Pemberian pertama Angger

322 24 1
                                    

Pagi-pagi sekali Bunga sudah bangun. Gadis itu melakukan aktivitas seperti biasanya. Tidak ingin terlambat menyiapkan sarapan untuk sang suami, membuat Bunga bergegas pergi ke dapur. Bunga tidak ingin suaminya pergi bekerja dalam keadaan perut yang masih kosong.

Huekk.

Pagi ini Bunga muntah lagi karena mencium aroma bawang. Perempuan itu merasa tersiksa. Namun dia harus melakukannya.

"Kau pasti bisa Bunga. Ayolah, jangan cengeng."

Bunga yang tidak kehilangan akal segera mengikatkan sebuah selendang ke depan hidungnya, agar bisa menyamarkan aroma bawang yang sudah membuatnya merasa mual.

Empat puluh menit berlalu, Bunga berhasil menyelesaikan masaknya. Perempuan itu segera menata hasil masakan sederhananya ke atas meja.

"Semoga Mas Angger mau makan masakan ku," gumam Bunga yang berusaha untuk menghibur dirinya sendiri.

Bagaimana hasilnya nanti, Bunga sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak kecewa. Dia akan menerima semuanya dengan lapang dada.

Bunga sedang sibuk menata makanan terakhirnya, saat dia mendengar suara langkah kaki sedang menuruni anak tangga. Gadis itu merasa gugup saat Angger sudah berada semakin dekat dengan dirinya. Dan sekarang sudah berdiri di belakangnya. Bunga ingin menoleh, karena tidak mau dianggap kurang ajar, telah memunggungi suaminya sendiri. Namun tubuhnya terasa kaku untuk digerakkan. Jujur, alam bawah sadar Bunga masih merasa trauma dan ketakutan, jika harus berada sangat dekat dengan Angger. Pria yang sudah merenggut kesuciannya dengan paksa.

Angger meletakkan sebuah kartu ATM ke atas meja. Kemudian berkata-

"Kau bisa menggunakan ATM itu dengan sesuka hatimu. Karena uang yang berada di dalamnya milikmu. Kau bisa menjalani hidupmu sendiri. Tidak usah memikirkan aku. Apalagi memasak makanan yang tidak mungkin aku makan. Jadi, berhentilah memasak karena hal itu akan sia-sia. Aku tidak akan pernah makan di rumah."

Sekuat tenaga Bunga berusaha untuk menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Kau sudah terdaftar di Universitas favorit mu. Cari tahu sendiri kapan kau sudah boleh masuk kuliah. Jangan merepotkan aku lagi. Karena aku tidak ada waktu untuk bisa mengurusmu. Jadi uruslah dirimu sendiri, yang penting aku sudah memenuhi kewajiban ku untuk memberikan uang bulanan kepada mu. Masalah uang kau tidak perlu khawatir. Yang penting kau tidak ikut campur urusan ku. Apa kau mengerti?"

Dengan berat hati Bunga menganggukkan kepalanya di hadapan Angger.

"Ya, saya mengerti. Terima kasih atas kebaikan Mas Angger kepada saya," jawab Rubby sebelum menunduk lagi.

Angger melirik sebentar ke arah meja, di mana beberapa menu masakan Bunga sudah tersedia, sebelum melangkah pergi meninggalkan apartemen.

Air mata Bunga meluncur deras seiring kepergian Angger meninggalkan apartemen.

"Jangan menangis Bunga. Bukankah kau sudah tahu kalo hal seperti ini pasti akan terjadi. Kau memang istrinya. Tapi kau tidak berhak atas dirinya. Apalagi hatinya, sebab dia menikahimu hanya sebatas tanggung jawab. Tidak lebih. Jadi jangan pernah berharap apa-apa lagi. Apalagi bermimpi pria itu akan memandang ke arah mu."

Bunga segera mengusap air mata yang sudah terlanjur membasahi pipinya. Dia tidak mau terlihat lemah. Bunga akan berjuang demi cita-cita dan anak yang masih berada di dalam kandungannya.

"Aku harus kuat. Setidaknya Mas Angger sudah berbaik hati mendaftarkan aku kuliah. Dia juga bertanggung jawab atas diriku dengan memberi uang bulanan. Itu sudah lebih dari cukup untuk ku. Aku tidak boleh serakah dengan berharap sesuatu yang tidak mungkin."

Bunga segera tersenyum, dia mengusap lembut perutnya yang masih rata dengan penuh kasih sayang.

"Jangan khawatir Nak. Kau masih punya Bunda yang sangat menyayangimu. Ayo kita berjuang bersama-sama."

Akhirnya Bunga memakan sendiri makanan yang sudah susah payah ia masak. Bunga tidak mau kandungannya bermasalah, hanya karena alasan gizi.

Bunga baru saja menyelesaikan sarapannya, saat dia mendengar suara bell apartemen berbunyi. Bergegas perempuan itu membuka pintu. Untuk melihat siapa yang datang.

Ternyata seorang kurir yang ingin mengantarkan barang untuk Bunga.

"Permisi, paket."

"Iya?"

"Dengan Ibu Bunga?"

"Iya saya sendiri."

"Ada kiriman paket untuk Anda."

Bunga mengerutkan kening, karena dia tidak merasa memesan paket apa pun.

"Mungkin Anda salah, saya tidak pernah memesan apa pun."

"Tidak salah, paket ini memang untuk Anda. Karena yang memesan Tuan Angger."

"Mas Angger?"

"Iya, silakan diterima."

Bunga segera menerima paket dari kurir tersebut.

"Tolong tanda tangani bukti penerimanya di sini."

Setelah melakukan seperti yang dikatakan sang kurir, Bunga mengucapkan terima kasih. Namun begitu, Bunga masih bengong di depan pintu. Seolah masih tidak percaya jika paket itu pemberian Angger untuk dirinya.

"Apa benar paket ini dari Mas Angger? Kira-kira apa ya isinya?"

Di atas paket itu memang benar namanya yang tertera. Sehingga Bunga yakin jika paket itu untuknya. Karena tidak mau terus-terusan merasa penasaran. Setelah menutup kembali pintu apartemen, Bunga duduk di atas karpet yang berada di ruang tamu, agar bisa segera membuka paketnya.

"Tebal sekali? Berapa lapis kira-kira bungkusnya."

Bunga segera mengambil gunting, agar bisa dengan mudah membuka paketnya. Bunga sudah tidak sabar ingin mengetahui apa yang telah Angger berikan untuknya.

Kedua mata perempuan itu melebar sempurna melihat sebuah laptop berada di hadapannya. Lagi-lagi Bunga merasa sangat berterima kasih kepada Angger. Karena sudah memberikannya laptop yang sangat Bunga butuhkan untuk kuliah.

"Laptop? Untukku?"

Bunga seolah masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Sehingga menepuk-nepuk pipinya sendiri. Apakah benar dia masih berada di alam nyata.

"Ya Tuhan, terimakasih banyak Mas Angger."

Saking bahagianya, Bunga sampai meneteskan air mata. Bunga berjanji akan menggunakan laptop itu dengan baik. Sebagai penunjang prosesnya belajar. Bunga segera mencari informasi tentang kampus di mana Angger telah mendaftarkannya.
Bunga ingin tahu kapan dia sudah bisa masuk kuliah. Dengan memanfaatkan laptop baru dan juga ponsel miliknya.

"Jadi aku sudah bisa masuk kuliah besok? Ya Tuhan, aku tidak menyangka akan secepat ini."

Bunga begitu senang karena besok dia sudah bisa pergi kuliah untuk yang pertama kalinya. Bunga juga memeriksa akses dan transportasi yang bisa ia gunakan untuk datang ke kampus. Apalagi Bunga masih belum mengenal daerah tempat tinggalnya sekarang.

"Lokasinya memang tidak terlalu jauh. Tapi aku tidak bisa pergi dengan jalan kaki, karena itu akan memakan waktu. Satu-satunya jalan aku harus menggunakan ojek online."

Murah dan cepat adalah pertimbangan Bunga mengapa dia ingin menggunakan ojek online. Meskipun Bunga bisa pulang pergi naik taksi dengan menggunakan uang yang diberikan oleh Angger. Namun begitu Bunga lebih memilih untuk berhemat. Karena tidak ingin terlalu banyak menyusahkan Angger.

Bunga segera mendownload aplikasi ojek online melalui ponselnya. Perempuan itu tidak sabar menunggu sampai esok hari.

"Akhirnya, aku bisa kuliah juga. Kita harus semangat ya Nak. Kita jemput masa depan yang cemerlang."




Bunga di Dapur Mama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang