TWELVE

176 84 32
                                    


Matahari pagi dan angin yang berhembus halus menjadi perpaduan yang sempurna saat ini. Kakiku terus berjalan dengan satu tangan yang bergerak menghalau sinar matahari yang menyilaukan mataku.
      
"Dokter itu kasar,"
      
"Sepertinya bukan Dokter itu yang kasar. Tapi kita yang tak sopan."
      
Langkah kakiku terhenti saat mendengar perbincangan dua orang pria dari balik tembok yang kulewati.
      
"Apa maksudmu?"
      
"Gadis itu benar. Jika ingin sembuh seharusnya kita meminta dengan sopan pada para Dokter. Bukannya berusaha mencuri obat mereka. Ahh... Aku merasa menjadi pria  pengecut. Sia-sia aku bersekolah selama 12 tahun."
      
"Semua itu tak sia-sia. Hanya saja pikiran dingin kita digantikan oleh wabah sialan ini."
      
"Aku merasa bersalah karena sudah membuat onar dan memecahkan kaca rumah sakit. Seharusnya aku tak melakukan itu. Ahh... Sial."
      
"Aku ikut merasa bersalah karena mu!" Tangannya melempar irisan apel pada lawan bicaranya.

"Seharusnya aku datang lebih awal dengan cara baik-baik,"
      
Aku tersenyum kecil mendengar perdebatan dua orang pasien pria di salah satu kamar rawat yang kulewati.

"Merasa bersalah itu wajar. Tapi orang bijak tak akan menyesalinya terlalu lama dan mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Dan... Aku yakin mereka cukup mengerti akan kekhawatiran kalian."
      
Kedua pria itu berhenti berceloteh. Kepala mereka berdua serentak tertoleh padaku yang berdiri di ambang pintu rawat yang terbuka lebar.

"Dari pada menyesalinya terlalu larut lebih baik kalian membantu mereka membenahi pecahan kaca yang kemarin kalian rusak." Tanganku memberikan mereka berdua dua roti yang kubawa.

"Dan maaf juga untuk tindakan tak sopanku kemarin pada kalian. Aku tak bermaksud. Maaf Paman."
      
"Paman?" Salah satu dari mereka membeo dengan kekehan kecilnya. "Apa aku setua itu?"
      
"Ya. Kalian berdua terlihat cukup... Matang?"
      
"Wahh... Anak muda ini,"

Senyumku kembali terukir saat melihat keduanya terkekeh bersama.

"Aku Andra dan dia Ahmad. Kami berdua bertemu saat mencari pasien lainnya dalam perjalanan."
      
"Senang bertemu dengan kalian berdua Paman. Aku Shaila."
      
"Ohh... baiklah. Sebaiknya kau cepat pergi nak. Sebelum tertular penyakit kami." Ujar Paman Andra.

Aku mengangguk menanggapi dengan senyum kecil yang kembali mengembang. "Kalau begitu aku pamit. Cepat pulih kalian berdua."
      
"Hati-hati di jalan."
      
"Aku tinggal di sini. Di lantai empat."
      
"Ohh itu bagus. Kalian dapat membantu petugas medis dan kemanan."
      
"Kuharap."

***

      
"Perlu kubantu Dokter Daisy?"
      
"Ohh... Kau di sini Shaila?" Kepalanya menoleh ke arahku yang berdiri di ujung lorong sisi kirinya.

Aku mengangguk kecil. Melanjutkan langkahku dan ikut berjongkok di depannya. Memunguti beberapa pecahan kaca jendela dan menaruhnya di kantung plastik yang Dokter Daisy bawa.
      
"Karena wabah ini orang-orang jadi gelap mata. Ahh... Kuharap pemerintah cepat-cepat mengambil tindakan dan menghentikan wabah aneh ini."
      
Aku hanya tersenyum kecil mendengar gerutuannya.

***

Regi menatap belasan layar CCTV yang terpampang di depannya dengan datar. Di sampingnya berdiri seorang tentara perempuan yang kedudukannya berada dua tingkat di atasnya.
      
"Pak Braga masih mengawasi rumah sakit itu?"
      
"Ya. Hhh... Tak seharusnya kau datang terlalu sering ke ruangannya seperti ini Reg. Jabatanku taruhannya." Keluh Stevi.
      
"Kau bilang rela melakukan apa pun untuk mendukungku. Termasuk jabatanmu."

Unexpected Meeting: Farewell (Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang