THREE

271 127 92
                                    

Sudah terhitung seminggu lamanya Ayah berada di negeri sakura. Benar-benar tak ada salah satu pesan dariku yang dibalas olehnya.

Seminggu ini juga aku menumpuk kebohongan pada Akio dan Ibu. Mengatakan kepada mereka jika Ayah baik-baik saja di sana dengan fasilitas memadai yang dia dapatkan.
      
Kakiku melangkah makin gontai ketika rumah sudah terlihat di depan mata. Ahh aku sudah siap merangkai kebohongan lagi sekarang.
      
"Shaila pulang,"

Seperti biasa kupaksakan suaraku seceria mungkin. Tak ingin menambah beban pikiran Ibu dan membuat Akio makin khawatir dengan ekspresi muramku.
      
"Shaila! Ayah pulang!"
      
Deg!
      
Pekikan Akio terdengar tak nyata di telingaku. Apa katanya tadi? Ayah pulang? Apa aku tak salah dengar?

Secepat kilat kakiku kembali memasuki rumah. Membanting pintu utama dan mengabaikan pagar yang lupa untukku tutup lagi.
      
"Pagarnya Shaila!" Seru Ibu dengan cukup kesal.

Aku abaikan, mataku sedari tadi hanya tertuju pada figur tegap seorang pria yang sudah berdiri dari duduknya dengan tatapan yang balas menatapku dengan hangat.
      
Untuk beberapa saat aku tertegun di tempat. Meresapi rasa teduh dan nyaman yang menerpaku dengan jantung yang berdegup kencang.
      
"Kau tidak merindukanku gadis kecil?"
      
Hhh... Napasku berhembus begitu lega keluar dari mulutku yang sedari tadi sudah menganga kecil. Tangan Ayah terbentang di masing-masing sisi tubuhnya.

Senyumku tak dapat lagi aku tahan. Berlari menubruk masuk ke dalam pelukan Ayah. Tempat ternyaman dalam hidupku. Ahh... Nyaman sekali rasanya Tuhan. Terimakasih, terimakasih, terimakasih. Hatiku tak henti-hentinya bergumam lega.
      
"Merindukan Ayah?"
      
Tentu! Mana ada seorang putri yang tidak merindukan Ayahnya setelah berpisah cukup lama? Ingin sekali aku menjerit. Mengungkapkan rasa bahagia yang aku rasakan saat ini, namun mulutku seketika kelu.

Hanya anggukan dengan senyum kecil yang dapat aku keluarkan.
      
"Sepertinya kau memang membuktikan ucapanmu. Anak Ayah sudah besar, sudah dewasa. Benar-benar sudah berubah pola pikirnya."
      
Apa? Meski bingung dengan perkataan Ayah aku tak mau bertanya. Untuk saat ini cukup menikmati kembali rasa hangat dari pelukan yang aku rindukan.
      
"Maaf tidak balas menelponmu gadis cantik. Ayah tidak memegang ponsel sama sekali ketika di sana. Dan bualanmu soal aku yang sibuk itu benar adanya."
      
Ohh astaga. Jadi Ayah tahu aku berbohong? Aku mengembangkan senyumku lagi. Mengangguk kecil merespon bisikannya.
      
"Terimakasih telah mau menjaga Ibu dan Adikmu seminggu ini Shaila."
      
"Tidak masalah. Ini untuk pertama dan terakhir kalinya. Setelah itu Ayah tidak boleh pergi jauh lagi, apa lagi lama seperti kemarin."
      
Ayah menguarkan pelukannya. Terkekeh kecil dengan tangan yang mengoyak pelan puncak kepalaku. Aku tersenyum lebar menatap wajah tampan yang terlihat semakin tampan ketika tengah terkekeh seperti saat ini.
      
"Tidak bawa oleh-oleh?"
      
"Ayahmu baru saja pulang dari tugasnya Shaila. Berhenti bertanya tentang oleh-oleh."
      
Bibirku mengerucut sebal mendengar seruan Ibu. Tapi tak bisa kupungkiri bahwa rasa bahagia masih menyeruak di dada. Rasa lelahku karena aktivitas sekolah seperti menguar begitu saja.

***

Hai Kak. Apa kabar? Apa kau sibuk sekali di sana sampai tak sempat membalas pesanku walau hanya pesan singkat? Akio khawatir dengan keadaan kalian bertiga. Kalian bak hilang ditelan bumi.  Kami meridukanmu.

Kau tahu tidak Agam, seminggu yang lalu aku sangat ketakutan. Cemas sekali rasanya memikirkan empat pangeranku ahh tidak-tidak, tiga pangeranku pergi dari rumah meninggalkanku, Ibu, dan Akio sendirian.

Cepatlah kembali. Atau setidaknya kirimkan aku pesan balik Agam. Aku sungguh cemas sekarang. Tapi Ayah baru saja kembali. Satu pangeranku sudah kembali pulang. Sekarang sisa dua pangeranku lagi yang belum kembali. Cepat kembalilah, Adikmu yang cantik ini merindukanmu!

Unexpected Meeting: Farewell (Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang