Angin dingin beraroma kasturi menguar menyengat memenuhi ruangan. Aroma menyengat kasturi semakin tajam menusuk rongga hidung pasutri ini hingga menyesakkan dada keduanya. Tiba-tiba asap putih terhampar menutupi pandangan Gito maupun Dinda.
“Audzubillah Himinas Syaiton Nurokim. La Haula Wala Quwwata Illa Billah.”
Suara Gito bergema seantero ruangan hingga mampu membuat asap yang mengepul lalu menipis pelan-pelan. Tak lama kemudian, terdengar suara dentuman sangat keras layaknya dinding ambrol dan membuat lubang di lantai.
Namun, saat pandangan pasutri tersebut semakin jelas, tak tampak kerusakan apa pun dalam ruangan.
“Suara apaan tadi?”
Gito gegas melangkah ke dua kamar tidur yang bersebelahan lalu menuju dapur, tak ada apa pun. Pria berambut cepak ini pergi ke ruang tamu melihat keluar dari kaca jendela depan, hasilnya pun nihil.
Mustafa? Kamu terluka? tanya Dinda dalam hati yang berharap sang pujaan hati sudi menjawab.
Gito kembali dengan menggeleng lalu memandangi sang istri yang tampak sedih.
“Ada apa, Sayang?”
“Gak apa-apa, Mas. Hanya pengen makan buah yang masam.”
“Tumben. Mau beli ke pasar?”
“Aku mau beli rujak buah online. Kepalaku pusing banget, Mas.”
“Buat tidur aja. Mas yang pesan online.”
Secara mengejutkan Dinda merasakan perut mual, seperti diaduk-aduk. Ia berlari ke toilet, mengeluarkan isi perut sampai perih dan menyisakan rasa pahit di mulut.
“Sayang, periksa ke dokter, ya?”
“Gak usah, Mas.”
Dari dalam toilet terdengar Dinda muntah-muntah kembali. Suara keran terdengar dibuka, guyuran air terdengar sesaat lalu dimatikan.
“Sayang?”
‘Tok tok tok!’
Gito terlihat begitu panik di depan pintu toilet. Ia tak tahu apa yang terjadi dengan istrinya. Sementara yang ditunggu-tunggu belum juga membuka pintu. Gito mondar-mandir menunggu sang istri keluar.
Beberapa menit kemudian, tampak handle pintu berputar lalu terlihat Dinda keluar. Gito segera memapah istrinya untuk diajak ke kamar. Dinda berbaring dengan tangan memegang perut yang masih terasa melilit dan perih. Gito mengambil minyak kayu putih lalu mengolesi kedua pelipis, leher dan perut istrinya.
“Mas, mana rujaknya?”
“Belum ada yang buka warungnya. Masih pagi, Sayang. Tunggu siangan dikit.”
“Pengennya sekarang, Mas. Mulut udah ngiler, nih,” ucap Dinda dengan ekspresi sedih dan pada akhirnya, Gito tak tega melihatnya.
“Kita keluar beli buah. Entar Mas yang bikin rujak.”
“Badanku lagi gak enak. Takut mual kena angin, tapi pengen rujak buah.”
“Rujak uleg aja, Sayang. Di ujung gang ada,” ucap Gito sambil membelai rambut sang istri.
“Pengennya rujak buah, Mas. Mulutku laut banget.”
“Yodah, Mas keluar sekalian antar ikan ke Ibu. Kamu gak papa di rumah sendiri? Mas jadi khawatir,” ucap Gito tampak kebingungan lalu setelah berpikir, ekspresi wajahnya tampak senang.
“Mas minta tolong Bu Aminah buat temani kamu. Sekalian antar ikan ke dia. Gak mungkin kita bisa habiskan ikan segitu banyak,” ucap Gito lebih lanjut.
“Ya, Mas. Maaf, gak bisa bantu. Mual mulu,” ucap Dinda sambil bangkit dan gegas lari ke toilet.
Gito segera menyusul sang istri lalu mengetuk pintu toilet.
“Kita ke dokter sekarang, Sayang.”
“Gak usah, Mas. Beli rujak aja, pasti sembuh.”
“Habis makan rujak, kita pergi ke dokter. Biar tau sakit apa. Sekalian mampir ke rumah Pak Kyai. Biar gak digangguin barang halus mulu.”
Dinda yang mendengar perkataan Gito, merasa khawatir akan keselamatan Mustafa. Hatinya jadi bimbang antara mengiyakan atau menolak rencana suaminya. Dinda tahu betul, Gito adalah pria penyabar dan selalu menyayanginya. Dinda tahu yang dilakukan Gito adalah demi keselamatannya.
Namun, tak bisa ia dipungkiri, kenikmatan di ranjang bersama Mustafa selalu membayanginya dan tak ingin melepaskan. Mustafa adalah makhluk tak kasat mata dan tak mungkin ada yang tahu perselingkuhan mereka termasuk Gito.
“Sayang?”
“Eh, iya, ya. Kita ke dokter dulu aja. Habis itu mau tidur seharian. Ben-taarr ....”
Dinda berlari terbirit-birit ke toilet sambil menutup mulut. Rasa mual menderanya kembali. Gito mengikutinya sampai depan toilet.
“Sayang, gimana mau makan rujak. Kalo muntah-muntah gitu?”
“Gimana lagi, pengen,” jawab Dinda dari dalam.
Tak lama kemudian terdengar suara keran dihidupkan. Guyuran air mengguyur di kloset sesudahnya lalu suara Dinda berkumur dan cuci muda.
‘Ceklek!’
Seraut wajah muncul dari balik pintu dengan pucat pasi sambil mengusap bekas air di wajah.
“Siap-siap ke dokter. Kita nanti mampir beli rujak,”ucap Gito sambil merangkul sang istri menuju kamar.
“Oh, ya. Mau kasih ikan ke Bu Aminah dan Ibu katanya,” sahut Dinda mengingatkan Gito sebelum masuk kamar.
“Ya. Mas, siapin kalo gitu,” balas Gito segera menuju meja makan.
Tas kresek besar berisi ikan segar teronggok di atas meja. Ikan-ikan tersebut tak dimasukkan kulkas karena tak muat. Gito mengambil dua kresek sedang untuk mewadahi ikan-ikan yang akan diberikan untuk Bu Aminah dan ibunya. Setelah mempersiapkan dua kresek dan mengikat ujungnya, Gito ke toilet mencuci tangan.
“Aku udah siap Mas,” ucap Dinda saat Gito hendak masuk kamar akan mengambil jaket.
“Pake jaket Mas, biar gak kena angin,” balas Gito sambil memakaikan jaket miliknya ke tubuh Dinda.
Akhirnya, mereka telah siap berangkat dengan berjalan beriringan membuka pintu lalu mengunci kembali. Dinda telah duduk di atas boncengan motor saat Mustafa muncul memegang perut kekasihnya.
“Jaga dia, Jamila!”
Apa maksudmu, Mustafa? tanya Dinda di dalam hati.
Mustafa tak menjawab, hanya mengumbar senyum manis lalu mengecup pipi Dinda sekilas dan menghilang.
“Pegangan yang erat, Sayang!” pinta Gito sambil menarik tangan sang istri melingkar ke perutnya.
Dinda tersenyum terlihat dari kaca spion. Hati Gito berbunga-bunga melihatnya dan berharap yang ada di rahim sang istri adalah karunia yang selama ini mereka nantikan.
Motor mulai meninggalkan halaman rumah diiringi lambaian tangan Mustafa dengan mata berbinar-binar.
“Engkau akan aku jaga di mana pun berada. Kau boleh memilih hidup di duniamu atau duniaku. Tak masalah bagiku. Terserah kamu, Jamila,”bisikan lembut suara Mustafa mampir di kendang telinga Dinda.
Dinda tak mau menjawab, kebimbangan sedang membebani pikirannya kini. Gito atau Mustafa? Baginya sama-sama diinginkannya.
Ia tak mungkin memilih, tapi dari kemarahan Mustafa, sudah terjawab kekasih gelapnya adalah pencemburu. Dinda pun tak mungkin berpisah dengan suami sahnya.
“Sayang, mau beli rujak sekarang atau nanti sepulang dari dokter?”
“Kita mampir ke rumah Bu Aminah dulu. Habis itu ke Ibu, baru beli rujak.”
Selesai Dinda berbicara, Gito telah menghentikan motor tepat di depan rumah Bu Aminah. Dinda turun lalu mengambil salah satu kresek yang tergantung di setang motor.
Wanita ini hanya sebentar berbincang dengan tuan rumah lalu segera naik kembali ke motor dan mereka berlalu dengan terlebih dulu berpamitan kepada Bu Aminah yang menunggu di depan pagar.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU
HorreurDinda dan Gito adalah pasangan pengantin baru. Mereka mengarungi rumah tangga baru dua bulan. Gito yang bekerja sebagai sekuriti, sering kali meninggalkan Dinda seorang diri di rumah saat malam hari. Sementara di samping rumah kontrakan mereka terda...