ONE

749 150 169
                                    

Hai... Selamat datang dicerita baruku. Semoga ceritaku dapat membawa kalian pada alurnya... Selamat membaca.

➖➖➖

"Bagunlah Shaila, kau tidak mau sekolah?"

Aku mengerjap menyesuaikan cahaya matahari yang merebak masuk melalui jendela kamarku yang sepenuhnya sudah dibuka oleh Ibu.

"Enghh..." Kedua tanganku terbentang dimasing-masing sisi tubuhku. Melemaskan otot tubuh yang terasa kaku.

"Jam berapa sekarang Bu?" Tanyaku saat kesadaran sudah sepenuhnya kembali.

"Jam enam pagi, ayo cepat mandi. Kau kalah dengan Akio, Adikmu bahkan sudah rapih dan sedang sarapan di bawah."

Dengan malas aku menerima uluran tangan Ibu. Berjalan lunglai menuju kamar mandi yang letaknya terpisah dengan kamarku.

"Morning, litle brother,"

"Ck... Aku geli mendengarnya." Sungut seorang pria remaja dengan seragam SMP nya. Dia Akio, Adikku. Tangannya membetulkan kembali tatanan rambutnya yang tadi sempatku acak gemas.

"Berangkat bersama?" Tanyaku dengan tangan yang mengambil sehelai roti dan mengoleskannya dengan mentega.

"Dan berakhir dengan terlambat?" Ohh lagi-lagi bibir merah ranum alami itu mencibirku.

"Aku tidak akan berjalan lambat lagi, bagaimana?"

"Tidak, aku akan berangkat dengan Rafi."

"Ohh begitu, baiklah, sampaikan salamku untuk sitampan Rafi ya." Aku terkekeh samar melihatnya kembali berdecak malas.

"Berhenti menganggu Adikmu Shaila. Cepat berangkat. Kau jalan lambat sekali, apa keburu sampai sekolah tepat waktu?"

"Ohh astaga... Maaf Bu aku lupa, terimakasih sudah mengantarkannya." Aku menyengir lebar. Mengambil alih tas biru langitku dari tangan Ibu. Selalu saja lupa. Padahal sedari tadi aku sudah mewanti-wanti diriku sendiri untuk membawa serta tasku ke meja makan.

"Aku berangkat, bye-bye Adik kecil!" Sekali lagi kuacak gemas surai kepirangan Akio. Setelahnya aku mulai melangkah keluar dari rumah sederhana tempat tinggal keluargaku.

"Hati-hati Shaila."

"Iya Bu." Ucapku balas berteriak.

***


"Ahh kenapa panas begini hari ini?"

"Karena awan belum mengumpulkan lebih banyak air." Ucapku menjawab sungutan Kiara.

Kiara, gadis berkulit kuning langsat dengan rambut panjang hitam legamnya. Sangat cantik, warna rambutnya terlihat sangat kontras dengan warna kulit tubuhnya. Dia sahabat perempuan satu-satunya yang kumiliki.

"Aku iri denganmu Shaila,"

Nahh mulai deh anak ini berceletuk begitu. Aku tahu apa yang akan keluar selanjutnya dari bibir pink pualamnya.

"Kau memiliki kulit yang putih seperti orang luar. Lihat, sekarang wajahmu sudah hampir berubah warna karena paparan sinar matahari. Bukannya merah seperti badut wajahmu malah berubah makin terlihat cantik. Sungguh aku iri denganmu Shaila."

Tuh, itu. Kata yang selalu keluar dari mulut Kiara ketika kesal dengan cuaca panas.

"Berhenti berceloteh tidak penting begitu. Kau mau ketinggalan bis huh?"

Rambut hitam legamnya bergoyang ke kiri kanan saat kepalanya menggeleng lucu.

"Maka ayo cepat jalannya."

"Shaila lihat!"

Apa lagi sekarang? Mataku mau tak mau mengikuti ke arah mana jari lentik itu menunjuk.

"Itu Akio kan? Dengan siapa? Aku lupa nama temannya. Beruntung sekali mereka memiliki kaki jenjang, langkah mereka lebar dan cepat sampai tujuan."

"Berhenti membanding-bandingkan dirimu Kiara. Ayo cepat." Akhinya, karena gemas dengan dia yang masih saja diam di tempat aku menarik pergelangan tangannya agar cepat tiba di halte depan stasiun.


***


"Ehh? Kenapa ramai begini?"

Kiara mengangkat kedua bahunya mendengar pertanyaanku. Mata kami sama-sama menatap teman sekelas kami yang tengah berseliweran di kelas dengan buku di tangan mereka masing-masing. Terlihat sibuk sekali.

"Hei, kenapa kalian berdua diam saja di sana? Sudah menyelesaikan tugas fisika?"

Mataku dan Kiara sama-sama terbelalak terkejut. Ohh Tuhan bagaimana aku bisa lupa?

"Astaga aku lupa!" Pekikku heboh.

"Sini, Adnan baru menyelesaikan tiga nomer, dua lagi dia kesulitan."

Tak lagi menanggapi ucapan Malik. Aku melangkahkan kakiku lebar-lebar ke meja Adnan yang kini sudah dikerubungi oleh teman-teman sekelasku yang lainnya.

"Menyingkirlah sedikit, aku mau ikut."

Beruntung tubuhku ramping. Memudahkanku menyelip di antara kerubungan siswa-siswi yang sama rajinnya denganku ini. Sedangkan Kiara tengah berdiskusi dengan Adnan di sana. Di meja guru. Berusaha memecahkan dua nomer yang tersisa. Adnan dan Kiara memang dikenal sebagai si otak dari kelas 12 MIPA 3 ini.

"Sudah dapat?" Tanyaku setelah bergabung bersama keduanya di meja guru. Hanya butuh waktu sekitar lima menit untukku menyalin jawaban Adnan.

"Belum, ini cukup sulit."

Aku ikut menatap buku Kiara yang sudah dipenuhi dengan coretan-coretan angka. Aku tersenyum kecil, jadi teringat pada satu orang yang cukup menguasi pelajaran fisika ini.

Unexpected Meeting: Farewell (Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang