EIGHTEEN

141 72 39
                                    


"Cari sampai dapat. Pasti dia ada diantara ratusan gadis di Indonesia."

Stevi menganggukan kepalanya lalu keluar setelah memberi hormat. Tubuhnya berjingkat kaget saat mendapati Regi yang berdiri menyandar tepat di samping pintu ruangan Kolonel Braga dengan tangan yang bersidekap.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Tenang. Aku tak menguping. Lagi pula ruangannya kedap suara."

Kakinya kembali melangkah. Mengabaikan Regi yang membuntutinya.

"Kenapa kau mengikutiku?"

"Sebenarnya apa yang Kolonel Braga cari?"

"Kau gila? Itu rahasia!" Matanya mendelik pada Regi yang berjalan di sampingnya.

"Ayolah. Kita tak setertutup itu. Aku tahu kisah cintamu yang bertepuk sebelah tangan dengan--- hpmt!" Ucapan Regi terhenti saat Stevi membungkam mulutnya.

"Dasar comel!"

"Maka beritahu aku."

"Tidak bisa."

"Kenapa?"

"Kepo sekali kau ini! Pergilah. Aku masih punya banyak urusan." Usir Stevi.

Regi tersenyum kecil menatap punggung Stevi hingga hilang di balik kelokan koridor. Kini kakinya melangkah menuju kamarnya. Menatap foto Shaila yang terpajang di meja kamarnya.

Pikirannya berkelana. Tak henti-hentinya memikirkan kondisi Shaila yang tak dapat dia lacak. Sinyal dimatikan oleh pemerintah.
Membuatnya tak bisa menghubungi nomor Shaila.

Helaan napas berhembus dari mulutnya yang sedikit terbuka. Hatinya risau, tak membaik dari hari kehari. Malah semakin memburuk keadaannya.

Tok... Tok... Tok...

Kepalanya tertoleh ke arah daun pintu. Menatap Stevi yang berdiri menyandar pada daun pintu dengan bingung.

"Berhentilah murung. Kau harus menyegarkan otakmu untuk kembali bertugas."

"Presiden lepas tangan. Dia tak memberi kita arahan sedikitpun." Matanya kembali menatap figura kecil di genggamannya.

"Mungkin karena kondisinya belum membaik."

"Lalu kita baru mendapat arahan jika kondisinya makin memburuk?"

Stevi menghela napas dalam. Melangkahkan kakinya dan duduk di samping Regi yang duduk di tepi kasur kecil.
"Bukan begitu maksudku."

"Lalu bagaimana? Apa gunanya TNI jika mereka tetap diam dikondisi siaga seperti ini?"

"Kau merindukan Adikmu?" Tanya Stevi setelah cukup lama terdiam. Kini matanya ikut menatap foto Shaila yang berada di tangan Regi.

"Hmm. Kau tak merindukan priamu?"

"Pria apanya? Dia menolak kencanku."

"Berusahalah lebih keras."

"Kau juga. Berusahalah lebih keras." Ucapan Stevi membuat Regi menatap bingung padanya.

"Apa? Semua orang juga tahu kalau kau menyukai Adik perempuanmu."

Wajah Regi menegang dengan mata yang sedikit membola.

"Tak usah kaget begitu. Kau seperti habis ketahuan mencuri. Ayolah. Kegilaanmu masih bisa diobati."

"Siapa yang menyukainya? Aku? Kenapa? Bagaimana bisa? Kenapa harus dia? Apa aku segila itu?"

"Ya. Kenapa harus dia? Tidak bisakah kau mencintaiku? Bantu aku melupakan sikeparat itu."

"Sadarkan dirimu Stevi. Kau juga tak kalah gila dariku. Perasaanmu tak akan terbalaskan."

"Benarkah? Mendengarnya dari mulut orang lain saja terasa sakit. Apa lagi mendengar langsung darinya?"

"Ada apa denganmu? Bukankah kau ke sini untuk menghiburku?"

"Menghiburmu untuk apa? Untuk membuatmu sadar dari kegilaanmu?"

"Sadarlah. Aku juga membuatmu bangun dari kegilaanmu."

"Kegilaan kita memang tak berujung," Kakinya melangkah lunglai tak bertenaga keluar dari kamar Regi. Meninggalkan Regi yang kini kembali menatap rindu foto Shaila.

Tok... Tok... Tok...

Sekali lagi Regi memusatkan perhatiannya pada Stevi yang kembali menyandar di daun pintu kamarnya.

"Berikan nomor gadis itu. Aku akan membantu melacaknya."

Sedetik berikutnya mata Regi berbinar senang. Tangannya dengan cepat menuliskan nomor Shaila pada selembar kertas kecil dan menyerahkannya pada Stevi.

"Kasian sekali Shaila. Aku berdoa semoga dia terlindungi dari Kakaknya yang sedikit tak normal ini."

Matanya membola mendengar cibiran Stevi. Namun tak urung bibirnya kembali membentuk sebuah senyum senang. Setidaknya ada satu harapan untuknya menemukan keberadaan Adiknya.

***

Sesekali Kiara terbatuk saat debu terhirup hidungnya. Tangannya kembali mencatat beberapa obat yang baru dia periksa.

"Hentikan ini Kiara. Ayo cari pekerjaan yang cocok untukmu." Ujar Malik dengan bosan.

Unexpected Meeting: Farewell (Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang