TWENTY-SEVEN

128 61 16
                                    

  
Langkah Shaila terhenti. Kepalanya menoleh dengan kerutan di dahinya.
      
"Ikut aku."
      
"Kau tak salah omong? Kau mengajakku?"
      
Regi mengangguk singkat. "Cepatlah."

Kakinya melangkah menuju mobil yang terparkir.
      
"Untuk apa kau mengajakku? Aku boleh tahu urusanmu?" Shaila membuntuti Regi dengan sederet pertanyaan.
      
"Untuk apa aku mengajakmu? Entahlah. Anggap saja aku aneh hari ini."
      
"Regi, bisakah kita menitipkan anjing ini pada mereka?" Ujar Shaila setelah keduanya sampai di dalam mobil.
      
"Untuk apa? Tidak usah. Toh nanti kita ke rumah sakit juga."
      
"Tapi---"
      
"Berhenti takut pada makhluk kecil sepertinya."
      
"Kau akan membawaku kemana? Markasmu?" Ujar Shaila setelah mobil melaju perlahan meninggalkan pekarangan supermarket.
      
"Ketempat yang indah."
      
"Kemana? Kau berencana membawaku kabur ke tempat yang aman dengan meninggalkan teman-temanku dan orang lainnya di rumah sakit?"
      
"Apa aku sejahat itu dimatamu?"
      
Shaila terdiam. Bukan begitu maksudnya. Hanya saja... Otaknya lebih banyak berpikiran buruk tentang Regi.
      
"Kau mau membawaku kemana? Setidaknya aku harus tahu. Aku ingin cepat-cepat kembali."
      
"Kembali? Kemana? Rumah?"
      
"Rumah sakit. Aku harus menjaga seseorang."
      
"Siapa? Para pasien? Temanmu? Atau pacarmu?" Nada Regi sedikit berbeda saat menyebutkan kata pacar.
      
"Pacar?" Kepala Shaila reflek menoleh menatap Regi.
      
"Hmm. Temanmu yang sok bijak itu."
      
"Siapa?"
      
"Entahlah aku tak tahu siapa itu. Tak penting juga untukku."
      
"Adnan? Hanya dia yang berotak waras diantara kami. Kau ada masalah dengannya?"
      
"Ya."
      
"Apa? Kenapa? Kau berbuat apa padanya?"
      
"Hei! Di sini aku korbannya. Kenapa kau terdengar lebih membelanya?"
      
"Korban?"
      
"Dia mencoba merebut milikku."
      
"Milikmu? Adnan tak mungkin seperti itu."
      
"Kenyataannya dia memang seperti itu. Dia mencoba merebut milikku. Hal yang sudah lama aku jaga dengan baik. Sialan, bocah ingusan itu." Tagannya sedikit memukul stir kemudi.
      
"Ada apa denganmu?"
      
"Rasanya ingin sekali aku menghadiahi wajah menyebalkannya dengan pukulan telak."
      
"Kenapa kau lakukan itu? Takut kalah saing dengan ketampanannya?" Shaila mengerling jail. Sepertinya sedikit mengerjai Regi menyenangkan.
      
"Aku lebih tampan darinya. Untuk apa aku takut?"
      
"Benarkah? Shh... Kau memang lebih tampan darinya. Tapi umur Adnan lebih mempuni darimu."
      
"Sekarang kau membawa umur?"
      
"Hmm. Kenapa? Tak suka? Mari sudahi perdebatan tak jelas ini."
      
"Setidaknya jangan bawa umur. Jelas aku kalah kalau menyangkut umur."
      
Sengaja. Regi sengaja memperpanjang perdebatan tak jelas ini. Karena dengan beginilah keduanya bisa berbincang dengan nyaman. Tanpa rasa canggung dan lainnya.

Obrolan mereka mengalir begitu saja bagai air yang mengalir tenang. Lewat perdebatan yang tak jelas.
      
"Kau lebih menyukai bocah ingusan dari pada pria mapan?"
      
"Adnan juga mapan. Dia berasal dari keluarga yang berada."
      
"Setidaknya aku jauh lebih matang darinya. Pemikiranku juga jauh lebih dewasa untuk menghadapi sifat kekanakanmu."
      
"Adnan juga tak kalah dewasa darimu. Selama ini dia selalu bisa menengahi perdebatanku, Kiara, dan Malik. Dia juga bisa membuatku merasa aman dan nyaman di sampingnya."
      
"Hais sial! Bocah ingusan itu!" Regi menggeremat cukup kuat stir kemudi.

Dadanya terasa panas mendengar Shaila terus membela dan mengagungkan Adnan.
      
Hampir setengah jam kesunyian menguasai keduanya. Shaila sudah tertidur dengan mulut yang sedikit terbuka. Sedangkan Regi perlahan memarkirkan mobilnya di tepian tebing yang menyuguhkan lautan indah di bawahnya.
      
Kepalanya tertoleh ke arah Shaila. Mengamati wajah damai itu dengan ukiran senyum kecil. Tidurnya lelap sekali. Sampai tak terganggu dengannya.

Unexpected Meeting: Farewell (Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang