Malam berganti pagi. Hari ini aku terbebas dengan hukumanku. Kakiku berhenti melangkah di jendela koridor lantai dua dibagian belakang rumah sakit.
Menatap empat tentara dan Opsir Anan serta Opsir Rifal yang tengah memindahkan bom kentang dengan sangat hati-hati menjauhi area rumah sakit.
"Bom kentang rentan guncangan. Hanya orang profesional yang dapat membawanya tanpa meledakannya." Ujar Dokter Danzel setelah berdiri di sampingku.
"Kita menjadi dekat sejak insiden terlayangnya tiga pelatuk dari tangan cantikku?"
"Benarkah? Aku pikir karena sifat kita hampir mirip."
"Benarkah? Kau bilang aku mirip dengan Kolonel Braga, lalu sekarang kau bilang aku mirip denganmu?"
"Keberanianmu membuatku sedikit salut."
"Iyakah?"
Mataku kembali tertuju pada Regi yang tengah berjalan tertatih membawa satu bom kentang di tangannya."Bom yang mereka sebar cukup banyak. Apa itu dijual belikan dengan bebas?"
"Tidak. Itu senjata yang dipakai beberapa tahun lalu pada masa peperangan. Seharusnya sejenis itu sudah tak dapat lagi ditemukan."
"Lalu mereka dapat dari mana bom sebanyak itu?"
"Pertanyaanku juga sama. Mungkin mereka mengenal orang yang mengamankan benda itu beberapa tahun lalu."
"Lalu, ingin dipindahkan kemana sekarang?"
"Entahlah. Dipendampun tak akan bisa. Benda itu akan meledak jika diusik sedikit saja."
"Lalu bagaimana sekarang?"
"Sepertinya kau harus mendatangi ketua mereka dan meminta maaf atas perbuatanmu. Lalu suruh mereka membawa balik bom-bom itu."
Aku mendengus mendengar ledekan Dokter Danzel.
"Aira, bagaimana keadaan Ayahnya?" Ujarku setelah cukup lama terdiam. Mengusir sunyi yang merajai.
"Keadaan Ayahnya tak cukup baik. Kurasa virus ditubuhnya sudah menyebar ke organ vital. Tapi dari mana kau tahu tentang Aira?"
"Dokter Daisy. Apa ada pantangan untuknya? Aku ingin menghiburnya. Sepertinya dia kesepian terkurung sendirian di dalam kamar."
"Berdoa saja. Semoga dalam waktu dekat dia bisa keluar dari sangkar itu dan menyelamatkan ribuan orang. Juga dunia."
"Mereka mencari anti bodi di tubuh seorang anak kecil?"
"Anti bodi tak mengenal usia. Dia bisa berada di mana saja. Tapi juga sulit untuk ditemukan."
"Tapi mustahil jika Aira dapat menyelamatkan dunia. Darah gadis itu bisa habis jika terus diambil untuk membuat vaksin."
"Ya. Dunia memang sekejam itu. Tapi pandangan kita berbeda dengan pandangan orang lain di luar sana. Khususnya bagi orang yang sudah terinveksi."Kepalaku menoleh menatap sisi samping wajah Dokter Danzel.
"Bagi mereka tak apa mengorbankan satu jiwa untuk menyelamatkan ribuan jiwa lainnya. Satu banding seribu, kita jelas kalah jika ingin menentang."
Dokter Danzel benar. Tapi kenapa anti bodi yang sangat diperlukan itu harus ada di tubuh seorang gadis kecil berusia 5 tahun?Semoga saja hasilnya tak sesuai dengan apa yang Kolonel Braga inginkan. Semoga Aira tak memiliki anti bodi yang tengah dicari-cari.
"Dia tak punya pantangan. Hibur dia jika kau mau. Aku juga merasa kasihan pada anak itu."
"Kau tak mau menghiburnya Dokter Danzel?"Langkah kakinya terhenti. Sejenak matanya kembali menatapku sembari berucap.
"Aku tak mau lemah saat melihat matanya. Bagiku, beribu nyawa di luar sana lebih berarti ketimbang satu nyawa."
Jawaban yang cukup membuat dadaku meradang.***
Kini kakiku melangkah menuju ruang rawat Aira. Aku menuliskan beberapa kalimat di sticky note berwarna yang kubawa, lalu menempelkannya di kaca pintu kamar Aira setelah mengetuknya beberapa kali.
'Kau sedang apa? Apa kau bosan?'
Beberapa detik kemudian kepala gadis mungil itu menyembul di kaca pintu. Membaca tulisanku setelah berjalan menghampiriku.Aku menyelipkan beberapa sticky note yang kupunya dan pulpen kecil ke bawah pintu. Memberikannya padanya untuk membalas suratku.
'Tidur. Tidak.'
Dia melakukan hal yang sama denganku.
'Aira anak yang pintar. Kau tidak mengantuk?'
'Suster. Aku ingin keluar. Aku rindu Ayah.'
Tiga kalimat yang mampu membuatku terhenyak untuk beberapa waktu.
'Aku tidak bisa membawamu keluar. Bertahanlah sedikit lagi ya?'
'Aku kesepian. Aku ingin bermain bersama yang lainnya.'
Wajah murung itu mengganggu sebagian hatiku. Seketika kesedihan Aira menular padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Meeting: Farewell (Book 1)
Fiksi Remaja[Completed] # Series pertama dari cerita Unexpected Meeting. Bumi hancur... Aku pernah beberapa kali melihatnya di film, namun kini aku mengalaminya sendiri. Rasanya lebih menakutkan dari apa yang kubayangkan. Tak kukira kejadian di film-film bisa t...