AKHIR PERJALANAN MBOK WO

1.1K 30 1
                                    

Jasad tersebut memakai pakaian yang telah menjadi ciri khasnya semasa hidup. Dinda dan Bu Teti yang telah bermasker terpaksa menutup dengan telapak tangan karena saking busuk aroma di dalam toilet. Kedua wanita ini gegas keluar lalu berlari ke arah WC yang berada di belakang rumah.

“I-itu ... baju Pak Wo. Kok bisa? Semua akik yang di jari, punya dia,” ucap Bu Teti sesaat setelah duduk bersama di ruang tengah masih dengan napas ngos-ngosan.

Tak lama kemudian, Dinda datang dengan muka pucat pasi. Wanita muda ini tak mengenal Pak Wo, tapi ia jadi syok melihat jasad yang mengerikan barusan. Ia merasakan aroma mistis menyelimuti sang jasad.

Gito segera menuju ruang tamu dan kembali dengan nampan berisi gelas minuman mereka. Ia meletakkan gelas ke depan masing-masing pemilik.

“Silakan diminum, Kiai”

“Terima kasih, Mas Gito.”

Pria berambut cepak ini menyodorkan minuman kepada sang istri. Dinda segera menerima lalu meneguk isinya sampai tandas. Kemudian wanita muda ini menarik napas panjang dan mengembuskannya kembali.

“Allahu Akbar!” serunya sambil menitikkan air mata.

Pak Kiai menoleh sekilas ke arah Dinda lalu menatap ke gelas minumannya.

“Kita gak pernah tahu akan seperti apa perjalanan hidup di masa depan. Namun, kita punya pilihan selagi masih hidup dan mempunyai otak waras. Apa yang kita perbuat itu yang akan dipetik. Asal kita hidup di jalan Allah, insyaallah berkah dan mati pun dalam keadaan tenang.”

Setelah berucap seperti itu, Pak Kiai berzikir dengan tasbih di jari-jemari. Sementara yang lain masih menunggu lanjutan dari kata-kata pria bersorban ini.

“La haula wala quwwata illa billah.”

Gito menatap ke arah Pak Kiai. Pria yang ditatap menghela napas sesaat lalu tersenyum ke arah Gito.

“Alhamdulillah atas izin Allah kita dikasih lihat bagaimana nasib manusia yang bersekutu dengan selain Allah. Dalam keadaan sudah jadi jasad pun masih dimanfaatkan untuk menyesatkan manusia lain. Naudzubillah min dzalik.”

“Astaghfirullah! Berarti saat Mbok Wo bilang suaminya minggat ... udah mati, Kiai?”

“Insyaallah, iya, Bu Teti. Ular jadi-jadian tersebut memakai jasad suaminya.”

“Maaf, Kiai! Rohnya ke mana?” tanya Gito makin penasaran.

“Manusia yang bersekutu dengan setan. Saat mati, roh jadi budak setan sampai hari kiamat datang.”

“Astaghfirullah hal adzim!” Semua berseru begitu mendengar penjelasan Pak Kiai.

“Habis ini, tolong Mas Gito ke rumah perangkat desa buat laporan jika ada penemuan mayat di rumah kosong.”

“Mayat siapa, Kiai?” tanya Gito dengan mata terbelalak kaget, demikian pula yang dialami oleh kedua wanita di dekatnya.

“Mbok Wo mati terpanggang oleh ilmunya sendiri. Dia berniat menyerang Mas Gito sekeluarga, tapi justru ilmu tersebut balik arah ke tubuhnya. Dan jasad yang di dalam bak adalah sebatas penampakan sesaat. Ia akan menghilang diambil kembali oleh pemiliknya. Alhamdulillah, sudah saya bacain doa tak mungkin bisa dibangkitkan kembali.”

“Allahu Akbar!” Gito berucap berkali-kali dengan mata berkaca-kaca karena terharu.

Pria ini merasa bersyukur kepada Allah karena telah dihindarkan dari perbuatan keji pemuja setan.

“Ibu tak menyangka kalo Mbok Wo akan sejahat itu ke keluarga kita. Kok tega? Apa salah kita, hingga kita mau dijadikan korbannya?”

“Dia mencari pengikut, biar memperpanjang umur di dunia,” jawab Pak Kiai.

“Buat apa hidup lama, tapi bikin dosa, “ ucap Dinda dengan ekspresi gemas.

“Namanya juga sesat. Gak mikir dosa,” sahut Gito sembari tertawa.

Mereka berembug apa saja yang akan mereka lakukan selanjutnya. Gito yang penasaran segera beranjak ke toilet. Pria ini ingin membuktikan perkataan Pak Kiai.

Dinda dan Bu Teti mengikuti langkah Gito. Mereka telah sampai di depan toilet dan memang tak ada lagi aroma menyengat seperti tadi. Gito segera masuk lalu melongok bak air dan tak ada apa pun di dalamnya.

Dalam toilet seperti semula, bersih serta tak tersisa apa pun dari jasad mengerikan barusan, termasuk air pembuangan dari bak.

“Allahu Akbar!” seru Gito sembari keluar dari toilet.

Dinda dan Bu Teti bergantian masuk dan mereka tak kalah takjub dari Gito. Sang ibu bahkan menyempatkan mengusapkan telapak tangan ke dalam bak lalu menciumnya. Kenyataannya, memang tak ada bau yang menyengat tercium dari tangan wanita ini.

“Le, kamu segera lapor aja. Sementara itu, Ibu dan istrimu membersihkan toilet biar bisa digunakan kembali.”

“Bu, apa gak dikasih doa-doa tertentu? Khawatir rohnya gangguin orang mandi,” sahut Dinda dengan bergidik membayangkan yang tidak-tidak.

“Kita tanya ke Kiai aja. Ayo, Le," ujar Bu Teti kemudian.

Mereka kembali melangkah ke ruang tengah dan Pak Kiai sudah bersiap mengajak Gito ke perangkat desa. Setelah kedua pria melangkah keluar, Bu Teti dan Dinda segera membersihkan toilet dengan membaca Ayat Kursi terlebih dulu, seperti saran Pak Kiai sebelum pergi.

Sekitar setengah jam mereka bersih-bersih, kamar mandi tersebut sudah bisa digunakan kembali. Sebuah pengharum ruangan digantung di dalamnya. Kini, toilet tersebut tampil lebih berkilau dan harum.

“Jamila, meski aku kini tak bisa menyentuhnya. Aku akan tetap menunggumu.”

Desiran angin dingin beraroma kasturi menerpa telinga Dinda menyampaikan pesan gaib. Wanita muda ini hanya tersenyum dan tak ingin mencari keberadaannya seperti sudah-sudah. Hati Dinda telah fokus hanya kepada suami dan kehidupan nyata.

Ia tak goyah dengan iming-iming kekayaan maupun keperkasaan dari Mustafa lagi. Dunia mereka berbeda dan kebahagiaan yang dicari Dinda hanya ada di dunia nyata. Mustafa yang merasa terabaikan seketika tersenyum masam lalu menghilang.

Ya Allah, hanya pada-Mu aku meminta pertolongan, ucap Dinda dalam hati.

Cukup sudah rasa sakit, takut dan khawatir yang dialami karena terjerat fatamorgana dunia lain. Ia hanya melihat Gito adalah pria yang terbaik untuknya dan tak ingin hati goyah lagi.

“Nduk, sini! Itu mayat Mbok Wo udah digotong dengan keranda akan dibawa ke masjid.” Tiba-tiba teriakan sang mertua dari ruang tamu menyadarkan Dinda dari lamunan. Wanita berpunggung ramping ini gegas melangkah menghampiri Bu Teti.

Mereka mengintip dari balik tirai sementara pintu depan sengaja ditutup untuk menghindari warga yang mencari tahu tentang berita heboh ini. Seperti dugaan mereka, beberapa ibu masuk ke halaman kontrakan.

Mereka memanggil nama Dinda, tapi wanita ini tak menyahut, sengaja tak ingin bergosip. Dari balik tirai, Dinda melihat Pak Kiai dan suaminya dalam rombongan pengusung keranda.
Mata jernihnya melihat penampakan sosok gagah yang sangat familiar di antar rombongan tersebut.

Sosok tersebut berpakaian koko dan bersarung serta memakai kopiah. Mata Dinda semakin terbelalak, saat sosok ini maju ke depan memimpin rombongan untuk berzikir dan berselawat.

“Aku tak salah liat?” tanya Dinda mirip bergumam sambil mengucek-ngucek mata dengan kedua tangan.

“Apa kamu bilang, Nduk?” tanya Bu Teti heran.


JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang