Penghianatan Laura

312 20 0
                                    

"Johan, sudah ku bilang jangan pernah menghubungi aku lagi!" hardik Laura kepada orang yang berada di seberang telepon.

"Aku tidak peduli. Aku akan terus mengganggumu kalau kau tidak mau menemuiku," ancam pria bernama Johan tersebut.

"Jangan gila kau Johan. Aku tidak mau mengambil resiko kalau terus bertemu denganmu. Kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi. Jangan pikir aku tidak tahu kalau kau yang sudah menyuruh preman untuk menghajar Angger," balas Laura tak kalah sengit.

Ya, Laura baru mengetahui jika Johan lah pelaku di balik Angger babak belur.

"Memang apa yang bisa dilakukan oleh si bodoh itu. Dia bahkan tidak tahu kalau kau sudah menghianatinya denganku. Jadi Laura, apalagi yang kau harapkan dari pria itu. Dia sudah beristri, lebih baik kau tinggalkan saja dia dan segera kembali kepadaku," ucap Johan.

"Tutup mulutmu Johan! Sampai kapanpun aku tidak akan pernah melepaskan Angger dari tanganku. Dia milikku, bahkan sebelum wanita kurang ajar itu masuk ke dalam kehidupan kami. Sementara kau hanya pelarianku saja saat aku merasa frustasi Angger menghianatiku dengan tidur bersama perempuan lain. Jadi kau jangan pernah berharap lebih!" maki Laura karena emosinya sudah terpancing oleh perkataan pria bernama Johan itu.

"Tetap saja Angger sudah menjadi milik wanita itu secara sah. Dan kau juga pernah melewatkan malam bersama denganku. Jadi untuk apa lagi kau membuang-buang waktumu bersama Angger. Karena kau tidak akan pernah bisa memilikinya."

"Tidak, kali ini kau salah Johan. Justru perempuan itu yang tidak akan pernah bisa memiliki Angger. Karena Angger sudah sepenuhnya berada di dalam genggamanku. Tinggal menunggu, kapan Angger akan mendepak perempuan itu dari hidupnya. Jadi kau jangan pernah lagi bermimpi untuk bisa bersamaku. Karena hal itu tidak akan pernah terjadi."

"Baiklah, kita lihat saja nanti. Siapa yang akan memenangkan permainan ini!"

"Terserah!"

Klik.

Laura langsung memutus sambungan teleponnya bersama Johan dengan begitu saja. Di waktu yang sama, Angger baru saja membuka password pintu apartemen Laura. Sehingga pria itu bisa melihat dengan jelas kekesalan di wajah kekasihnya.

"Ada apa Sayang? Sepertinya kau sedang merasa kesal? Boleh aku tahu apa penyebabnya?"

Kedatangan Angger membuat Laura begitu terkejut. Karena terlalu fokus memikirkan Johan, Laura sampai tidak menyadari kedatangan Angger ke dalam apartemennya.

"Sayang kapan kau datang?" tanya balik Laura sambil gelagapan.

"Sepertinya kau terlalu fokus memikirkan sesuatu. Sehingga tidak menyadari kedatanganku," jawab Angger.

"Iya Sayang, maaf."

Laura berusaha untuk merayu Angger agar tidak marah. Apalagi merasa curiga.

"Sayang, kau belum menjawab pertanyaanku. Siapa yang sudah membuatmu merasa kesal hingga sampai seperti ini," ulang Angger sambil memeluk tubuh Laura.

"Tadi Mama telepon Sayang. Mama memintaku agar aku menjauhimu, kalau kau masih belum bisa memberikan aku kepastian tentang hubungan kita. Keluargaku tidak ingin aku dicap sebagai wanita murahan yang merebut suami orang."

Laura sengaja berbohong agar Angger segera memutuskan pernikahannya dengan Bunga.

"Tidak Sayang, kenapa mereka berpikiran seperti itu. Kau bukan perebut Sayang, karena sudah ada kau di sampingku sebelum ada dia."

Angger berusaha untuk membuat kekasihnya merasa nyaman. Dan membuang segala pikiran negatif yang ada di kepalanya.

"Nyatanya memang seperti itu. Aku akan menjadi pihak yang paling disalahkan. Sebab tidak banyak orang yang tahu keadaan yang sebenarnya. Tetap saja mereka akan memberikan penilaian buruk tentang ku, kalau sampai orang-orang tahu aku masih menjalani hubungan denganmu yang notabene adalah seorang pria yang sudah beristri."

Laura begitu pandai bicara dan memainkan kata-kata. Sehingga membuat Angger semakin merasa bersalah.

"Jangan dengarkan mereka yang tidak tahu apa-apa, Sayang. Percayalah kepadaku. Aku akan segera meninggalkan Bunga dan menikahimu. Tapi tunggulah sebentar lagi sampai anak yang ada di dalam kandungan Bunga lahir. Setelah itu kita bisa membesarkan anak itu bersama-sama. Kau mau kan menjadi Ibu dari bayiku menggantikan Bunga," ucap Angger yang membuat kedua mata Laura seketika melebar.

Tidak pernah terpikirkan oleh Laura, kalau dia akan membesarkan anak dari wanita lain. Meskipun itu darah daging Angger sendiri.

"Kau ingin agar aku membesarkan anakmu bersama dengan wanita itu? Apa kau sudah gila, Angger?! Aku tidak mau!" tolak Laura.

"Laura mengertilah, aku tidak mungkin meninggalkan anak itu. Karena dia darah dagingku. Setelah aku bercerai dengan Bunga nanti, aku berencana ingin mengambil hak asuh anakku agar kita bisa membesarkannya berdua," kata Angger.

"Tidak! Aku tidak mau. Apa kau tidak mempertimbangkan bagaimana perasaanku, Angger? Kau sudah pernah mengecewakan aku dengan menghamili wanita itu. Sekarang kau ingin agar aku ikut membesarkan anak itu bersamamu. Apa kau masih punya hati Angger? Aku tidak peduli anak itu darah dagingmu atau tidak. Aku tidak akan pernah mau menerimanya dalam hidupku. Kalau kau memang menginginkan seorang anak. Aku masih bisa memberikannya untuk mu. Karena aku juga wanita subur."

Laura benar-benar merasa emosi, mendengar permintaan Angger yang menurutnya tidak masuk akal itu. Penghianatan Angger saja sudah membuatnya sakit. Apalagi dia harus membesarkan anak itu. Yang artinya dia harus melihat anak itu setiap hari. Sungguh Laura tidak mau menerimanya.

"Sayang maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk menyakiti mu dengan kata-kata ku tadi. Aku hanya-"

"Cukup Angger! Sebaiknya kau pergi dari sini. Karena aku ingin sendiri."

"Sayang-"

"Pergi!"

Tidak ingin membuat Laura semakin marah, Angger memutus untuk mengalah. Angger akan menunggu sampai kemarahan Laura mereda. Angger yakin bisa membujuk Laura agar kekasihnya itu mau menerima anaknya. Sebab Angger tidak akan pernah bisa memilih antara Laura dengan anaknya. Keduanya sama penting bagi Angger.

"Baiklah, aku kembali ke kantor dulu. Nanti aku akan datang lagi setelah mood mu kembali membaik."

Angger segera pergi meninggalkan apartemen Laura. Pria itu berjalan cepat menuju mobilnya terparkir.

Di sepanjang perjalanan menuju kantor, Angger masih kepikiran tentang Laura.

"Bagaimana kalau Laura benar-benar tidak mau menerima anakku? Aku tidak mungkin bisa memilih di antara mereka berdua. Huh, sial!"

Angger melajukan kendaraannya menuju kantor, hingga tanpa sengaja pria itu melihat ada preman yang kemarin telah mengeroyoknya tanpa alasan. Tentu Angger ingin mendatangi preman itu untuk meminta penjelasan. Kemarin Angger memang kalah, karena dia belum siap. Tapi tidak dengan sekarang.

"Bukankah itu preman yang memukulku waktu itu?"

Angger segera menepi dan berusaha mencari tempat parkir yang aman. Sebelum mengejar para preman yang tidak sengaja dilihatnya tadi.

"Ke mana perginya para preman itu?"

Angger menoleh ke sana kemari. Hingga dia berhasil melihat seorang preman berjalan menuju sebuah gang. Membuat Angger langsung mengikutinya.

"Hey kau. Tunggu!"





Bunga di Dapur Mama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang