FIFTEEN

148 76 42
                                    

"Kau pergi tanpa izin dariku? Setidaknya pamit padaku agar aku tak kalang kabut mencarimu."

Kepalaku menoleh pada Adnan yang baru saja berujar dengan mata yang menatap lurus jalanan di depan.
      
"Kau mencariku? Kata Dokter Danzel kalian sibuk berjaga."
      
"Jantungku hampir berhenti berdetak saat mendengar kau pergi meninggalkan rumah sakit untuk membantu Dokter Danzel menyelamatkan ketiga Opsir yang ditawan itu."
      
"Mereka tak ditawan. Mereka hanya salah menjarah tempat."
      
"Jangan pernah begini lagi Shaila. Kau membuatku senam jantung."
      
"Maaf."
      
Setelahnya suasana kembali hening. Kami sama-sama diam menatap jalanan di depan sana. Setengah jam kemudian mobil terpakir apik di sayap kanan rumah sakit.

Aku ikut membantu memapah beberapa penyintas yang membutuhkan topangan. Membawa mereka ke loby yang sudah berisikan Dokter Daisy dan dua opsir lainnya.
      
"Aku boleh meminta alat APD? Hanya dua. Dokter Danzel menyuruhku." Ujarku pada Dokter Daisy saat kami hanya berdua di tengah koridor.
      
"APD? Untuk apa? Apa ada yang positif?"
      
"Ya. Di ruang bawah tanah sana. Aku harus cepat menjemput Dokter Danzel."
      
"Baiklah. Ikut aku." Kami melangkah cepat menuju lantai empat.

Dokter Daisy memberikanku dua alat pelindung diri yang bentuknya seperti baju astronot.
      
"Mungkin ini akan menyesakan. Kau akan tahan?" Ujarnya seraya sibuk membantuku memakai APD ini.
      
"Hmm," Gumamku dengan anggukan singkat.
      
"Hati-hati di jalan. Butuh beberapa kawalan?"
      
"Tak perlu. Aku bisa. Kita harus mengirit APD. Itu yang Dokter Danzel katakan."
      
"Perlu membawa beberapa senjata?"
      
"Berikan aku pistol."
      
Gerakan Dokter Daisy terhenti seketika.

"Tidak. Kau tak boleh menggunakan senjata api." Seperkian detik berikutnya tangannya kembali bekerja merekatkan APD di tubuhku.

"Kau boleh membawa senjata. Tapi bukan senjata api." Lanjutnya.
      
"Lalu senjata apa yang cocok untukku?"
      
"Bagaimana dengan pisau dapur, atau belati?"
      
"Belati? Kau pikir aku tengah menunggang kuda? Yang kubawa mobil."
      
"Tapi tetap saja aku tak bisa memberikan itu padamu."
      
"Percaya saja padaku. Kau cukup percaya padaku. Aku tak akan melukai diriku sendiri maupun orang lain menggunakan senjata api itu. Aku membawanya hanya untuk berjaga-jaga."
      
"Ucapanmu itu. Membuatku semakin tak tenang melepasmu sendirian. Aku akan memanggil Opsir Anan untuk menemanimu ke sana."
      
Kucekal lengan Dokter Daisy hingga langkahnya terhenti.
"Rumah sakit lebih membutuhkan pengawalan. Aku bisa pergi sendiri. Di mana pistolnya?"

Dokter Daisy menghela napas berat sebelum kakinya melangkah mendahuluiku ke laci besi di pojok ruangan. Tepat teratas laci, di situlah tersimpan beberapa senjata api dan peluru yang tak seberapa jumlahnya.
      
"Kupegang ucapanmu. Kau tak boleh melukai dirimu maupun orang lain dengan senjata api ini."

Aku mengangguk mantap. Mengambil pistol di tangannya dan menyembunyikannya di dalam plastik hitam tempat menaruh APD untuk Dokter Danzel.
      
"Kembali lah dengan selamat tanpa luka sedikitpun."
      
"Jangan khawatir. Aku ahli dalam bersembunyi."

Kakiku melangkah cepat meninggalkan ruangan. Menyambar salah satu kunci mobil dan berlari menuju sayap kanan rumah sakit, tempat di mana enam mobil jeep tua terpakir apik.

Kulajukan mobil membelah jalan dengan cukup kencang. Menabrak jalanan berdebu hingga mengepul tak beraturan.
      
Lima belas menit tak ada yang menghalangi jalanku. Mobil melaju dengan sempurna di tengah jalan beraspal. Hingga di jalan yang mendekati pemukiman tepi waduk, mataku tak sengaja melihat beberapa kelompotan pria bermuka sangar yang mengintip mengintaiku dari belakang rumah reyot.

Unexpected Meeting: Farewell (Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang