"Anak durhaka! Mana Dinda? Suruh keluar!”
Wanita separuh baya ini semakin memerah raut wajahnya. Tiba-tiba dari mulutnya keluar bola api yang mengarah ke tempat Gito duduk. Bola api sebesar bola tenis ini semakin membesar saat mendekati tubuh Gito.
Namun, bola itu tak bisa menyentuh kulit Gito sedikit pun. Bulatan bara musnah dan menguap ditelan udara hampa. Wanita berwujud Bu Teti semakin geram dengan reaksi Gito yang tetap geming.
“Kamu pasti gak akan diem lagi. Andai ibumu kubawa pergi.”
Kata-kata berisi ancaman dari wanita separuh baya ini sukses memicu amarah Gito. Pria berambut cepak dan selalu sopan dalam bertutur kata, akhirnya berdiri dan mendekati sosok yang menyerupai sang ibu.
“Hai, makhluk jejadian. Kembalilah ke alammu! Kami tak butuh dirimu,” ucap Gito penuh amarah yang tampak jelas dari sorot matanya merah dan kepalan tangan berurat.
“Manusia tak tahu diri! Kamu tak ingat? Ibumu adalah pengikut setia bangsaku.”
“Entahlah dari sini! Sebelum dibakar jasad dan rohmu oleh ayat-ayat suci.”
“Manusia sok suci! Ibumu telah terikat oleh kami. Kau hancurkan kami sama dengan membakar separo roh ibumu.”
Gito yang semakin emosi telah mengambil botol berisi minyak tanah. Pria ini berniat akan membakar sosok wanita di hadapannya. Namun, sebelum segalanya jadi fatal, beruntunglah Pak Kiai segera datang.
“Astaghfirullah hal adzim! Mas Gito, sabar!”
Pria bersorban ini mendekati keduanya dan lewat mata batinnya, ia bisa melihat bahwa tubuh yang dipakai jin adalah memang jasad Bu Teti dalam wujud halus. Dengan menyakiti sosok di sini, otomatis telah melukai tubuh aslinya.
“Assalammu'alaikum, Kiai. Maaf; saya terbawa emosi,” ucap Gito sembari mencium tangan pria bersorban yang barusan datang.
“Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Jangan terbawa amarah, Mas. Kemarahan Mas ini yang diinginkan makhluk ini.”
Gito menggangguk sembari membaca doa di dalam hati.
“Bu Teti, tolong ke sini! Tak usah takut!”
Sesosok tubuh wanita berpakaian gamis dan berjilbab turun dari mobil dan melangkah mendekati mereka. Gito yang menyadari kehadiran sang ibu, buru-buru mengambil tangan dan menciumnya.
“Assalammu'alaikum.”
“Wa'alaikumussalam. Masyaallah! Ibu telah berhijab,” ucap Gito dengan mata berbinar-binar.
Dengan kehadiran sosok asli Bu Teti, sosok yang menyerupai tetap berdiri mematung. Makhluk tak tahu diri ini seakan-akan sengaja kehadirannya ingin menantang semua yang ada di situ.
“Bu Teti, tolong berdiri dan menghadap ke wajahnya!”
Wanita separuh baya ini mengikuti kata Pak Kiai. Ia benar-benar terkesiap saat menghadap sosok yang dimaksud pria bersorban tersebut. Matanya tak berkedip karena sosok di depannya adalah dia dengan pakaian berbeda.
“Ya Allah! Subhanallah!” teriaknya histeris karena baru kali ini bisa berhadapan dengan sosok dirinya sendiri.
“Tenang, Bu! Sekarang dengan doa yang saya ajarkan, hanguskan segala amalan yang tak menyebut nama-Nya!”
Bu Teti berdiri tegak dengan lantang membaca yang dimaksud Pak Kiai.
“Bismillahirrahmanirrahim ....” Bu Teti melanjutkan dengan dua kalimat syahadat.
“Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
“Kau bukan jasadku dan roh ini hanya milik Allah. Aku tak sudi bersekutu dengan bangsamu karena Allah adalah sebaik-baiknya pertolongan.”
Seketika sosok mirip Bu Teti berubah jadi asap diiringi desiran angin beraroma kayu hutan pinus. Kini hanya ada mereka bertiga yang sedang berdiri menatap ke cakrawala mengikuti gumpalan awan yang membumbung tinggi. Tak lama kemudian, terdengar suara ledakan mirip mercon di langit.
“Alhamdulillah wassyukru lillah.”
Ketiganya berucap bersama-sama lalu mengusap muka dengan kedua tangan.“Bu, yang jaga rumah siapa?”tanya Gito.
“Ada santri-santri Pak Kiai. Rumah sudah terlihat bercahaya. Semua jimat peninggalan nenek buyutmu udah dibakar.”
“Alhamdulillah, Bu. Semoga keluarga kita selalu dilindungi Allah.”
“Aamiin.”
Dinda yang tahu akan kedatangan ibu mertuanya segera keluar rumah dan melangkah menghampiri.
“Assalammu'alaikum, Bu.”
“Wa’Alaikummusalam. Alhamdulillah. Akhirnya kamu bisa kembali, Nduk. Maafin, Ibu!”
Bu Teti memeluk menantu satu-satunya dengan penuh kasih. Wanita setengah baya ini tak menyangka minuman teh hangat yang ia suguhkan dengan mantra pelindung telah jadi musibah untuk sang menantu.
“Ibu sudah musnahkan semua, kan?” tanya Gito yang masih khawatir dengan ritual yang ganjil sang ibu akan berdampak pada mereka lagi.
“Udah, Le. Ibu tobat dan tak ingin berhubungan dengan mereka lagi.”
“Maaf, Bu Teti. Mau tanya, dapat ilmu itu dari mana?” tanya Pak Kiai hati-hati karena ingin mencari sumber dan akan menyingkirkannya.
“Sebenarnya tak boleh diceritain, Kiai. Tapi karena keluarga saya telah jadi korban. Saya jadi jengkel juga.”
Akhirnya Bu Teti bercerita bahwa ia diajarkan oleh seorang pinisepuh di kampung. Wanita tua yang terkenal bisa menyembuhkan segala penyakit dan memberi pagar rumah dari gangguan tak kasat mata.
Sejak Gito menikah dan tinggal di kontrakan dekat rumah kosong, Bu Teti sering berkonsultasi dengan sang dukun sakti. Dari dukun ini pula, Bu Teti tahu keberadaan jin penghuni rumah kosong. Dukun ini telah memasang pagar pelindung di rumah Bu Teti dan rumah kontrakan Gito.
Bu Teti rajin pula mengikuti saran pinisepuh agar rumah tangga anak dan menantu langgeng, selalu diberi kecukupan rezeki. Akhirnya, oleh ritual dan tumbal ayam cemani hitam mulus yang ia tanam di tanah depan teras menjadi pembuka jalan bagi jin pengganggu.
“Gimana gak kerasan? Yang lain diusir, ini malah dikasih makan dan rutin lagi,”sahut Kiai sambil geleng-geleng.
“Astaghfirullah hal adzim, Bu. Bukan gitu caranya pagar badan dari roh jahat. Cukup berdoa dan berzikir; tak perlu keluar duit,”ucap Gito yang tak menyangka akan kegiatan sang ibu yang sudah sesat.
“Sekarang semua sudah tahu. Apa saja yang bisa mengundang jin kafir masuk rumah. Singkirkan dan banyak berdoa, memohon perlindungan hanya kepada Allah.”
“Iya, Kiai. Saya khilaf. Pengen menjaga anak dan menantu, malah mendatangkan musibah.”
“Ha ha ha ha ... ingat! Kamu telah berjanji dan itu aku tagih. Kamu tak bisa ingkar.”
Tiba-tiba terdengar suara menggelegar seperti dari arah langit. Semua peserta pengajian tengadah melihat ke atas. Namun, suara tersebut berpindah ke rumah kosong yang berada tepat di samping rumah kontrakan.
“Mari kita ke dalam. Saya ingin mendengar penjelasan lebih lengkap dari Bu Teti dan tolong tunjukkan tempat mengubur tumbal tersebut,” ucap Pak Kiai sembari mempersilakan Bu Teti berjalan mendahului.
Ketiganya lalu mengikuti langkah Bu Teti menuju teras. Kini di tanah depan teras letaknya persis lurus menghadap pintu masuk, wanita separuh baya ini memberi tanda.
Pak Kiai segera meminta salah satu santri membantu memusnahkan tumbal tersebut dengan cara gaib.Tampak sang santri berkeringat saat membaca doa dan itu dirasakan oleh Pak Kiai juga.
“Astaghfirullah hal adzim! Subhanallah! Allahu Akbar!”
Pak Kiai menggeleng-geleng sambil tersenyum karena keheranan dengan yang telah Bu Teti lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU
TerrorDinda dan Gito adalah pasangan pengantin baru. Mereka mengarungi rumah tangga baru dua bulan. Gito yang bekerja sebagai sekuriti, sering kali meninggalkan Dinda seorang diri di rumah saat malam hari. Sementara di samping rumah kontrakan mereka terda...