KABAR BAHAGIA BUKAN UNTUK DINDA

7.7K 220 0
                                    

“Mas berhenti sebentar,” ucap Dinda seraya menepuk bahu Gito.

“Kenapa, Sayang?”

Gito segera menghentikan motor lalu menoleh ke arah istrinya. Sedangkan Dinda sudah tak mampu menjawab pertanyaan sang suami, begitu turun dari motor langsung berlari ke arah saluran air di pinggir jalan.

Wanita bertubuh sintal ini langsung jongkok di pinggir saluran air dan menunduk untuk memuntahkan semua isi dalam perut. Meski sudah tak ada yang bisa dikeluarkan kembali, mulutnya masih ingin muntah.

Dinda meremas perutnya yang berasa melilit dan perih. Dari kedua kelopak matanya keluar buliran bening. Tampak jelas yang dirasakan kini, membuat Dinda tersiksa.

“Sayang, kita langsung ke dokter aja, ya?” tanya Gito lembut sambil mengurut tengkuk istrinya.

“Ikan untuk Ibu?”

Dinda menoleh lalu bangkit dibantu suaminya. Ia sesekali mengusap bibir dan sekitar pipi dengan tisu.

“Setelah berobat ke rumah Ibu. Sekarang beli rujak langsung periksa,” ucap Gito sambil merangkul istrinya untuk kembali ke motor.

Setelah Dinda duduk dengan nyaman dan memeluk pinggang Dito, pria berambut cepak ini memacu motor ke arah pasar. Pasutri ini tak menyadari ada sepasang mata bersorot tajam mengawasi dengan tatapan teduh.

“Jamila, aku sayang kamu.”

Ucapan sosok berparas Timur Tengah ini menggerakkan angin untuk berbisik lirik ke kendang telinga Dinda. Wanita ini mendengarnya meski dalam rintih menahan perih tiada terkira.

Sepanjang hidupnya baru sekali ini merasakan sakit yang sangat luar biasa ini. Jari jemari tangan Dinda meremas kuat perut Gito, hingga sang suami terpaksa menghentikan laju motor.

“Sayang, ditahan sebentar, ya. Kita langsung ke dokter.”

“Aku pengen rujak, Mas,” balas Dinda dengan terbata-bata karena nyeri perutnya.

“Bisa pesan online. Yang penting biar sakitmu sembuh dulu,” ucap Gito sambil mengelus tangan sang istri lalu mulai memacu motor kembali.

Mustafa, kamu pasti tau apa yang terjadi? tanya Dinda dalam hati.

“Bisa jadi aku tau,” jawab sosok Timur Tengah ini, suaranya menerpa lembut di samping Dinda tanpa Gito mengetahui keberadaannya.

Sakit sekali ini. Kamu bisa sembilan? tanya Dinda sambil memejamkan mata menahan perih perut.

“Kamu tak akan merasakan sakit. Jika kita hidup di duniaku.”

Duniaku bukan di sana, Mustafa.

“Ya, aku tau. Akan aku bantu sebisanya, Jamila.”

Angin semilir menyejukkan seketika membelai perut sang wanita lalu menembus kain masuk pori-pori kulit. Dinda bergidik sesaat ketika merasakan rasa isis dan dingin masuk ke rahim. Sesaat berputar-putar di dalamnya lalu perlahan rasa nyeri menghilang. Dinda tersenyum lega, perutnya tak melilit lagi.

Tiba-tiba dari arah belakang, muncul pengendara layanan online. Sang mengendara dengan jaket dan helm khas mensejajarkan diri sambil membunyikan klakson.

Gito pun mengurangi laju motor lalu minggir ke bahu jalan. Sang pengantar online turun dari motor dengan membawa bungkusan makanan lalu menghampiri pasutri di depannya dan membuka kaca helm.

“Selamat pagi! Saya mengantar pesanan Ibu Dinda,” ucap pengantar online ini sambil mengulurkan bungkusan. Dinda tersenyum saat melihat seraut wajah yang sangat familiar baginya.

“Oh, ya. Makasih, Bang. Sudah bisa kejar kami. Padahal bisa diantar ke klinik,” ucap Dinda sambil menyerahkan selembar uang.

“Terima kasih kembali. Permisi,” balas sang pengendara lalu menghampiri motor dan mengendarai kembali menuju arah sejalan.

“Kok dia bisa tau kita? Padahal di jalanan.”

Gito tak bisa menyembunyikan rasa herannya. Pria ini masih menatap sang pengendara yang semakin menjauh dan hilang berbaur dengan pengguna jalan yang lain.

“Tadi tanya alamat, aku kirim alamat klinik dan bilang kalo masih di jalan. Ia tanya, motor apa? Ya kubilang merk motor dan ciri baju kita. Eh, ketemu.”

“Oh gitu. Pantas aja. Dia biasa di jalan, jadi gampang ngenali orang. Hebat,” ucap Gito sambil berdecak kagum.

“Aku icip dikit dulu, Mas. Dari tadi udah pengen.”

“Jadi pesan rujak?”

Dinda pun mengangguk lalu membuka bungkusan dan mengambil salah satu kotak foam lalu mulai mencicipi rujak buah dengan garpu kecil yang tersedia. Tampak bahagia sekali raut wajah Dinda saat mencicipi rujak pesanan.

“Gak sakit lagi?” tanya Gito sembari mengelus perut istrinya pelan.

“Udah gak, Mas. Apalagi sudah datang obatnya ini,”jawab Dinda sambil mengunyah.

Gito ikut merasa senang sang istri sudah sehat kembali, meski dengan cara kilat. Pria ini hanya berpikir mungkin karena keinginannya ingin mencicipi rujak mampu menyembuhkan sakitnya.

“Ayo, Mas. Kita jalan. Mau cicip?”

“Enggak. Liat aja udah linu gigi Mas. Ayo dikemas lagi, entar dilanjut di klinik. Tinggal bentar lagi juga.”

Dinda segera merapikan kotak foam dan memasukkan kembali ke dalam pembungkus lalu menggantungkannya di pengait di dashboard motor.

Pasangan ini meneruskan perjalanan kembali. Beberapa menit kemudian telah sampai di tempat parkir klinik. Dinda turun terlebih dahulu lalu diikuti oleh Gito. Mereka berjalan beriringan menuju tempat praktek dokter.

Oleh karena telah membuat janji sebelumnya, pasangan ini hanya perlu daftar ulang saja. Lima menit kemudian, mereka dengan diantar perawat langsung menuju ruang pemeriksaan.

Saat bertemu dokter, Dinda dipersilakan untuk tes urine didampingi oleh perawat. Setelah dari toilet dan memberikan contoh urine dalam botol kecil, Dinda dipersilakan berbaring untuk menjalani pemeriksaan USG. Semua pemeriksaan selesai dan dokter telah menerima hasil tes urine.

“Selamat Ibu dan Bapak. Insyaallah dalam rahim Ibu ada janin yang sedang tumbuh. Kontrol rutin tiap bulan agar terpantau kesehatan Ibu dan janin,” ucap dokter sambil mengulurkan tangan memberikan selamat.

“Terima kasih, Pak,” ucap Gito dengan muka sumringah, teriring senyum Dinda.

Setelah mendapat resep dan berkas hasil tes, mereka berpamitan kepada dokter dan perawat. Sekeluar dari kamar pemeriksaan Gito seketika merangkul sang istri lalu mencium pipinya.

Sebentar kemudian melepas rangkulan lalu mengirim pesan ke seseorang lewat ponsel. Setelah pesan terkirim, ia  memasukkan benda itu ke dalam kantong.

Hati pria tegap ini teramat bahagia karena sebentar lagi akan menimang bayi. Dinda justru bimbang menghadapi kenyataan ini dan ia tahu pasti, janin dalam kandungannya adalah benih Mustafa.

Namun, ia tak habis pikir kenapa Gito bisa percaya diri bahwa itu adalah benihnya? Kini, Dinda sibuk membayangkan bagaimana ia akan membesarkan janin unik dalam rahimnya. Bagaimana rupa anaknya yang terlahir kelak?

“Selamat, Jamila. Aku bahagia. Kamu harus segera bertemu keluarga besarku,” ucap Mustafa yang tiba-tiba telah berada tepat di samping Dinda.

Tentu saja, kedatangan sosok Timur Tengah ini sempat mengagetkan sang wanita. Beruntung, Dinda segera bisa mengatasi keadaan hingga tak membuat Gito curiga.

“Assalammu'alaikum, Bu. Oh ya, nanti mampir ke sana. Sudah selesai periksa,” ucap Gito yang menerima telepon dari seseorang.

Sesaat kemudian, Gito mendengarkan pembicaraan dari seberang telepon. Pria ini hanya mengangguk memberi respon kepada lawan bicaranya.

“Wa'alaikumussalam.”

Gito menoleh ke istrinya sambil tersenyum.

“Ibu udah aku kasih tau. Tampak bahagia dan nanti kita ke sana sekalian antar ikan,” ucap Gito masih dengan senyum lebar menghias kedua pipi.

JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang