16. Menangisi yang Pergi

103 22 4
                                    

Lambat laun Binar akan tahu dan Tama tidak bisa lagi menyembunyikan hal itu. Garis wajahnya datar, meski hatinya berdentum nyaring karena setelah sekian lama ia kembali bertatapan dengan mata indah itu. Walau Tama sadar, jika pertemuan mereka ini bukanlah hal baik.

Binar bergeming, tatapannya kosong. Beberapa kali membuka mulut namun tidak jadi mengeluarkan suara.

"Kalau lo nggak ngomong juga, gue pergi." Katanya.

"Kenapa lo jadi gini, Tam?"

"Gini gimana maksud lo, Bin?"

"Lo mau pergi! Ke Amerika! Dan lo nggak bilang gue! Coba kenapa lo jadi gini?!" Ujarnya dengan urat leher yang mencuat marah.

Tama diam sejenak. "Tahu darimana?"

"Mama lo." Jawabnya dengan tangan terkepal di bawah meja, "Soal Mahes, soal S2 ke Amerika. Lo nggak sekalipun bicara tentang itu sama gue. Serius, lo anggep gue apa sih, Tam? Gue beneran temen lo kan?"

Mata Tama tersirat dalam setelah mendengarnya. "Harusnya gue yang tanya lo anggep gue apa, Binar? Jujur, mungkin bagi lo gue temen, tapi gue nggak bisa anggep lo sama persis karena perasaan gue ke elo lebih dari temen, Binar."

"Udah dari lama lo tahu perasaan ini dan lo selalu nolak. Sekarang, setelah semuanya berjalan sesuai dengan apa yang lo inginkan, kenapa harus lo permasalahkan, Binar?"

"Sakit hati pasti ada saat lo jadian sama calon saudara tiri gue. Terus cara gue yang menghindar dan berusaha ngelupain lo apa salah? Enggak, kan? Mending sekarang lo fokus sama Mahes, jangan sia-siain dia. Dan jangan urusin gue lagi, karena gue bisa urus diri gue sendiri." Tama bangkit, melangkah pergi tanpa melihat lebih lama wajah sedih Binar begitu ia mengatakan kalimat terakhir tadi.

Kini tidak ada lagi rahasia yang Tama sembunyikan dari Binar, karena gadis itu sudah mengetahui semuanya.

"Gue suka sama lo."

Ingin sekali Binar menyerukan sederet kata-kata tersebut, memberi tahu Tama jika Mahes tak lagi menjadi penghuni hatinya, namun dia.

Terlambat sekali Binar mengetahuinya, parahnya saat sedang menjalin hubungan dengan Mahes. Sudah tidak ada kesempatan, dan Binar menyesal tidak menyadari sejak awal.

Ia berada diambang kebingungan, antara melepaskan atau mempertahankan. Mahes baik sekali, tapi dia tak lagi mencintainya. Bila ada yang ingin memberinya gelar cewek berengsek, Binar mungkin tidak akan menyangkal.

Karena kian, dua hati sudah dan akan ia patahkan hari ini.

[ Tentang Aku, Kau dan Dia ]

Sudah 5 menit sejak Binar meminta putus dihadapan Mahes, namun lelaki itu tak kunjung membalasnya dan hanya menatap tanpa ekspresi lebih. Binar kira, Mahes akan marah-marah tidak terima dan ternyata lelaki itu tersenyum, sangat lebar.

"Akhirnya kamu sadar juga sama perasaan kamu yang sebenarnya ya, Binar?" Ujarnya lembut, yang mungkin jika ini Binar yang dulu, gadis itu akan melebur.

Alisnya menyatu. "Maksud kamu?"

Mahes menunduk sejenak dan menghadap samping lalu mendongak melihat langit kelabu. "Awalnya aku deketin kamu buat bisa deket sama Tama, calon saudara tiri aku. Sebelum itu, aku udah tahu kamu deket banget sama Tama dan sikap Tama ketara banget kalau dia suka kamu."

"Aku yang berniat deket sama Tama dan deketin kalian berdua, malah suka juga sama kamu. Mungkin dulu aku egois karena nembak kamu, sampai bikin Tama milih pergi ke Amerika."

Mahes kembali menghadap Binar dan memegang kedua bahu gadis itu. "Aku kira, perasaan kamu ke aku nggak bakal berubah. Tapi ternyata aku salah, karena kamu luluh juga pada Tama. Binar, aku nggak papa. Sakit hati Tama nggak sebanding dengan keegoisan aku. Kalau kamu memang mau balik sama dia, aku dukung, aku terima."

Tangan Mahes naik, mengelus rambut Binar halus. Berkata dengan mata teduhnya. "Karena dari awal, yang seharusnya bersama bukan aku dan kamu. Tapi Tama dan kamu."

Cukup sudah hati Binar dibuat terombang-ambing oleh kedua calon saudara tiri itu. Dibuat patah oleh Tama dan dibuat hangat oleh Mahes, Binar rasa tidak ada hari baik sekaligus buruk lagi selain hari ini.

Ia tersenyum memeluk Mahes untuk yang terakhir. Rasa bersalah karena melepaskan lelaki sebaik dia, rasa lega karena Mahes tidak menahannya untuk tetap dalam ikatan hubungan.

Mata itu memejam sesaat, pergi untuk menangisi kedua saudara tiri itu. Mahes dengan relanya, juga Tama dengan kepergiannya.

[ Tentang Aku, Kau dan Dia ]

A/N:

idk ini nulis apa?
tapi selanjutnya epilog,
ternyata gak dibuat sepanjang itu.
hehe.

Tentang Aku, Kau dan Dia ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang