"Mbak, maaf. Memang berapa bulan dalam perut? Masih muda, hamil gak papa. Habis melahirkan bisa KB."
Dinda yang mendengar ucapan sang penjual jamu terisak kembali. Gito segera mengantisipasi agar pertanyaan ibu jamu tak berlanjut.
"Dia gak mungkin hamil. Baru seminggu kemarin haid."
"Lah, kenapa minum kapsul nifas?"
"Biar tak ada gumpalan darah haid. Takut kanker. Kami permisi, Bu," ucap Gito sambil memeluk sang istri menuju menghampiri motor.
Ibu penjual jamu memandangi kepergiaan mereka dengan rasa heran. Perasaan tadi istrinya bilang takut hamil, tapi kok haid? Apa aku salah dengar, ya?
▪▪¤•°¤▪▪
Dalam pasar
Dinda sengaja sendirian masuk pasar. Padahal tadi Gito ingin menemani istrinya berbelanja. Namun, tak diperbolehkan oleh sang istri karena Dinda tahu betul, Gito tak sabaran di dalam pasar. Bisa dipastikan, ia akan menyuruh sang istri membeli tanpa proses tawar menawar dan buru-buru mengajak keluar dari pasar.
Berakhir dengan penyesalan karena tak teliti pada barang. Beli barang terlalu mahal dari harga pasaran. Sering kali buah atau sayur bercampur barang busuk padahal sudah dibeli mahal tanpa penawaran. Wanita berpinggul dan berdada besar ini melenggang berdesakan para pengunjung pasar. Beberapa saat, suasana pasar terlihat agak lengang.
Pengunjung pasar tak ramai seperti tadi, langkah Dinda berasa lega. Lapak-lapak di dalam pasar tampak jelas di mata Dinda. Padahal sejak awal masuk, lapak-lapak tadi dipenuhi oleh para pembeli. Wanita ini melangkah tanpa hambatan, semua pengunjung pasar menyibak dengan sendirinya saat dilewatinya.
Ada apa ini? Kok aneh jadinya?
Belum selesai benak Dinda bertanya-tanya atas yang dialaminya, tiba-tiba tas belanjaan ada yang menarik dari belakang.
"Biar Mas yang bawa belanjaan."
Dinda berhenti dan segera menoleh ke asal suara. Tepat di belakangnya, berdiri Gito dengan senyum manis menghias kedua pipi. Aroma kasturi menguar memenuhi lubang penciuman Dinda menerobos masuk saluran pernapasan hingga tenggorokan. Aroma khas Timur Tengah itu menyebar ke seluruh jaringan tubuh wanita bertubuh sintal. Dinda menarik tas belanjaannya.
"Berhenti menyerupai suamiku!"
"Sayang, kamu kenapa? Ini aku, suamimu. Liat baik-baik."
Pria ini berdiri menghadap Dinda lalu berputar. Tubuh dari ujung kaki sampai ujung kapala bahkan rambut hitam tebal memang Gito. Namun, Dinda hapal betul aroma citrus, parfum yang sering dipakai Gito dan bau badan sampai bau ketiak suaminya pun.
Gito mendekat mencoba meraih tangan wanita yang mundur teratur, takut kena lapak pedagang. Dinda heran, orang-orang di sekelilingnya cuek. Mereka asik bertransaksi, seakan-akan aksi teriaknya tak didengar mereka.
"Jangan dekati aku! Tolooong!" teriak Dinda histeris.
"Sayang, kamu lupa yang telah kita lewati bersama? Sini, Sayang!"
"Pergilah, jangan ganggu lagi!"
"Sayang, aku tahu, kamu cinta aku. Kita saling mencintai."
Gito beraroma kasturi semakin mendekat ke arah Dinda dan wanita ini berlari ke arah kerumunan orang lalu masuk ke salah satu lapak dan bersembunyi di bawah meja pedagang. Orang-orang yang memenuhi pasar tak ambil pusing dengan keberadaan Dinda.
Mereka pada kenapa? Masak gak liat aku yang lari ketakutan? Mereka tak melihatku?
Dinda berpikir keras sambil menutupi wajahnya dengan koran yang berserakan di lantai. Wanita ini jongkok di bawah kolong meja pedagang ayam. Bau amis potongan daging dan darah segar ayam membuat perutnya mual tapi dengan sekuat tenaga ditahannya.
Ia melihat sepasang kaki kekar menghampiri meja yang ia pakai bersembunyi.
"Sayang, tak usah bersembunyi. Pasar ini milik kita sekarang. Mereka tak akan mengganggu kita. Ayo, sini bersenang-senang denganku."
Suara berat menggelegar terdengar di atas meja, sementara sepasang kaki memakai Madas Sharqi berdiri tepat di hadapan mata Dinda.
(*Madas Sharqi= Sandal khas Arab).
"Sayang, ayo keluar."
