TWENTY-FOUR

137 66 19
                                    

    
"Shaila, kau di sana? Ganti."
      
Gerakanku yang tengah membasuh tangan di wastafel sejenak terhenti. Kutekan tombol walkie-talkie untuk menyambungkannya dengan Regi.
      
"Aku di sini. Ganti."
      
"Shaila,"
      
"Hmm?"
      
"Kau---"
      
"Kenapa ucapanmu menggantung? Ada apa?" Keningku berkerut samar. Mulai merasa tak tenang.
      
"Tidak. Jangan buat masalah lagi. Bom kentang belum berhasil kita amankan semuanya. Ganti."
      
"Hanya ingin bilang itu? Ganti."
      
"Memang aku ingin bilang apa lagi? Ganti."
      
"Tidak ada hal yang lebih penting lainnya? Ganti."
      
"Tidak. Ganti."
      
"Kenapa kau sangat menyebalkan sialan!"
      
"Kau selalu mengumpatiku. Tak beda jauh dengan Stevi. Apa dikehidupan sebelumnya kalian sepasang kembar indentik?"
      
"Jangan berani-berani menyamaiku dengan orang lain."
      
"Tapi kalian memang mirip."
      
"Tidak ada gunanya berbicara denganmu. Hanya menghabiskan waktu saja."
      
Kuputuskan sambungan. Cukup muak disamakan dengan orang lagi. Kakiku lanjut berjalan, kali ini menuju ruang pribadi Kolonel Braga untuk meminjam sebentar mesin print nya.

Sebelumnya makanan Aira sudah kutitipkan pada perawat lainnya yang bertugas.
      
Tok... Tok... Tok...
      
"Masuk!"
      
Kutekan knop pintu. Berjalan masuk ke ruangan temaram ini. Kolonel Braga tengah sibuk menyusun dokumen di meja kerjanya.
      
"Ada apa Shaila?"
      
"Boleh aku mencuci foto? Hanya satu."
      
"Untuk apa?" Kini Kolonel Braga sepenuhnya membalas tatapanku.
      
"Aira ingin menyimpan foto Ayahnya. Aku punya satu di ponselku. Boleh aku mencucinya?"
      
"Silahkan."
      
Aku menuju mesi cetak yang berada di sudut ruangan.
     
"Kau bisa menggunakannya?"
      
"Aku tipe orang yang cepat menghafal gerakan."
      
"Termasuk menggunakan pistol?"
      
"Kau ingin mengungkitnya lagi?"
      
Suara mesin cetak mengusir kesunyian ruang kedap suara Kolonel Braga.
      
"Kau memang punya jiwa sosial yang tinggi ya? Kalian berdua hampir sama. Tak perlu diragukan lagi jika kalian bersaudara."
      
"Siapa yang kau maksud?" Aku memusatkan tatapanku padanya. Balas menatapnya.
      
"Kakakmu."
      
"Yang mana? Aku punya tiga orang Kakak."
      
"Ah ya benar, kau punya tiga orang Kakak. Aku lupa. Kapten Reginald yang kumaksud."
      
Ohh Regi. Semakin lama terjebak di dunia antah beratah ini semakin aku merasa duniaku lebih banyak diisi dengan Regi.
      
"Kenapa kau sepeduli itu pada Aira?"
      
"Karena dia anak yang malang."
      
"Bagaimana bisa kau mengincarnya untuk menciptakan vaksin?" Kini giliranku yang bertanya.
      
"Karena aku menemukan peluang cukup besar pada dirinya."
      
"Sekalipun kau tahu kalau nyawanya dalam bahaya jika kau terus melanjutkan rencanamu?"
      
Kolonel Braga diam tak menjawab. Namun keterdiamannya cukup untuk menjawab pertanyaanku.
      
"Aku tak segan-segan menculiknya darimu."
      
"Kenapa kau berbuat sejauh ini?"
      
"Karena aku menjanjikan kebebasan padanya."
      
"Siapa kau berani mengatakan itu?"
      
"Hanya gadis biasa yang mempunyai jiwa sosial tinggi. Terimakasih."
Aku angkat selembar foto di tanganku padanya sebelum melangkah keluar dari ruangan.
      
Ceklek!
      
Tubuhku terperanjat saat hampir bertubrukan dengan Letnan Kolonel Stevi yang berjalan tergesa. Ada apa dengan dirinya? Wajahnya terlihat panik seperti dikejar sesuatu.
      
"Aku menemukannya!" Serunya pada Kolonel Braga.

Kulanjutkan langkahku, lalu bersembunyi di balik dinding ruangan. Menguping pembicaraan mereka yang sedikit mencurigakan. Tidak. Sekarang semuanya patut dicurigakan.
      
"Menemukan apa?"
      
"Anti bodi. Aira memilikinya."
      
Mataku membola, sama-sama terkejud dengan Kolonel Braga.
      
"Namun ada berita buruk lainnya."
      
"Apa?"
      
"Aira akan melewati masa kritisnya setelah vaksin percobaan masuk ke tubuhnya. Dia dapat dikatakan memiliki anti bodi jika berhasil melewati masa kritisnya."
      
"Kau--- yakin ingin melanjutkannya Pak? Anak itu bisa saja mati jika vaksin percobaan gagal."
      
"Lakukan. Cepat tes vaksin percobaan secepatnya. Kita tak boleh lagi mengulur waktu. Seluruh dunia menunggu keajaiban ini."
      
Deg!
     
Gila!
      
Benar-benar gila!
      
Napasku tercekat di tenggorokan. Semua orang berkuasa memang tak memiliki hati nurani. Mereka hanya memikirkan tentang hidup mereka dan uang. Nyawa tak ada artinya bagi mereka.
      
"Kau--- yakin?"
      
"Anakku mungkin saja masih hidup di luar sana. Di suatu tempat entah di mana. Jika dulu aku tak berhasil melindunginya, maka kali ini aku tak boleh gagal. Aku tidak mau gagal sebagai seorang Ayah untuk kedua kalinya. Putriku--- menungguku."
      
Putri?

Unexpected Meeting: Farewell (Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang