“Memang berat di hati dan pikiran. Jangankan Ibu, aku pun jauh lebih terpuruk lagi. Percayalah, Bu! Pertolongan Allah akan segera datang jika kita bersabar, yakin dan percaya hanya pada-Nya.”
Bu Teti menunduk lalu mulai beristighfar. Ia tak ingin terburu nafsu lagi. Rasa sedih dan galau karena harus terpisah lagi dengan Dinda membuatnya mata gelap. Ia tak ingin mengacaukan usaha mereka lagi.
“Mas, Ibu ... panaas! Kepalaku pusiiing!”Suara Dinda terdengar seperti orang kehabisan napas.
“Sayang, baca istighfar dan Surat An-Nas,” sahut Gito mencoba menenangkan istrinya sambil mengetuk dan mengelus dinding.
Pria ini merasa terenyuh dengan nasib yang harus dialami sang istri. Hatinya hanya tertuju pada kekuatan Sang Pencipta saja dan tak ingin tergoyahkan oleh apa pun. Justru ibunya saja yang sering terbawa emosi dan tak berpikir panjang.
“Mari Bu Teti dan Mas Gito, kita baca Yasin sebanyak tiga kali lanjut selawat Nabi,” ucap Pak Kiai sambil menggeser letak duduk agak mendekat ke dinding tempat diperkirakan Dinda berada.
“Mbak Dinda, tolong ikuti bacaan kami, ya,” lanjut pria bersorban ini dengan mengetuk dinding untuk memberi tanda.
“Baik, Kiai,” jawab Dinda terdengar lirih, tapi jelas adanya derai tangisan di antara kata yang terucap.
Keempat orang tersebut mulai melafazkan bacaan surat yang dimaksud. Ketiga orang masih tetap dalam posisi memegang dinding dengan Dinda yang sesekali merintih, bersama-sama mengumandangkan ayat-ayat kebesaran illahi.
Namun, tanpa disadari oleh yang lain kecuali Pak Kiai. Ada getaran besar dari dalam dinding yang seakan-akan menyelimuti tubuh wanita muda ini untuk mencegahnya masuk ke alamnya kembali.
Getaran tersebut dihasilkan oleh selaput bergelombang yang semakin menebal setiap lantunan ayat hendak menembus kulit Dinda. Semakin kencang lantunan ayat merapat ke tubuh sang wanita, seketika itu gelombang selaput dua kali lipat menghentakkan kembali.
“Auch ... s-sakiiit!”
Gito dan Bu Teti langsung terkejut mendengar jeritan sang wanita yang jelas terdengar tak seperti sebelumnya yang sekadar lirih.
“Sayang. Ada apa?”
“Nduk?”
“Mbak Dinda, fokus dengan bacaan dan jangan goyah dengan pikiran apa pun,” saran pria berjenggot beruban ini sambil mengetuk dinding beberapa kali.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” seru pria bersorban ini masih dengan kedua telapak tangan memukul dinding.
Ketukan yang dilakukan oleh Pak Kiai terlihat pelan, tapi nyatanya sangat dahsyat efeknya pada gelombang tersebut. Dinda merasakan getaran selaput gelombang semakin menyusut kekuatannya.
“Lelaki tua, bedebah! Selalu saja menghalangiku!”
Terdengar suara Mustafa penuh amarah bergema memenuhi seisi ruangan. Orang yang dimaksud hanya tersenyum tipis, sedangkan Gito dan ibunya merinding bulu kuduk saat mendengarnya.
“Bu Teti dan Mas Gito mantapkan hati, fokus hanya pada Allah.”
“La haula wala quwwata illa billah.”
Mereka melafazkan bersama-sama dengan satu keyakinan. Allah pasti membantu mereka keluar dari kemelut ini.
“Mas, Ibu! Aku pengen kembali,” ucap Dinda dari dalam dinding terdengar menyayat hati.
“Yang kuat, Sayang! Kamu pasti bisa!”
Gito mengetuk pelan dinding memberi semangat pada sang istri, begitu pun Bu Teti. Wanita separuh baya ini mengelus dinding di depannya sambil membayangkan bahwa itu adalah tubuh sang menantu.
“Nduk! Ada Ibu yang bantu kamu dengan doa. Gak boleh ragu, ya.”
Namun, secara mengejutkan Pak Kiai bangkit lalu tampak mendorong sesuatu menjauh dari dinding.
“Enyahlah, Kau! Kalian punya dunia sendiri.”
Tubuh pria ini bergetar hebat layaknya mengeluarkan suatu kekuatan dari kedua telapak tangan. Yang dirasakan oleh Gito dan Bu Teti embusan angin kencang teramat kencang mendorong sesuatu keluar musala.
‘Praaak!’
‘Pyaaar!’
Ada benda terjatuh dan pecah, tapi tak tampak apa pun dari tempat sumber suara. Pak Kiai melangkah mendekati tempat tersebut. Pria ini berjongkok seperti memungut sesuatu lalu menggenggamnya pada kedua tangan. Akhirnya menoleh ke dalam sambil menatap dengan pandangan teduh ke Gito lalu beralih kepada Bu Teti dengan menunduk.
“Tolong sediakan dua buah toples bening lengkap dengan penutup!”
Tentu saja, permintaan pria bersorban barusan membuat ibu dan anak ini heran. Namun, Gito segera mengerti maksud dari Pak Kiai. Ia segera bangkit lalu melangkah ke arah dapur untuk mengambil benda tersebut dari lemari. Gito segera kembali dengan menggenggam kedua toples berjalan menghampiri Pak Kiai. Gito jongkok lalu meletakkan kedua toples di lantai.
“Tolong dibuka kedua tutupnya, Mas,” ucap Pak Kiai sambil ikut berjongkok dengan kedua tangan menggenggam erat.
Dari genggaman pria bersorban ini tampak ada gerakan halus yang kemudian berubah menjadi getaran semakin kencang. Begitu kedua tutup dibuka oleh Gito, Pak Kiai segera memasukkan sesuatu tersebut ke dalam kedua toples dan menutupnya dengan telapak tangan.
“Tolong bantu saya menutup toples satu persatu dengan hati-hati agar tak ada celah untuk lepas!” pinta Pak Kiai yang kemudian diikuti oleh Gito.
Bu Teti yang penasaran ikut mendekat setelah kedua toples tertutup rapat.
“Maaf, Kiai! Itu tadi apa, ya?” tanya wanita setengah baya ini sambil mempertajam pandangan mata, tapi tak terlihat apa pun di dalam kedua toples.
“Ini jin yang gangguin Mbak Dinda,” jawab Pak Kiai.
“Kok ada dua?”
“Yang satu, dayangnya, Bu,” jawab pria berjenggot lebat ini sambil berdiri.
“Sebaiknya ditaruh mana, Kiai?” tanya Gito sambil mengangkat toples dibantu sang ibu.
“Ditaruh bufet musala dekat Al-Quran. Biar tiap hari dengar bacaan salat dan suara orang mengaji.”
“Baik, Kiai,” jawab Gito sambil membawa toples diikuti Bu Teti ke arah bufet.
Setelah kedua toples ditaruh meja, mereka melanjutkan dengan melantunkan zikir atas kebesaran Allah dan puji-pujian untuk Nabi Muhammad Saw. Dinding tampak bergetar lalu muncul kepala Dinda dan hal ini hanya terlihat oleh Pak Kiai.
“Bu Teti, boleh minta tolong, ambilkan mukena yang agak tebal?”
Bu Teti segera bangkit lalu mengambil sebuah mukena dari etalase di sebelahnya.
“Tolong, mendekat ke dinding dekat Ibu dan ulurkan.”
“Baik, Kiai.”
Bu Teti menuruti kata Pak Kiai dan sebuah keanehan terjadi. Tiba-tiba mukena tersebut masuk dinding dan lenyap.
“Allahu Akbar!”
Bu Teti seketika menatap bekas mukena menghilang. Gito pun segera memegang dinding tersebut.
“Sayang?”
“Sabar, Mas Gito! Biar Mbak Dinda berbenah dulu.”
“Sudah bisa bebas, Kiai?” tanya Gito dan Bu Teti hampir bersamaan.
Pak Kiai hanya tersenyum lalu mengangguk.
“Alhamdulillah!”
Anak dan ibu ini pun kompak berseru dengan tetap menatap dinding yang tak menampakkan perubahan sedikit pun.
“Sayang, masih di sini?” tanya Gito sembari menempelkan salah satu telinganya ke dinding.
Bu Teti meraba dinding dari atas ke bawah, tapi tak didapati apa pun selain permukaannya yang rata.
“Nduk, kamu di mana?”
Baik Bu Teti maupun Gito kebingungan di bawah pengawasan Pak Kiai yang tersipu penuh arti.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU
HororDinda dan Gito adalah pasangan pengantin baru. Mereka mengarungi rumah tangga baru dua bulan. Gito yang bekerja sebagai sekuriti, sering kali meninggalkan Dinda seorang diri di rumah saat malam hari. Sementara di samping rumah kontrakan mereka terda...