"A--- aa--- aaa,"
Iseng, Shaila mulai mencoba walkie-talkie nya. Sebenarnya cukup tak percaya bahwa Regi meninggalkan benda sepenting ini untuknya.
"Aaa---"
"Bicaralah Shaila. Aku mendengarmu. Ganti."
Shaila terperanjat saat mendengar suara Regi dari benda hitam panjang di genggamannya. Bendanya berfungsi, dan dia dapat menguasai pemahaman baru ini dengan cepat.
"Wahh... Kau mendengarku? S--- suaraku terdengar?"Jantungnya masih bertalu cepat. Lantaran terkejut dan entah debaran dari mana lagi yang dia rasakan.
"Terdengar jelas. Ada apa? Ganti."
"Tidak ada. Aku hanya tengah mencoba benda ini. Ternyata berfungsi dengan baik."
"Benarkah? Bukan karena kau ingin mendengar suaraku? Ganti."
"Alasan apa itu? Cih! Menggelikan."
"Kau terdengar tengah bohong. Ganti."
"Aku tidak bohong. Kenapa kau terus mengulangi kata ganti? Kau menyukai kata itu? Ganti?"
"Ternyata kau tak cukup pintar. Ganti."
"Apa?! Barusan kau bicara apa?!"
"Entah Stevi yang tak menjelaskan semuanya padamu atau karena kau benar-benar bodoh."
"Hei! Cukup sekali mencelaku, tidak untuk kedua kali dan seterusnya!"
"Ganti itu kata untuk menjelaskan bahwa aku sudah selesai bicara dan lawan bicaraku boleh bergantian bicara. Ganti."
Regi mengabaikan gerutuan Shaila.
"Begitukah? Baiklah, kalau begitu... Ganti."
Tut!
Shaila menonaktifkan walkie-talkie nya. Melangkah cepat dengan perasaan kesal. Kesal, namun juga ada perasaan lega saat mendengar suara Regi terdengar baik-baik saja di sana.***
"Aku sudah memberikan pesanmu."
"Aku tahu. Terimakasih Stevi. Kali ini kau berguna untukku."
"Jadi selama ini kau anggap aku pesuruh?!"
Regi menjauhkan walkie-talkie miliknya saat suara Stevi terdengar cukup melengking.
"Bukan begitu maksudku. Kenapa hari ini aku diteriaki oleh dua wanita sekaligus?"
"Kau memang pantas mendapatkannya. Kuharap kalian berdua tak dapat bersama agar tak tercipta satu makhluk lagi semenyebalkan kalian."
"Kenapa kau berdoa yang tidak baik untukku? Mau aku kembalikan doamu itu?"
"Jangan. Cukup. Aku tarik lagi ucapanku."
"Berdoa yang baik untukku."
"Berdoa apa? Aku hampir tak pernah berdoa yang baik-baik untukmu."
Stevi tersenyum saat mendengar umpatan Regi. Kakinya terus melangkah santai menyusuri taman rumah sakit bagian belakang. Sore ini cuacanya cukup bagus untuk menenangkan pikiran.
"Berdoa agar perasaanmu terbalas, kenyataan bahwa kalian bukan saudara, dan bisa hidup bahagia bersama selamanya. Itu yang kau inginkan?"
Langkah Regi spontan terhenti di tengah koridor. Tercenung mendengar ucapan Stevi. Ucapannya tak salah, 100% benar, namun mampu menamparnya sampai titik terdalam.
"Kau berhasil menyadarkanku Stevi,"
"Kau--- Regi... Aku tak bermaksud. Apa aku baru saja menyakiti hatimu? Sungguh bukan begitu maksudku---"
Shaila memusatkan tatapannya saat Stevi mengucapkan nama Regi. Matanya menatap bingung saat melihat gelagat Stevi yang tengah gelagapan mencoba menjelaskan suatu hal. Sejenak, aktifitasnya yang tengah membuang sampah medis terhenti.
"Tidak apa. Kau benar. Kami bersaudara. Terimakasih sudah menyadarkanku. Aku harus kembali bekerja. Tolong jaga dia."
"Regi---"
Tut!
Regi sudah lebih dulu mematikan sambungan. Stevi mengumpat sebal. Sebal pada dirinya sendiri yang asal bicara dan sebal pada tingkah kekanakan Regi jika menyangkut perkara dirinya dan Shaila.***
Ucapan Letnan Kolonel Stevi cukup mengganggu pikiranku. Tanganku mencoba fokus memakaikan inpusan pada salah satu pasien di lantai 2.
Mencoba menepis segala pemikiran aneh yang nyatanya sangat mengganggu aktifitas dan mood ku.
"Bagaimana dengan Aira? Dia mau makan?"
"Tidak. Makanannya terbuang lagi. Sayang sekali berporsi-porsi makanan terbuang sia-sia. Aku juga lelah mendengar omelan Kolonel Braga karena anak itu. Kita harus bisa menjaga imun tubuhnya untuk tetap baik walau tanpa makan nasi."
"Kau benar. Tapi aku juga kasihan padanya."
Keningku berkerut bingung saat tak sengaja mendengar obrolan dua perawat yang melewati ruang rawat tempatku berjaga. Kakiku melangkah, mencoba mengejar keduanya.
"Apa maksud kalian? Airan tak makan? Imun tubuhnya menurun?" Aku mencegat mereka dengan pertanyaan.
"Aira, pasien istimewa Kolonel Braga itu memang tak memakan makanannya dari hari kematian Ayahnya. Dia terus menangis dan menepis jatah makananya. Akibatnya kami kena omel Kolonel Braga." Jawab salah satu diantara mereka.
"Kenapa Kolonel Braga mengomeli kalian?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Meeting: Farewell (Book 1)
Fiksi Remaja[Completed] # Series pertama dari cerita Unexpected Meeting. Bumi hancur... Aku pernah beberapa kali melihatnya di film, namun kini aku mengalaminya sendiri. Rasanya lebih menakutkan dari apa yang kubayangkan. Tak kukira kejadian di film-film bisa t...