Kedok

777 114 3
                                    

"Tunggu aku mau bicara" tangan halus nan lembut itu menahan pergerakan sang dominan, lirikan mata tajam di arahkan pada si surai coklat. Maniknya bergerak gelisah, bibirnya seolah kelu seketika, tak ingat harus berkata apa, padahal waktu ini sudah ia nantikan hingga berkelahi dengan perasaan membuncah.

"Katakan saja, aku tak punya banyak waktu" kalimat ketus itu semakin membuat nyalinya ciut, kalau berurusan dalam mode dingin seperti ini, Maki jadi orang yang sangat berbeda pikirnya.

"T-tidak" genggaman tangan itu Nobara lepas pasrah, ia menunduk sembari menggeleng kecil.

Bodoh, hatinya begitu bimbang, padahal sangat ingin membicarakan tentang masa lalu kelamnya, tapi seakan ia harus lebih mempersiapkan diri untuk ini. Kacau balau, tangis, teriakan dan semua ingatan buruk membuatnya pusing, bagaimana jika Maki tak akan menerima semuanya dan pergi meninggalkannya suatu saat nanti, Nobara tidak ingin hal itu terjadi, ia sudah tak memiliki siapapun lagi. Kini tempatnya untuk pulang hanyalah wanita tegas ini.

"Maaf" gumamnya pelan.

Si lawan bicara menatap ragu, lagi-lagi raut wajah yang serupa. Wajah manis yang begitu banyak menyimpan pilu, seolah ada lubang besar yang bersembunyi dibalik air terjun indah. Gadis ini terus mengais batu dan tanah basah demi mencari kebebasannya sendiri, Maki tahu semuanya, Maki sangat tahu.

Helaan napas Maki mengusik Nobara yang termenung, bibir indah itu tersenyum tipis ke arah sang gadis, tangan kanannya terarah mengusap pelan surai pendek Nobara.

"Maafkan aku karena sudah melanggar janji" raut wajah yang lebih pendek berubah sendu, bibir tipis itu mengerucut lucu, menatap Maki memelas sembari menggeleng cepat.

"Aku akan kembali nanti malam, kita bisa bicarakan lagi di apartemen nanti" Nobara tersenyum, perubahan emosi yang begitu singkat. Bagai mengecap buah yang tak ia suka padahal belum pernah dicicipi.

"Jangan pulang terlalu larut, aku akan memasakkanmu makan malam" ujar Nobara. Perkataan itu dibalas anggukan pelan, tak lama Maki pamit meninggalkan gadis itu sendirian. Tangan indahnya melambai kala sang dominan menjauh, hatinya jadi lebih lega sekarang. Walau sulit ditebak, tapi Maki selalu berhasil membuatnya tersenyum.

.

.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, namun orang yang ia nanti tak kunjung memberi kabar. Hatinya jadi resah, tak pernah sekalipun Maki berbohong padanya. Apa ada pekerjaan penting sehingga membuat Maki lembur hari ini?

"Angkat telponnya" gusar Nobara.

"Apa aku pergi ke kantornya saja?"

Teriakan dan kata tolong berulang kali terdengar. Bau darah dan lembab tercampur jadi satu, menusuk hidung sampai ingin memuntahkan isi perut. Hawa dingin ini juga semakin menusuk luka basah yang masih mengucurkan darah segar, hantaman tongkat golf benar-benar membuat pria yang tergeletak di lantai tak bisa lagi berkutik.

Keringat dipelipis ia usap, deru napas mendera sesuai puas menghabisi lawannya. Tidak, melainkan korbannya. Pria di sudut ruangan berjalan menghampiri sang bos, tongkat golf itu diberikan padanya, surai hijau yang tergerai ia ikat cepol.

"Brengsek, membuang waktuku saja" umpat wanita itu.

"Aneki, bajumu jadi kotor" Maki melirik jas hitam dan kemejanya, ia berdecak kala mendapati cipratan darah mengenai bajunya.

"Ambilkan baju lain" jas dan kemejanya ia buka, si tangan kanan hanya menatap datar tubuh bagus itu ditutupi perban dibagian perutnya, sama seperti Yakuza lain saat bekerja. Todo pergi dari ruangan eksekusi, mengikuti perintah yang baru saja diberikan.

My Yakuza Wife [MakiNoba]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang