“Alhamdulillah Wa Syukurilah! Le, susul istrimu itu.”
Gito berlari menuju toilet. Pria ini mengetuk pintu mendengar suara rintih kesakitan sang istri.
“Sayang, bukain pintu. Biarin Mas ikut masuk. Sayang?”
Tak beberapa lama pintu pun terbuka dengan seraut wajah pucat pasi Dinda ada di baliknya. Tiba-tiba tubuh wanita muda ini mulai melemah dan Gito segera menangkapnya. Tampak noda darah segar membasahi bagian perut Dinda.
Bau anyir dan busuk berbaur jadi satu membuat Gito mual. Bu Teti yang mengetahui hal tersebut segera berlari mengambil masker di kotak obat. Kemudian ia melangkah menghampiri Gito dan memasangkan masker tersebut.
Saat wanita separuh umur ini tak heran lagi saat melihat noda darah di pakaian Dinda. Ia telah tahu bahwa darah tersebut bagian dari janin gaib yang meski keluar semua dari rahim sang menantu. Caranya keluarnya memang ‘nyleneh’ tak seperti janin manusia.
“Kamu gotong Nduk ke kamar. Ibun siapin air hangat buat membersihkan darahnya.”
Gito pun segera membopong tubuh sang istri yang berlumuran darah menuju kamar. Pria berambut cepak ini segera melepas baju Dinda dan menutupi bagian bawah tubuh sang istri dengan selimut. Tampak di perut Dinda ada lubang sebesar bola voli yang terus mengalirkan darah segar menghitam dan berbau busuk mirip bangkai.
Gito mengelap sekitar lubang dengan handuk. Dari mulut pria ini tak hemti-hentinya beristighfar dan melafazkan doa pelindung dari gangguan setan dan sebangsanya.
“Ya Allah! Lindungi istri hamba. Tolong sembuhkanlah!”
Gito berurai air mata menatap ke arah lubang yang menganga dan masih mengeluarkan darah hitam. Bu Teti yang datang membawa seember air hangat seketika melotot melihat penampakan perut sang menantu.
“Astaghfirullah hal adzim! Ya Allah ...!”
Wanita ini segera mendekatkan sebuah kursi tepat di sebelah Gito. Ember berisi air hangat diletakkan di atasnya.
“Alhamdulillah ada detak jantungnya!” seru Bu Teti gembira sesaat setelah meraba dada sang menantu yang hanya berbalut beha saja.
“Masihkah, Bu. Ini dalam proses pembersihan dari zat gaib. Tolong bantu baca Ayat Kursi, Bu!”
Keduanya bahu membahu membersihkan darah yang terus mengalir. Saking banyaknya darah hingga Bu Teti perlu mengambil ember untuk menampungnya. Gito terus mengelap dan memeras darah yang keluar. Sampai akhirnya terdengar erangan dari mulut Dinda layaknya wanita melahirkan.
“Aaaauchhh ...!”
Sebuah gumpalan darah hitam mirip hati sapi keluar dari lubang perut. Bu Teti ikut membantu Gito untuk menariknya. Gumpalan darah tersebut berserabut dan keras mirip akar pohon beringin. Usaha untuk menarik gumpalan berserabut ini menghabiskan tenaga Gito dan sang ibu.
Akhirnya, sejam kemudian gumpalan hitam berserabut berukuran galon air minum berhasil keluar seluruhnya dari tubuh Dinda. Tanpa disangka-sangka setelah gumpalan tersebut keluar, lubang di perut Dinda menghilang tak berbekas.
“Allahu Akbar! Alhamdulillah!” seru keduanya sambil memandang takjub.
Gito segera membersihkan darah yang membasahi perut sang istri sembari membaca Al Fatihah dan Ayat Kursi lalu menutupinya dengan selimut. Di saat bersamaan darah yang semula menggenang di atas pembaringan seketika hilang lenyap tak berbekas, benar-benar suatu keajaiban telah diperlihatkan oleh Allah.
Hal serupa terjadi pada kain dan handuk yang basah oleh darah. Kedua benda tersebut kembali bersih tanpa noda darah setetes pun. Secara mengejutkan asap putih mengepul menutupi ember berisi gumpalan berserabut dengan genangan darah.
Asap putih beraroma melati berbaur khas minyak zaitun semakin menggumpal yang serta merta menyingkirkan bau amis dan busuk. Gito dan Bu Teti terpaku di tempatnya. Kedua kaki mereka tak sanggup beranjak, meski hati menginginkan untuk bergerak mendekati ember.
Sebuah kekuatan besar telah membelenggu kaki ibu dan anak, hingga sebuah percikan bunga api diiringi suara dentuman cukup dahsyat terdengar dari arah ember.
Sepintas tampak serabut-serabut berwarna merah darah menjuntai ingin keluar dari ember. Kepulan asap menelannya lalu menghilang tak berbekas. Kini, hanya tersisa sebuah ember plastik hitam yang kosong.
“Mas? Bu?”
“Alhamdulillah! Kamu udah siuman, Sayang.”
“Alhamdulillah! Ini Ibu, Nduk. Moga makin sehat.”
Bu Teti seketika mencium kening menantunya. Sementara, Gito memegang tangan sang istri penuh haru. Keduanya merasa bersyukur telah mampu melewati cobaan yang sangat mengerikan lagi.
“Aku ingin duduk,” ucap Dinda lirih.
Gito segera membantunya duduk bersandar di dinding dengan ditopang sebuah bantal.
“Mas, perutku berasa ringan dan tubuhku semakin bugar. Lain sekali rasanya.”
“Insyaallah segala penyakitmu telah hilang, Sayang.”
“Aku rasa tak haid lagi, ya? Padahal sebelum pingsan, darah haidku deras. Di dalam toilet saat aku muntah, masih terasa mengalir, Mas.”
“Nduk, darah haidmu itu darah gaib. Sudah lenyap bersama gumpalan dalam perut,” ucap Bu Teti sambil tersenyum.
Mereka kini merasakan kebahagiaan luar biasa, penyakit gaib akibat hubungan terlarang telah musnah dengan kekuasaan Allah. Tanpa mereka sadari, sepasang mata besar beralis tebal khas Timur Tengah menatap marah ke arah tiga insan di pembaringan.
“Kalian biadab! Telah membunuh bayiku. Calon putra makhota yang kuimpikan.”
Suara tersebut mampu didengar oleh gendang telinga Dinda. Amarah di dalam getaran suara memekakkan telinga wanita muda ini. Dinda buru-buru menutupi telinga dengan kedua telapak tangan.
“Sayang, ada apa?”
Dinda menanggapi pertanyaan sang suami hanya dengan gelengan dan air bening menetes dari kedua pelupuk mata. Bu Teti segera beranjak ke ruang tengah lalu menghidupkan CD berisi murrotal Al-Quran di disc player.
Seketika seisi ruangan dalam rumah bergema alunan dari ayat-ayat suci. Mustafa yang kesakitan mendengarnya segera menghilang. Sakit di telinga Dinda mereda dan akhirnya melepaskan kedua telapak tangan dari telinga.
“Alhamdulillah! Ya Allah!” seru wanita muda ini sembari mengusap bekas air mata dari kedua pelupuk mata.
Gito yang selesai membaca doa tersenyum memandang istrinya. Kedua tangan Dinda digenggam lalu dicium dengan penuh rasa sayang.
“Mas akan selalu menjagamu. Untuk sementara waktu kita tinggal bersama Ibu dulu sampai dapat rumah kontrakan baru.”
“Tapi, kan, jauh dari tempat kerja Mas?”
“Gak papa. Lagian Mas habis ini tak kena sif malam lagi.”
Bu Teti masuk membawa nampan berisi dua gelas teh hangat. Ia meletakkan nampan di meja dekat pembaringan.
“Makasih, Bu,”ucap Dinda.
“Sama-sama, Nduk. Barusan Ibu telah pesan jamu buat kamu di penjual jamu keliling.”
“Wah, seger ini. Aku juga mau minum jamu.”
“Sudah pasti, kamu juga, Le. Kita semua harus minum jamu, biar segar kembali. Terutama Genduk.”
Mustafa yang kesakitan masih bertahan di sekitar rumah. Sosok Timur Tengah ini bertengger di atas atap rumah. Sosoknya yang tinggi besar seketika membentuk sebuah bayangan sehingga mampu membuat redup lingkungan sekitar. Para tetangga Bu Teti buru-buru memasukkan jemuran karena menyangka hujan deras akan segera datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU
TerrorDinda dan Gito adalah pasangan pengantin baru. Mereka mengarungi rumah tangga baru dua bulan. Gito yang bekerja sebagai sekuriti, sering kali meninggalkan Dinda seorang diri di rumah saat malam hari. Sementara di samping rumah kontrakan mereka terda...