"Siapa yang hamil?"
Kedatangan Bi Zaenab yang secara tiba-tiba membuat kedua perempuan itu tersentak kaget.
"Siapa yang hamil?" tanya Bi Zaenab sekali lagi karena Bunga dan Nisa masih terdiam seakan enggan untuk menjawab pertanyaan darinya.
"Bunga lihat Ibu! Siapa yang hamil, Nduk?"
Bi Zaenab menarik sang putri agar mau menghadap dirinya. Menatap lekat kedua matanya, dan menuntut jawaban dari rasa penasarannya. Ada rasa takut yang diam-diam menelusup ke dalam hati wanita paruh baya itu. Karena kemungkinan itu hanya ada dua dan semoga saja apa yang ia takutkan sekarang tidak menjadi kenyataan.
Namun-
Bi Zaenab baru menyadari jika sekarang Nisa telah kedatangan tamu bulanannya. Sehingga tidak mungkin jika Nisa adalah pemilik tespek itu. Dan sekarang hanya tinggal satu nama yang berkemungkinan menjadi pemilik tespek itu dan itu adalah putri kandungnya sendiri.
Tidak, itu tidak mungkin!
Seberapapun ingin Bi Zaenab menyangkal. Namun kenyataan sudah menamparnya dengan bukti dan fakta yang sudah terlihat jelas di depan matanya. Ketakuatan semakin nyata ia rasakan sekarang, rasa sesak sudah mulai merasuk rongga dada tanpa bisa ia cegah.
Bi Zaenab menggeleng keras berusaha mengusir segala pikiran buruknya. Namun tetap saja tidak bisa karena kenyataan itu semakin tampak di depan matanya. Tubuhnya semakin gemetar hebat saat ia melihat kembali tespek yang ada di tangan Nisa. Sebuah benda yang mampu membuat Bi Zaenab ketakutan setengah mati dan tidak bisa berpikir apa-apa.
Ya Tuhan semoga semua ini hanya mimpi.
Dengan air mata yang sudah berderai membasahi pipinya, Bi Zaenab berusaha untuk bertanya sekali lagi kepada putrinya.
"Bunga katakan kepada Ibu, Nak. Tespek itu bukan milikmu 'kan?"
Melihat kekecewaan yang tersorot dari pancaran mata Ibunya membuat Bunga semakin terisak, dan menunduk karena tidak sanggup lagi melihat wajah sedih wanita yang telah melahirkannya. Apalagi untuk menjawab pertanyannya Ibunya tadi. Sungguh Bunga merasa tidak sanggup. Baru kali ini Bunga merasa tidak berguna menjadi seorang anak.
"Bunga cepat jawab pertanyaan Ibu, jangan diam saja!"
Bi Zaenab semakin keras mengguncang bahu putrinya, mencengkram erat kedua bahu Bunga seperti orang yang sudah kerasukan setan. Sementara Bunga hanya bisa pasrah dengan nasibnya. Hal tersebut tentu saja menarik perhatian Nisa, wanita itu begitu mencemaskan keadaan Bunga. Namun ia juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong gadis itu.
"Cepat katakan Bunga jangan diam saja!"
Bi Zaenab sudah hilang kesabaran. Kebisuan Bunga membuatnya semakin murka. Hingga-
"Maafkan Bunga Bu," lirih Bunga dengan suara yang nyaris tak terdengar.
"Bunga, katakan jika ini tidak benar!"
Bi Zaenab masih berusaha untuk menyangkal kebenaran yang ada. Ia ingin mengingkari kenyataan tetapi ternyata dia kalah, saat melihat raut merasa bersalah putrinya.
"Maafkan Bunga Bu, maafkan Bunga."
Permintaan maaf putrinya membuat Bi Zaenab sadar. Jika ini bukan mimpi tapi kenyataan yang harus dihadapi. Dengan menguatkan hati Bi Zaenab pun bertanya-
"Siapa orang yang telah melakukannya, Nak?"
"Maaf Bu maaf."
Jawaban tidak nyambung yang diberikan Bunga membuat Bi Zaenab semakin tersulut emosi.
"Jangan hanya minta maaf Bunga. Cepat katakan siapa orang yang telah menghamilimu dan juga merusak masa depanmu?!" bentak Bi Zaenab hingga membuat Bunga berjingkat kaget.
Tidak pernah sekalipun Bunga dibentak seperti ini sebelumnya. Selain takut dan shock, Bunga juga merasa kaget. Baru kali ini Bunga merasa tidak dicintai oleh Ibu kandungnya sendiri.
"Jawab Bunga!"
"Ju-juragan mu-muda Bu-"
"Apa?"
Bukan hanya Bi Zaenab, Nisa juga merasa terkejut mendengar pengakuan Bunga tadi. Mereka sungguh tidak menyangka orang yang begitu mereka hormati tega berbuat sekeji itu terhadap Bunga. Bi Zaenab sudah tidak bisa lagi membendung air matanya, hatinya sungguh hancur sekarang. Buah hati dan permata hatinya telah dirusak oleh orang yang begitu dia percaya.
Seketika kaki wanita itu melemas seakan tidak mampu untuk menopang berat tubuhnya sendiri. Sehingga tubuhnya langsung terjatuh dan terduduk di atas dinginnya lantai.
"Ibuk ...!" pekik Bunga yang tampak begitu panik.
Gadis itu langsung berlulut dan memeluk tubuh Ibunya dengan begitu erat. "Maafkan Bunga, Bu. Maafkan Bunga." Bunga terus menangis sambil memeluk tubuh Ibunya.
Wanita yang telah melahirkannya itu duduk diam seperti mayat hidup, dengan pandangan kosong ke depan. Seolah jiwanya sudah terlepas dari badan. Sedangkan Nisa sendiri juga tidak bisa berbuat apa-apa selain menangis, ikut prihatin melihat Ibu dan anak itu.
Setelah beberapa saat hanya diam, Bi Zaenab berusaha untuk menguatkan hati, mengambil napas dalam sebelum mengembuskannya secara perlahan. Dengan kasar wanita itu menyeka sisa air mata yang mengalir dari sudut matanya.
"Nisa, ayo siapkan sarapan untuk majikan kita sekarang. Dan kau Bunga, Ibu melarangmu keluar dari kamar sebelum Ibu mengizinkannya. Apa kau mengerti dengan perkataan Ibu tadi, Bunga?" tanya Bi Zaenab seolah tidak terjadi apa-apa terhadap putrinya.
Hal itu tentu saja membuat Bunga dan Nisa merasa heran akan perubahan sikap wanita itu. Kenapa Bi Zaenab bisa berubah dengan secepat itu? Begitu pikir mereka.
"Bunga apa kau mengerti dengan apa yang Ibu katakan tadi?" tanya Bi Zaenab sekali lagi dengan intonasi suara lebih meninggi karena sang putri tak jua menjawab pertanyaannya.
"I-iya Bu, Bu-Bunga me-mengerti," lirih Bunga sembari menundukkan wajah karena takut melihat wajah Ibunya.
"Bagus, masuk kamar sekarang. Jangan pernah keluar kalau Ibu tidak menyuruhmu!" bentak Bu Zaenab kepada putrinya.
"Baik Bu."
Tanpa disuruh dua kali Bunga langsung beranjak pergi dan masuk ke dalam kamarnya. Sudah cukup Bunga membuat Ibunya kecewa hari ini, Bunga tidak ingin menambahnya lagi dengan ketidakpatuhannya. Meskipun hatinya merasa hancur setelah mendengar bentakan Ibunya tadi. Karena ini untuk pertama kalinya Bi Zaenab bicara sekasar itu kepada putrinya sendiri.
Tanpa Bunga dan orang lain ketahui, ternyata hati Bi Zaenab lebih hancur saat ia terpaksa harus bersikap kasar kepada sang putri.
'Maafkan Ibu Nak, maaf. Seharusnya Ibu tidak menyalahkanmu atas musibah ini. Karena Ibu tahu ini bukan kesalahanmu. Tapi kita hanya orang kecil Nak, kita harus tahu posisi kita di rumah ini. Tapi Ibu berjanji kepadamu akan berusaha sekuat tenaga Ibu untuk memperjuangkan keadilan untukmu,' batin Bi Zaenab menangis perih.
Sebagai seorang single parent, Bi Zaenab berusaha keras untuk membesarkan putrinya seorang diri. Berharap sang putri bisa mendapatkan kehidupan dan Pendidikan yang layak. Agar dapat menjamin masa depannya yang lebih baik.
Namun, malang tak dapat ditolak dan untung tak dapat diraih. Bi Zaenab merasakan sakit dan patah hati dalam waktu sekejap mata saat mengetahui jika sang putri telah berbadan dua. Hasil perbuatan dari orang yang begitu dirinya percayai selama ini.
Wanita paruh baya itu tidak mungkin berdiam diri saja melihat nasib yang dialami putrinya. Dia bertekad untuk memperjuangkan nasib putri dan juga calon cucu yang ada di dalam perut Bunga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bunga di Dapur Mama
Romance~Kehormatanku terkoyak di tangan anak majikan Ibuku~ "Siapa kau?! Kenapa ada di dapur rumah ku?!" hardik Angger saat mendapati perempuan asing berada di dalam dapur rumahnya. "Ma-maaf Mas saya Bunga. Saya-!" "Mmmmmpphh ...!" Bunga tidak dapat melan...