Tiba-tiba secara mengejutkan kini, tepat di depan Dinda yang tertutup koran, terdengar suara berat itu. Tangan kekar berbulu membuka koran penutup wajah Dinda. Wanita ini seketika syok. Di depan matanya kini dalam posisi sama-sama jongkok, tampak seraut paras tampan pria Timur Tengah.
Beralis tebal, berhidung bangir dan berjambang lebat. Bola mata hijau kecokelatan menatap lembut pada wanita muda ini. Dinda terperanjat melihatnya. Ia semakin histeris saat melihat pria tersebut.
"Ayo keluar, Sayang. Sini!" ucap pria itu sembari mengulurkan tangan. Dinda tak ingin lengah lagi. Hatinya sempat terbuai paras tampan dan merdu suara barusan.
"Astaghfirullah hal adzim! Audzubillah Himinas Syaiton Nirojim 3x."
Ajaib! Seketika keadaan pasar seperti semula. Ramai hiruk pikuk orang bertransaksi. Tampak langkah hilir mudik pengunjung pasar di sekitar tempat Dinda bersembunyi. Wanita muda ini perlahan keluar dari kolong meja.
"Astaghfirullah! Loh, ngapain Mbak? Sembunyi di bawah, gak amis apa," jerit kaget pedagang ayam sambil membantu Dinda keluar dari kolong meja.
Dinda yang telah berhasil keluar, kepala dan sekujur tubuhnya penuh darah dan cairan ayam potong. Amis sekali. Ia lalu dipersilakan duduk oleh ibu pedagang ayam dan diberi air dalam kemasan. Kejadian barusan tentu saja menarik perhatian seluruh penghuni pasar. Mereka berduyun-duyun menghampiri tempat kejadian.
"Barusan ngapain, Mbak?" tanya ibu pedagang ayam setelah Dinda meminum air kemasan.
"Saya sedang belanja, tiba-tiba semua terhenti. Saya didatangi seseorang dan sudah berteriak minta tolong, tapi gak ada yang dengar. Makanya saya bersembunyi."
"Saya kok gak tau, ya. Mbak udah lama sembunyi di bawah kolong?"
"Lama juga kayaknya. Saya ketakutan. Semua orang tak melihat saya."
"Wah, pasti itu jin penunggu pasar ini," ucap seorang bapak yang ikut berkerumun.
"Wah, iya, ya," ucap serentak yang lain.
Akhirnya, ramailah kasak kusuk di antara mereka. Seluruh pengunjung pasar bergerombol di tempat pedagang pasar.
"Mbak tadi bisa lepas dari jin, baca doa?"tanya ibu pedagang ayam.
Dinda hanya mengangguk. Wajah wanita ini pucat pasi mirip kapas, menandakan ketakutan yang luar biasa.
"Permisi, Pak, Bu. Benar ada wanita berbaju terusan motif mawar?" Suara seorang pria berusaha menyibak kerumunan.
"Benar. Mas, tentu suaminya. Kasian mbaknya digangguin jin pasar. Masuk sini, Mas," ucap seorang pedagang yang lapaknya berhadapan dengan pedagang ayam.
Bapak separo baya ini membantu menyibak kerumunan agar Gito bisa lewat. Dengan bersusah banyak karena saking banyaknya orang berkerumun, akhirnya Gito berhasil masuk.
"Sayang, ada apa?" tanyanya penuh kekhawatiran terhadap istrinya.
Pria berambut cepak ini segera memeluk sang istri, spontan Dinda sesengukan dalam dekapan Gito.
"Istri Mas barusan sembunyi di kolong sini. Habis dikejar-kejar jin pasar. Hati-hati, Mas! Istrinya disukai jin. Jangan dibiarkan sendiri. Kasian," ucap ibu pedagang ayam.
"Terima kasih, Bu. Saya tadi nunggu di tempat parkir lama. Tau-tau ada tukang parkir bilang ada perempuan mau diculik jin. Saya jadi kepikiran istri saya. Alhamdulillah."
"Lain kali ditemani aja, Mas. Jangan sendirian! Untungnya, begitu mbaknya baca doa, jinnya kabur."
"Iya, Bu. Kami pamit pulang dulu. Terima kasih atas bantuannya semua,"ucap Gito sambil membantu Dinda berdiri.
Mereka menyalami ibu pedagang ayam dan yang lain lalu beranjak keluar pasar.
"Dinda Sayang, kamu tak boleh lepas dariku." Terdengar suara bisikan di telinga Dinda. Aroma kasturi menguar di sekeliling pasutri tersebut.
Hmm, bau yang sama, batin Gito sambil membaca doa.
KAMU SEDANG MEMBACA
JIN PENGHUNI RUMAH KOSONG LEBIH PERKASA DARI SUAMIKU
HorrorDinda dan Gito adalah pasangan pengantin baru. Mereka mengarungi rumah tangga baru dua bulan. Gito yang bekerja sebagai sekuriti, sering kali meninggalkan Dinda seorang diri di rumah saat malam hari. Sementara di samping rumah kontrakan mereka terda...