“Mas! Bu! Mustafaaa ...!”
Teriakan Dinda menggema di seluruh rumah, tapi tak ada balasan dari siapa pun. Tubuh wanita ini masih terlentang di tempat tidur tertutup jubah. Ia masih tak bisa menggerakkan badan sedikit pun.
Hanya kedua matanya mampu menembus jubah untuk melihat sekeliling ruangan kamar. Ya, kamar yang ditempati sekarang adalah kamarnya dengan Gito.
Desiran angin dingin beraroma kasturi datang mendekat. Dinda sudah tahu keberadaannya di ruangan ini adalah ulah pemilik aroma kasturi tersebut.
“Mustafaaa!”
“Ya, Jamila. Permaisuriku!”
“Aku ingin pulang.”
“Ini rumah kamu.”
“Balikkan tubuhku seperti semula.”
“Tubuhmu tak berubah sama sekali.”
“Bikin bergerak lagi.”
“Tunggu sampe anak kita lahir.”
“Mustafa, mengertilah! Dunia kita berbeda. Jangan menyisaksaku.”
Dinda terisak-isak dan air matanya terburai menggenangi kedua pipi. Ia tak tahu lagi, meski bagaimana menghadapi makhluk beda alam di dekatnya kini. Rasa penyesalan yang teramat dalam menyelimuti hatinya.
“Astaghfirullah hal adzim! Ya Allah bantulah aku! Hanya Kau penguasa segala makhluk hidup.”
“Jamila, tunggu sampe anak kita lahir. Kita kembali ke alamku.”
Dinda yang mendengar itu semakin menjadi tangisannya. Rasa sedihnya semakin sesakkan dada. Ia melafazkan segala doa yang telah diajarkan oleh Gito. Wanita berwajah manis ini yakin bahwa pertolongan Allah akan segera datang.
•••¤•°•¤•••
Sementara di rumah Bu Teti, Gito dan ibunya masih kebingungan mencari keberadaan Dinda.
“Ini udah pesan makanan dan minuman buat acara pengajian. Coba tanyain Pak Kiai, jam berapa akan ke sini.”
“Baik, Bu. Sekalian kita undang para tetangga yang ada waktu dan teman-temanku.”
“Ya udah. Buruan tanyain Pak Kiai lalu undang yang lain.”
Gito segera menghubungi Pak Kiai. Beberapa saat berbicara lewat telepon, Gito tampak mengangguk lalu mengucapkan salam dan menawarkan diri untuk menjemput pria yang biasa bersorban tersebut. Akhirnya, Gito mengakhiri hubungan telepon dan tersenyum kepada Bu Teti.
“Bisa kapan?”
“Alhamdulillah setelah jam sembilan pagi ini, Bu.”
“Alhamdulillah. Ibu akan minta ke tukang kue biar segera diantar pesanannya.”
“Setuju, Bu. Teman-temanku udah aku kirimin pesan. Sekarang aku mau ke para tetangga buat minta tolong.”
“Ya, Le. Segera sana!”
Gito melangkah keluar rumah, tapi telinganya mendengar samar-samar suara rintihan dan ucapan minta tolong dari Dinda.
“Mas, tolong aku! Aku terkurung.”
“S-sayang! Kamu di mana?”
Hening. Gito celingukan mencari sumber suara Dinda kembali, tetapi tak terdengar lagi. Hanya suara desiran angin yang menimpa helaian dedaunan ditingkahi kicauan burung bersahutan, beterbangan berpindah dari ranting ke ranting. Tak ada suara sang istri lagi.
“Bismillahirrahmanirrahim! Dindaaa! Di mana kamu, Sayang?”
Ya Allah! Tolong kami! Singkirkan gangguan ini, ratap Gito dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU
TerrorDinda dan Gito adalah pasangan pengantin baru. Mereka mengarungi rumah tangga baru dua bulan. Gito yang bekerja sebagai sekuriti, sering kali meninggalkan Dinda seorang diri di rumah saat malam hari. Sementara di samping rumah kontrakan mereka terda...