Dinda melihat penampakan sosok gagah yang sangat familiar di antara rombongan tersebut. Sosok tersebut berpakaian koko dan bersarung serta memakai kopiah. Mata Dinda semakin terbelalak, saat sosok ini maju ke depan memimpin rombongan untuk berzikir dan berselawat.
“Aku tak salah liat?” tanya Dinda mirip bergumam sambil mengucek-ngucek mata dengan kedua tangan.
“Apa kamu bilang, Nduk?” tanya Bu Teti heran.
“Bu, tolong perhatikan yang mimpin zikir dan selawat.”
Bu Teti segera mengamati sosok yang dimaksud, tapi tak ada yang aneh di matanya.
“Itu Ustaz Hamdan putra dari Pak Kiai. Oh ya? Kamu pasti belum kenal. Mungkin dia pas liburan pulang ke sini.”
“Emang selama ini di mana, Bu?”
“Dia jadi guru di Turki.”
Dinda mendengar penjelasan sang mertua sambil matanya mengikuti gerak-gerik Ustaz Hamdan. Hati kecilnya ingin memanggil Mustafa, hanya ingin memastikan bahwa yang dilihat benar-benar putra Pak Kiai.
Namun, wanita ini sadar betul jika memanggil sosok Timur Tengah sama dengan mendatangkan masalah lagi. Ia lebih baik menunggu kedatangan suaminya saja. Jika ia bertanya kepada Gito, pasti dijelaskan secara detail.
“Oh, ya, Nduk. Kamu apa gak belanja?”
“Masih ada sayur belum sempat dimasak, Bu. Ada di kulkas.”
“Ibu mau bikin sayur capcay. Ada bahannya?”
“Kayaknya ada, Bu. Dinda cek dulu, kalo gak ada, entar beli ke warung dulu.”
“Masak yang ada aja, Nduk.”
Kedua wanita ini melangkahkan kaki beriringan menuju belakang. Dinda segera membuka kulkas dan ia pun terkejut saat melihat isi dalam kulkas yang penuh beraneka bahan makanan.
Ia tak menyangka dan mengingat kembali kapan terakhir belanja. Namun, ia tahu betul saat itu hanya membeli tempe, tahu dan beberapa ikat sayur. Tak sebanyak ini.
“Nduk, lengkap bener isinya. Ibu jadi masak capcay kalo gitu," ucap sang ibu senang.
“Iya, Bu. Kami udah beberapa hari gak masak, jadi stok bahan makanan masih banyak,” ucap Dinda dan ia berpikir Gito yang telah berbelanja ini semua.
Akhirnya, ia membawa beberapa sayur sedangkan Bu Teti membawa daging ayam dan telur. Sesampai di dapur keduanya mulai memasak.
“Dinda kupas mangga dan pepaya buat cuci mulut, Bu.”
“Setuju, Nduk. Sana kerjain! Ibu lanjutin capcay-nya.”
Wanita muda ini melangkah ke kulkas kembali. Ia mengambil tiga buah mangga, sebuah pepaya lalu mengupas buah-buah tersebut. Setelah dikupas dan dibersihkan kedua macam buah dipotong-potong dan ditaruh dalam piring saji.
Buah dalam piring siap saji diletakkan di atas meja makan dan ditutup tudung saji. Dinda melangkah ke dapur untuk membantu sang mertua.
“Assalammu'alaikum!”
Terdengar salam dari Gito lalu suara pintu dibuka. Dinda membuka tirai kamar tengah.“Wa'alaikumussalam. Kok sendiri, Mas?”
tanya Dinda sembari mencari keberadaan Pak Kiai.“Iya, Kiai langsung pulang kebetulan putranya datang tadi," jawab sang suami.
Gito lalu berjalan menuju kamar mandi dan dibuat takjub dengan keadaan kamar mandi yang sudah bersih dan beraroma wangi. Pria berambut cepak ini segera masuk dan menutup pintu.
“Dek, tolong ambilin baju! Mas mau sekalian mandi,” ucap Gito sambil menggugurkan air ke tubuh.
“Bentar aku ambilin,” sahut Dinda segera berlari masuk kamar dan kembali keluar membawa satu setelan pakaian untuk Gito
.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU
TerrorDinda dan Gito adalah pasangan pengantin baru. Mereka mengarungi rumah tangga baru dua bulan. Gito yang bekerja sebagai sekuriti, sering kali meninggalkan Dinda seorang diri di rumah saat malam hari. Sementara di samping rumah kontrakan mereka terda...