Hari pertunangan

470 30 0
                                    

Sebulan kemudian.

Di rumah keluarga Jaya Diningrat telah terjadi kesibukan luar biasa, karena malam ini perhelatan akbar pertunangan Angger dan Laura akan dilangsungkan.

Sebenarnya Pak Anggoro sudah menyewa satu ballroom hotel sebagai tempat diselenggarakannya pesta pertunangan sang putra tunggal. Tetapi segera dibatalkan karena Angger memajukan acara pertungannya tanpa alasan yang jelas.

Membuat semua orang menjadi kelabakan karena tidak mempunyai persiapan sebelumnya. Sehingga Pak Anggoro terpaksa menyelenggarakan acara penting itu di kediaman mereka sendiri. Dengan tamu undangan yang lebih sedikit dari rencana awal.

Meskipun tidak mengetahui alasannya mengapa, dan Angger juga tidak terlalu gamblang menjelaskannya. Pak Anggoro pun mengikuti kemauan putranya itu tanpa banyak bertanya lagi. Karena menurutnya Angger sudah cukup dewasa untuk memilih jalan hidup sesuai dengan yang diinginkan pria itu.

"Bunga tolong letakkan ini di sana!" seru salah satu pekerja di rumah keluarga Jaya Diningrat.

"Baik!"

Tanpa banyak bicara, Bunga melakukan semua pekerjaan yang diperintahkan kepadanya. Karena khusus untuk hari ini nyaris tidak ada satu orang pun yang bisa berleha-leha. Karena mereka disibukkan dengan pekerjaan masing - masing.

Bunga menyeka keringat yang mengalir di pelipisnya, setelah berhasil meletakkan sebuah box besar ke atas meja. Rasa letih dan lemas semakin ia rasakan mendera tubuhnya.

"Badanku hari ini kenapa aneh banget sih? Aku seperti tidak ada tenaga untuk melakukan aktivitas seperti biasanya. Padahal tadi aku juga sudah makan banyak tapi kenapa masih lemas? Ayolah Bunga jangan malas-malasan. Kau di sini untuk kerja agar bisa meneruskan sekolah. Jadi ayo semangat!" monolog Bunga berusaha untuk menyemangati dirinya sendiri.

Hingga ia mendengar panggilan seseorang menginterupsi pendengarannya.

"Bunga apa yang kau lakukan di sana? Ayo ke sini bantu aku!" panggil Nisa.

"Iya Mbak Nisa!"

Dengan cepat Bunga melangkahkan kakinya mendekat ke arah teman se profesinya.

"Bunga tolong bantu mindahin barang-barang ini ke kamar Juragan putri ya. Aku masih banyak pekerjaan lain di belakang. Tapi kau harus hati-hati takut benda di dalamnya adalah barang berharga," ucap Nisa sembari menunjuk ke arah beberapa kotak yang sudah dibungkus dengan kertas kado yang tersusun rapi di atas meja.

"Baik Mbak!"

"Aku tinggal ke belakang dulu ya. Takut Bi Zaenab nggak ada yang bantuin."

Bunga hanya mengangguk mengerti, kemudian mengangkat barang-barang tersebut setelah Nisa pergi dari hadapannya.

Karena Bunga tidak bisa membawa barang-barang tersebut dengan sekaligus. Bunga pun mengakalinya dengan cara membawanya secara bertahap, sesuai dengan kemampuan tangannya. Bunga sudah memperkirakan, dia pasti membutuhkan tiga kali bolak balik untuk mengangkut kotak-kotak kado yang Bunga sendiri tidak tahu apa isinya.

"Bismillahirrahmanirrahim."

Angkutan pertama Bunga lakukan dengan lancar, begitu pula dengan angkutan yang kedua. Namun saat akan melakukan angkutan yang terakhir, tubuhnya benar-benar tidak bisa dikondisikan. Karena sekarang rasa lemas itu semakin Bunga rasakan. Bunga seolah tidak memiliki tenaga hanya untuk sekedar berjalan. Apalagi ia harus naik turun tangga, karena letak kamar sang majikan berada di lantai dua.

Tubuh Bunga sempat oleng tapi dia berusaha untuk tetap berdiri dengan berpegangan pada tembok.

"Bunga kau pasti bisa. Tinggal satu angkutan lagi kau pasti bisa!" gumam Bunga kembali menyemangati dirinya sendiri.

Setelah dirasa tenaganya sudah pulih kembali, Bunga berniat melangkahkan kakinya untuk menuruni anak tangga. Namun baru melangkah di atas anak tangga pertama, lagi-lagi rasa lemas itu kembali Bunga rasakan. Hingga tanpa terasa Bunga sudah kehilangan keseimbangan dan hampir saja tergelincir jatuh, jika saja tidak ada tangan kokoh yang menahan tubuhnya.

Grep.

Bunga merasakan ada sebuah tangan kekar menahan tubuhnya, agar tidak terjatuh dari atas tangga saat Bunga sendiri sudah pasrah akan nasibnya.

Dengan perlahan Bunga membuka kelopak matanya yang sempat terpejam akibat rasa takutnya tadi. Gadis itu ingin melihat siapa orang yang telah menahan pinggangnya sehingga ia tidak sampai tergelincir ke bawah.

Degh.

Sorot mata setajam Elang itu yang pertama kali Bunga lihat saat berhasil membuka mata. Sorot mata yang sama di saat ia harus kehilangan kehormatannya.

Tubuh Bunga menegang, rasa takut tiba-tiba menjalar, saat memori menakutkan yang berusaha mati-matian ia lupakan kembali muncul ke dalam ingatannya. Ketika melihat siapa orang yang sudah menolongnya sekarang.

"Perhatikan langkahmu bodoh. Jangan membuat kekacauan di hari pentingku!" desis Angger penuh dengan peringatan.

"Ma ... maaf."

Angger segera menyentak kasar tubuh Bunga agar menjauh darinya. Untung saja keseimbangan Bunga sudah kembali membaik, sehingga ia bisa berdiri tegak dan tidak terjatuh lagi.

Tanpa mengucapkan satu kata pun, Angger segera melangkah pergi dan meninggalkan Bunga seorang diri dalam ketakutan. Karena tidak ingin berlama-lama dikuasai oleh rasa takutnya, Bunga pun segera menyelesaikan tugas terakhirnya untuk memindahkan barang.

"Aku harus bergegas agar aku bisa segera kembali ke dapur."

Bunga memaksakan diri, membuang jauh rasa letih dan lemasnya agar pekerjaannya segera selesai. Hingga 10 menit kemudian ia sudah benar-benar menyelesaikan pekerjaannya dengan baik.

Sesuai dengan niat awalnya, Bunga bergegas mengayunkan langkah menuju dapur di mana orang seperti dirinya pantas berada.

"Kau kenapa, Nduk? Kenapa wajahmu pucat sekali? Capek?" tanya Bi Zaenab saat Bunga baru saja menginjakkan kakinya di lantai dapur.

"E-enggak papa Bu, Bunga baik - baik saja. Kecapekan sedikit karena tadi bolak-balik angkatin barang dari bawah ke kamar juragan putri," jawab Bunga dan berusaha bersikap baik-baik saja demi tidak membuat khawatir sang Ibu.

"Oalah, ya sudah kalo begitu kau istirahatlah dulu di kamar."

"Tapi pekerjaan di sini masih banyak, Bu. Semua orang lagi sibuk. Masa iya Bunga malah enak-enakan istirahat."

"Nggak papa sebentar saja. Kau bisa melanjutkan lagi pekerjaanmu setelah letihmu sudah hilang."

Tepat pukul 20.00 wib perhelatan acara pertunangan Angger Jaya Diningrat dengan seorang model terkenal bernama Laura Isabella dilangsungkan.

Senyuman terus tersungging dari bibir kedua pasangan yang paling berbahagia malam hari ini, saat mereka saling menyematkan cincin di jemari masing - masing.

Dan semua itu tidak lepas dari pengamatan Bunga. Saat ini Bunga sedang berdiri di sudut ruangan karena dirinya diperbantukan untuk melayani para tetamu yang hadir pada acara malam hari ini. Kesadaran Bunga ditarik paksa saat ia mendengar teriakan seorang tamu yang ingin meminta bantuan darinya.

"Mbak tolong ditambah lagi cocktail-nya!"

"Ah iya."

Bunga segera melakukan apa yang diminta oleh para tamu demi kenyamanan mereka semua. Sesuai dengan pesan sang majikan yang menyuruh agar semua pelayan memberikan pelayanan terbaiknya kepada para tamu yang datang.

Berdiri lama di tempat itu membuat Bunga semakin tidak nyaman, karena semakin lama kepalanya semakin terasa berat saat melihat banyaknya orang yang terlibat di dalam acara. Seketika matanya berkunang-kunang.

Entah apa yang terjadi pada Bunga. Tiba-tiba ia merasa ada keanehan dari dalam perutnya. Lambungnya seakan bergejolak, ingin segera mengeluarkan isinya. Sehingga membuat Bunga tidak ragu untuk berlari ke belakang di mana wastafel berada. Beruntung keadaan dapur sepi, semua orang masih sibuk dengan aktivitas yang ada di halaman depan, di mana perhelatan pertunangan sang majikan diselenggarakan.

Bunga segera memuntahkan semua isi di dalam perutnya ke dalam wastafel.

"Huek ... huek ... huek!"

Hingga tanpa Bunga sadari sudah ada sepasang mata yang sedari tadi mengamati tindak tanduknya dengan penuh keanehan. 

Bunga di Dapur Mama Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang