"Kenapa kau lancang sekali mengambil ponselku!" murka Angger.
"Maaf Mas, bukan aku yang ambil ponsel kamu, tapi perawat. Saat kamu sedang ditangani di ruang IGD. Handphone kamu bunyi terus, karena Mbak Laura nggak berhenti menelepon. Takut ada yang penting aku angkat panggilan dari Mbak Laura. Sekalian mau bilang apa yang sudah terjadi sama kamu. Agar Mbak Laura tahu kamu dirawat di sini," jelas Bunga yang membuat Angger langsung terdiam.
"Jam berapa Laura telfon?"
"Sekitar jam sembilan pagi tadi. Pas Mas Angger masih ada di dalam ruang IGD," jawab Bunga.
Angger segera mengalihkan perhatiannya ke arah penunjuk waktu yang ada di dalam ruangan itu.
"Jadi Laura sudah tahu aku masuk rumah sakit? Tapi kenapa dia tidak langsung ke sini untuk melihat ku? Apa ada sesuatu? Ahh, mungkin ada sesuatu yang mendesak. Sehingga Laura tidak bisa segera menemui ku di sini," batin Angger yang masih berusaha berpikiran positif tentang kekasihnya.
Terdengar suara ketukan pintu dengan disusul oleh suara petugas, yang sedang mengantarkan makan siang untuk Angger.
"Makan siang untuk pasien."
"Terima kasih Bu."
"Iya sama-sama. Semoga cepat sembuh ya."
Angger melirik ke arah pintu. Namun pria itu justru tertarik untuk melihat perut Bunga yang sudah terlihat menonjol. Akhirnya Angger sadar, jika dia telah banyak melewatkan waktu untuk bisa mengikuti perkembangan calon anaknya di dalam perut Bunga. Selama menikah tidak sedikitpun Angger pernah menghiraukan Bunga. Sehingga lupa jika masih ada calon anaknya di dalam rahim perempuan itu yang juga butuh perhatiannya.
Terbesit rasa bersalah di hati Angger. Karena sudah mengabaikan anaknya. Angger memang tidak menginginkan Bunga. Tapi dia tidak mungkin menolak anaknya. Bagaimanapun juga yang ada di dalam kandungan Bunga adalah darah dagingnya. Namun begitu, Angger berusaha untuk menepis rasa bersalahnya. Angger tidak ingin menjadi lemah di hadapan Bunga. Sehingga hal itu bisa dimanfaatkan oleh Bunga untuk bisa mengambil keuntungan darinya. Ternyata Angger masih menyimpan prasangka buruk kepada Bunga.
Lamunan Angger tersadarkan, saat Bunga sudah mendekat dengan membawa nampan makanan di tangannya.
"Makan siang dulu Mas?"
Bunga segera meletakkan nampan di tangannya ke atas meja. Karena dia ingin membantu Angger menyetel ranjang agar bisa lebih tegak posisinya. Kemudian meletakkan meja kecil di hadapan Angger, agar pria itu lebih mudah untuk makan. Namun ternyata Angger masih belum bisa makan sendiri. Karena tangannya masih terasa sakit ketika digerakkan.
"Aduh!"
Angger bahkan sudah mengeluh, saat dia ingin menggenggam sendok.
"Kenapa Mas?" tanya Bunga dengan begitu khawatir.
"Bagaimana aku bisa makan kalo pegang sendok saja aku tidak bisa."
"Mau aku bantu?"
"Terserah!"
Angger masih ketus. Namun begitu, Bunga berusaha sabar menghadapinya.
Bunga segera mengambil sendok dan mulai menyuapi Angger. Keadaan itu membuat keduanya merasa sama-sama canggung. Tidak ada yang bersuara. Hanya tangan dan mulut mereka yang bekerja. Bunga menyuapkan makanan ke dalam mulut Angger. Sedangkan mulut Angger sibuk mengunyah.
Hingga tanpa terasa bubur yang ada di dalam mangkok telah habis tak tersisa. Bunga juga membantu Angger untuk minum. Setelah itu Bunga membereskan bekas makan Angger. Dan diletakkan di dekat pintu agar petugas lebih mudah untuk mengambilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga di Dapur Mama
Romance~Kehormatanku terkoyak di tangan anak majikan Ibuku~ "Siapa kau?! Kenapa ada di dapur rumah ku?!" hardik Angger saat mendapati perempuan asing berada di dalam dapur rumahnya. "Ma-maaf Mas saya Bunga. Saya-!" "Mmmmmpphh ...!" Bunga tidak dapat melan...