekarang.

Bunga merasa sangat bersyukur saat tidak mendapati Angger berada di sana. Rupanya pria itu sudah pergi. Bunga sama sekali tidak memperdulikan kemana pria jahat itu pergi, yang penting dia tidak bertemu dengan pria itu lagi.

Rasa trauma benar - benar membuat Bunga tidak ingin melihat wajah pria itu lagi. Bunga berdiri di bawah kucuran air shower yang deras mengalir membasahi seluruh tubuhnya. Gadis itu berusaha untuk menghilangkan jejak sentuhan Angger. Dengan cara menggosok keras setiap jengkal tubuhnya, hingga kulitnya memar dan tampak memerah.

Bunga sudah tidak peduli akan rasa sakit yang dirasakan tubuhnya sekarang, karena rasa sakit itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa sakit yang ada di dalam hatinya.

Bunga berharap semua ini hanya mimpi buruk baginya. Dan berharap keadaan akan kembali membaik setelah ia membuka mata. Namun naas, sekuat apapun dirinya menolak, peristiwa yang terjadi dalam hidupnya sekarang adalah sebuah kenyataan yang harus Bunga terima.

Sayup - sayup terdengar bunyi adzan subuh berkumandang. Bunga segera memakai mukena karena ingin menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. Ia ingin mengaduh kepada sang pemberi hidup. Mencurahkan keluh kesah dan segala sakitnya kepada sang pemilik kehidupan.

Dalam doa Bunga menangis. Dia meratap memohon ampunan serta pertolongan, agar mampu menjalani setiap ujian yang telah digariskan dalam hidupnya dengan tegar dan sabar.

Bunga menengadahkan tangan ke atas langit, meminta pertolongan kepada Tuhan yang telah memberinya kehidupan.

"Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Ampunilah juga dosa Nenek dan Kakek ku, serta orang - orang yang menyayangiku. Berkahilah mereka semua dengan kebahagiaan dunia dan akhirat. Ya Tuhan berikanlah aku kekuatan dan kesabaran dalam menjalani semua ujian hidupku. Karena aku yakin engkau tidak akan pernah meninggalkanku dalam keadaan apa pun. Ya Tuhan kuatkan aku, berikan jalan keluar yang baik dari masalah yang sedang hamba hadapi sekarang. Amin!"

Air mata terus berlinang membasahi pipi gadis yang sudah tidak perawan itu. Hingga kedua matanya tampak membengkak dan hidungnya memerah.

Suara ketukan pintu terdengar menginterupsi pendengaran Bunga. Siapa lagi pelakunya jika bukan sang Ibu. Karena setiap selesai adzan subuh, Ibunya pasti akan bangun terlebih dulu, lalu kemudian membangunkan dirinya.

"Bunga sudah subuh Nak, bangun!" teriak Ibu Zaenab dari balik pintu.

"Iya Bu, Bunga sudah bangun!" jawab Bunga dengan suara yang terdengar serak.

Bunga segera merapikan kembali peralatan sholatnya setelah mendengar langkah kaki Ibunya menjauh. Dia harus bergegas ke dapur dan membantu Ibunya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga seperti biasanya.

Bunga berdiri di depan cermin untuk memindai penampilannya sendiri. Terutama wajah dan bagian mata, ia harus terlihat baik - baik saja agar orang lain tidak merasa curiga. Terutama sang Ibu yang memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap dirinya.

Setelah dirasa cukup, Bunga pun segera melangkah keluar menuju dapur.

"Selamat pagi Bu, pekerjaan apa yang harus Bunga lakukan sekarang?" tanya Bunga setelah berhasil menginjakkan kakinya di lantai dapur.

Wanita paruh baya yang sedang menunduk karena sibuk mencuci beras di wastafel itu pun perlahan mulai mengangkat kepalanya. Wanita itu terkejut melihat keanehan di wajah putrinya.

"Astaghfirullah Bunga, kau kenapa Nak? Kenapa wajahmu terlihat pucat sekali dan juga matamu kenapa bengkak seperti itu? Kamu sakit, Nak?" tanya Bi Zaenab saat mendapati kedua mata Bunga yang sembab.

Sedangkan Bunga langsung disergap rasa gugup, karena Ibunya sudah mulai curiga dengan keadaannya sekarang. Padahal Bunga sudah berusaha keras, menyamarkan wajah dan areal mata dengan menggunakan bedak tabur yang selalu dia pakai.

Ya, meskipun Bunga sudah bukan anak kecil lagi, tetapi gadis itu suka sekali memakai bedak bayi untuk make up-nya sehari - hari. Bunga tidak seperti gadis lain yang sudah mengenal berbagai produk kecantikan dan skincare yang sudah banyak menyebar luas di masyarakat.

"Bunga baik-baik saja kok, Bu. Semalam Bunga begadang karena ingin menyelesaikan nonton drama Korea dari ponsel. Lumayan Bu dapat wifi gratisan dari juragan kita. Mubazir kalo disia-siakan," jawab Bunga beralasan.

Tentu saja gadis berusia 19 tahun itu berbohong, karena ia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya kepada wanita yang telah melahirkannya itu.

Entah bagaimana hancurnya hati Bi Zaenab. Jika dia mengetahui apa yang sudah terjadi kepada putrinya tadi malam.

'Maafkan Bunga, Bu. Biarlah derita ini Bunga rasakan sendiri. Bunga masih mampu untuk menahannya demi bisa melihat senyum Ibu setiap hari. Sekali lagi maafkan Bunga, Bu. Hanya kebahagiaan Ibulah yang bisa membuat Bunga tetap bertahan dari kehancuran yang sudah diciptakan oleh anak dari majikan Ibu.'

Bunga di Dapur Mama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang