“Diteruskan Mbak Dinda. Biar janin itu bisa keluar dari tubuhmu. Insyaallah setelah itu, tubuh Mbak akan kasat mata kembali.”
“Iya, Pak Kiai. Bismillah ...,” suara Dinda terdengar mulai lancar tak kesakitan lagi.
“Hai, Lelaki Tua! Buka lingkaran laknat ini! Jangan kau ambil calon istriku!”
Mustafa yang murka berteriak dari halaman berkeliling mengitari rumah. Sosok Timur Tengah ini tak mampu masuk rumah kembali karena telah dipagari oleh doa-doa oleh Pak Kiai. Pria bersorban putih ini hanya tersenyum mendengar teriakan Mustafa. Ia sedang serius mengarahkan Dinda yang mulai mendekati kebebasan diri dari janin benih Mustafa.
“Saya udah gak kuat, Pak Kiai! Mas Gito ...! Ibuuu ...!”
Suara Dinda mulai melemah, sedang Gito dan Bu Teti hanya mampu mendengar tanpa bisa melihat keadaan wanita yang mulai berlumuran darah di bagian bawah tubuhnya. Pak Kiai membantu memberi kekuatan kepada Dinda lewat doa.
“Sayaang, yang kuat, ya. Kamu pasti bisa. Mas bantu doa,” ucap Gito sambil meraba sajadah yang diperkirakan tempat sang istri duduk.
“Nduk, kamu pasti kuat. Ibu ada di sini untuk kamu. Ibu gak bisa liat kamu. Bismillah! Kita mohon sama Allah, “ ujar Bu Teti dengan bercucuran air mata.
Wanita separuh baya ini bingung harus bagaimana lagi. Ia ingin menyentuh untuk memberi rasa nyaman kepada sang menantu pun tak bisa.
“
“Mbak Dinda pasti bisa. Bapak bimbing baca Ayat Kursi setiap rasa sakit datang, teriak Allahu Akbar.”
Pak Kiai mulai membaca ayat tersebut pelan-pelan lalu diikuti Dinda dan yang lain.
“Auuuchh ...! A-allahu A-akbaaar! Dalam perut mendesis. Mau menjebol keluar!”
“Kencengin bawaannya lagi, Mbak!”
“Ayoo, Sayang! Kamu kuat.”
“Ayoo, Nduuk! la haula wala quwwata illa billah.”
Selagi semua pada sibuk memberi semangat untuk Dinda, tiba-tiba dari arah depan terdengar suara ketukan.
“Ada tamu itu. Ibu mau ke depan dulu.”
“Bukan siapa-siapa, Bu. Itu Mustafa pengen gagalin kita,” sahut Pak Kiai untuk menenangkan Bu Teti.
“Assalammu'alaikum, Bu Teti!”
Dari depan terdengar suara seseorang yang sangat dikenal oleh tuan rumah.
“Itu seperti suara Bu Rt. Ada yang penting kayaknya,” ucap Bu Teti yang bersiap untuk bangkit.
Pak Kiai pun segera berdiri mendahului Bu Teti keluar dari Musala.
“Mas Gito tolong dijaga Mbak Dinda. Terusin baca Ayat Kursi tanpa putus. Kayaknya pikiran Bu Teti sudah dipengaruhi jin sesat itu.”
“Baik, Pak! Saya tak mendengar seperti yang ibu bilang.”
Pak Kiai agak mendekat ke arah pintu keluar musala lalu mulai berkomat-kamit baca doa dan meniup telapak tangan tiga kali. Kedua telapak tangan pria bersorban ini diletakkan di atas kepala Bu Teti berjarak lima sentimeter.
“Bismillahirrahmanirrahim! Tolong ikuti saya, Bu! La Ilaha Illallah ... La Ilaha Illallah ... La Ilaha Illallah.”
Kini, tampak Bu Teti lebih tenang dan tampak kebingungan melihat sekeliling ruangan dan memindai satu persatu dalam musala.
“Astaghfirullah hal adzim. Saya sempat dengar suara-suara tadi, Pak Kiai,” ucap Bu Teti sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangan.
Wanita ini menoleh ke arah Gito dan seketika melangkah di depan sang anak lalu layaknya memeluk sesuatu.
“Masyaallah, Nduk! Ayo rebahan di sini,” ucap Bu Teti seperti membantu menaruh sesuatu di pangkuannya.
“Ibuu, sakiiit!”
Rupanya yang barusan dibantu rebahan oleh Bu Teti adalah Dinda, menantunya. Gito hanya terbengong melihat ibunya tak tampak olehnya wujud sang istri.
“Mas Gito! Yang di kresek hitam di atas meja itu apa?” tanya Pak Kiai sambil menunjuk sesuatu.
Gito pun segera bangkit menghampiri pria bersorban ini. Berdua melangkah bersama ke arah meja makan. Tak disangka kresek berisi ikan yang dibawa Gito dari rumah mengeluarkan asap dan bau anyir berbaur aroma kasturi.
“Ada tali rafia, Mas?”
“Ada, Pak. Sebentar saya ambil,” jawab Gito gegas melangkah ke bufet lalu menarik salah satu laci.
Dari dalam laci, Gito mengambil gulungan kecil tali rafia. Pria berambut cepat ini meraih juga gunting lalu menghampiri Pak Kyai dan mengulurkan kedua benda tersebut.
“Guntingnya dipegang Mas Gito saja. Nanti Bapak yang nali, Mas Gito yang menggunting ujung ikatan.”
Pak Kiai segera menali ujung kresek erat-erat lalu Gito menggunting ujungnya.
Dari dalam kresek ada sesuatu yang besar bergerak-gerak semakin keras.
“Mari kita bawa ke halaman belakang, sekalian dibakar.”
“Bismillah ....”
Keduanya mengangkat kresek yang terasa semakin berat tiap menitnya ini.
“Ini apa, Pak Kiai? Padahal isinya ikan laut tadi.”
“Nanti juga, Mas Gito tau.”
Langkah Pak Kyai semakin dipercepat begitu pun Gito. Mereka menuju pintu belakang dan Gito segera membuka gerendel lalu membuka daun pintu. Keduanya menuju kebun belakang, sekitar tiga meter dari pintu dapur.
“Tolong letakkan di sini, Mas!”
Gito menuruti kata Pak Kiai dengan bersama-sama menurunkan kresek yang tampak semakin mengembang seperti balon udara.
“Subhanallah! Apa ini?” teriak Gito yang mundur beberapa langkah terdorong kresek yang semakin berkembang. Pak Kiai dengan tangkas mengambil korek dari kantong kemeja sambil menepi beberapa senti dari kresek tersebut.
“Mas Gito ada kertas atau apa yang bisa dibakar?”
“Oh ini, Pak. Tulisan doa dari Bapak.”
“Alhamdulillah kebetulan.”
Gito segera mengambil secarik kertas dari saku baju lalu mengulurkan kepada pria bersorban di dekatnya. Tak lama kemudian, Pak Kiai membakar kertas sambil melafazkan doa lalu melemparkannya ke atas kresek yang semakin membesar hampir setinggi pohon mangga.
“Bantu saya baca Al Fatihah lanjut Ayat Kursi, Mas,” ucap Pak Kiai menatap tajam ke arah benda aneh di depan mereka.
“Bertaubatlah atau kalian musnah dalam api ini,” ucap Pak Kiai lantang lalu mulai memimpin doa.
“Bismillahirrahmanirrahim ....”
Kedua pria berbeda usia ini secara bersama-sama membaca doa yang disarankan Pak Kiai barusan. Begitu memasuki pertengahan bacaan, sesuatu yang aneh di dalam kresek menggelegar kepanasan lalu mengoyak kresek hingga bagian dalam terlihat.
“Astaghfirullah! Ular?”
“Ular dari bangsa jin, Mas Gito. Ini doyan memasuki tubuh manusia dari makanan.”
“Wah, berarti ikan laut ini pemberian jin?”
“Mas Gito dapat dari mana?”
“Tami teman sekolah istri saya, Pak Kiai.”
“Masih punya simpanan lagi?”
“Ada di rumah dan dikasih tetangga, Pak.”
“Kita musnahkan dari sini saja, Mas Gito. Insyaallah atas rida Allah akan musnah semua.”
Kresek yang sudah terkoyak karena desakan dari dalam dan juga efek terbakar makin tampak jelas perwujudan ular besar yang ada di dalamnya. Ekor hewan tersebut menyembul mencari tempat untuk menjalar.
Namun kalah cepat dengan gerakan Pak Kiai yang mengambil galah dan memukulkannya ke ekor tersebut. Tentu saja dengan bantuan lafaz doa. Terbukti ekor tersebut gosong dan terpotong.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU
TerrorDinda dan Gito adalah pasangan pengantin baru. Mereka mengarungi rumah tangga baru dua bulan. Gito yang bekerja sebagai sekuriti, sering kali meninggalkan Dinda seorang diri di rumah saat malam hari. Sementara di samping rumah kontrakan mereka terda...