SEVENTEEN

142 71 20
                                    

20:00.
      
Malam hari tiba. Saatnya kembali beraktivitas melanjutkan kewajibanku. Hukumanku. Hukuman pertama di rumah sakit ini.

Kakiku melangkah di tengah koridor yang sunyi dengan penerangan yang temaram menuju lantai dasar. Kolonel Braga menunggu di sana. Di tempat pertemuan kita sebelum bersama-sama berpatroli mengelilingi sekitaran rumah sakit.
      
Lima belas menit hanya saling diam. Menyapu pandang ke sekitaran tanpa adanya obrolan tak berhasil membuat kami jengah sedikit pun. Sepertinya Dokter Danzel benar. Aku dan Kolonel Braga mempunyai beberapa kemiripan.
      
"Rumah sakit ini baru?" Ujarku memecah kesunyian saat kami mulai menapaki area taman belakang rumah sakit yang pencahayaannya lebih gelap dari area lainnya.
      
"Baru beroprasi beberapa minggu lalu. Kenapa?"
      
"Tidak. Hanya... Suasanya tak seperti rumah sakit lainnya."
      
Sejenak Kolonel Braga melirikku, lalu kembali memusatkan perhatiannya ke depan.
      
"Dokter Danzel bilang kau salah satu Tentara tingkat tinggi."
      
"Hmm. Lalu?"
      
"Kau tahu apa yang terjadi pada pemerintahan kita? Presiden bak hilang ditelan bumi semenjak wabah ini sampai di Indonesia."
      
"Aku tak terlalu mempunyai kuasa penuh."
      
"Mmm... Aneh saja dikeadaan seperti ini tak ada satu pun dewan yang membuka suara. Bukannya seharusnya mereka mencari solusi dan menenangkan kerisauan warga? Atau mungkin presiden kabur?"
      
"Kau akan langsung dieksekusi begitu ada yang mendengar ucapanmu Nona."
      
"Aku hanya penasaran dengan apa yang tengah terjadi."
      
Langkah kami berhenti di tengah taman belakang rumah sakit. Di sini cukup mencekam. Untuk apa tentara berpangkat tinggi ini menghentikan langkahnya di sini?
      
"Tidak ada tempat lain kah?"
      
"Di sini tempat yang strategis bagi para penyintas dan perompak masuk."
      
"Bagaimana mereka bisa melewati pagar berduri itu?"
      
"Karena ada sisi bolong dibagian pagar."

Kakinya lanjut berjalan menuju depan. Dari arah sedekat ini aku baru bisa melihat pagar besi yang masih baru ini secara keseluruhan.

"Tugas kita berjaga di sini malam ini."
      
Aku mengawasi sisi bolong pagar. Itu bolongan yang dibuat sengaja oleh manusia.
      
"Kau tahan angin malam?"
      
"Hmm. Aku tahan."
      
"Tunggu di sini sebentar."
      
"Kau mau kemana?" Ujarku menahan langkahnya.
      
"Kita butuh kopi."
      
Sendirian di lapangan gelap berbekalkan satu senter kecil. Suasana yang cukup mencekam bagiku.

Selagi menunggu Kolonel Braga yang belum kunjung kembali kakiku melangkah menyusuri pagar berlubang itu. Maju lebih dekat dan menyorotkan senter ke luar sana.

Gelap sekali. Rumah sakit ini memang masih dikelilingi oleh lahan luas.
      
Beberapa menit kemudian Kolonel Braga kembali dengan dua gelas kopi di tangannya.

"Kau tak takut gelap?"
      
"Tidak."
      
"Sebenarnya apa yang kamu takuti? Kau menekan pelatuk walau belum pernah memakainya, sendirian menjaga perbatasan kandang harimau, dan hanya berbekalkan satu senter kecil."
      
"Entahlah. Sepertinya tidak ada yang kutakuti. Boleh aku berjaga sambil duduk?"

Aku melangkah lalu duduk di bawah pohon yang cukup rindang setelah mendapatkan persetujuan Kolonel Braga.
      
"Pak,"
      
Kolonel Braga menoleh ke arahku di posisi berdirinya.
      
"Disituasi seperti ini bagaimana perasaanmu?"

Walau samar dapat kulihat keningnya berkerut bingung.

"Maksudku bagaimana perasaanmu meninggalkan keluargamu untuk bertugas disituasi sekacau ini. Mungkin,"
      
"Kenapa kau bertanya begitu?"
      
"Hanya saja... Ketiga Kakakku seorang Tentara. Dua diantara mereka berada tiga tingkat di bawahmu dan sisanya berada dua tingkat di bawahmu, dan sejak kekacauan ini mereka tak lagi dapat dihubungi."
      
"Tidak tahu." Jawabnya setelah cukup lama terdiam. Kini gantian keningku yang berkerut bingung.

Unexpected Meeting: Farewell (Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang