SIXTEEN

144 75 40
                                    

Hi! Aku kembali! Bagaimana kabar kalian? Selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalakannya ya! Selamat membaca, tenang tak ada unsur yang dapat membatalkan puasa kalian di sini. Semuanya aman terkendali.

➖➖➖

"Masih ada satu tempat yang harus aku kunjungi."
      
"Tempat apa lagi?" Tanya Dokter Daisy dengan gusar.
      
"Masih berada di rumah sakit ini. Sayang jika harus membersihkan diri dan memakai APD baru."
      
"Tempat apa yang akan kau datangi?"
      
"Ruang rawat Aira. Aku ingin bertemu dengannya."
      
"Apa? Untuk apa?"
      
"Nanti saja berbincangnya Dokter. Aku lapar, kau juga tak boleh berdekatan denganku."
      
Dokter Daisy mendengus sebal. Tapi tak urung kakinya melangkah menuju kantin dan mengeluarkan dua porsi makanan dari dalam mesin pendingin dan menghangatkannya di dalam oven.

***

      
"Makan, makan siangmu. Kau harus tetap menjaga imun tubuhmu."
      
"Terimakasih." Ujarnya seraya mengambil seporsi makanan yang tersodor ke arahnya.
      
"Aku permisi."
      
"Namaku Talia. Siapa namamu nak?"
      
"Shaila." Ujarku sesaat tubuhku membalik ke arahnya.
      
Kini kakiku berjalan menaiki anak tangga menuju lantai empat. Sesampainya di depan pintu kamar ruang rawat Aira tanganku bergerak mengetuk pintu putih itu. Tak lama kemudian wajah mungil Aira terlihat lewat kaca pintu.
      
"Hai!" Sapaku dengan lambaian tangan.

Kini tanganku bergerak menarik handel pintu. Keningku berkernyit bingung saat pintu di depanku tak juga bergerak terbuka. Apa seseorang mengunci anak ini dari luar?
      
"Aira, boleh aku masuk?"

Kulihat anak itu berpikir cukup lama sebelum kaki mungilnya turun menapaki lantai ruang kamarnya dan berjalan membuka kuncian pintu ruang rawatnya.

Kami berdua bertatapan cukup lama. Aku menarik dua sudut bibirku ke atas. Membentuk sebuah senyum.
      
"Aku punya hadiah untukmu. Boleh aku masuk?" Pintu di depanku terbuka lebih lebar. Aira mengizinkanku masuk ke dalam.

Kepalaku mengedar menatap ruang bercat putih dengan beberapa boneka yang tergeletak di atas sofa hijau toska.
      
"Aku Shaila,"

Matanya menatap uluran tanganku cukup lama. Ragu ingin membalas uluran tanganku.
      
"Kau tak ingin berteman denganku, Aira?"
      
"Pergilah."

Aku sedikit tersentak mendengar suara kecilnya. Kepalanya menunduk, tak lagi balas menatapku.
      
"Ayah bilang aku tak boleh menyentuh orang-orang."
      
"Kenapa? Kenapa tidak boleh?"
      
"Nanti kau bisa tertular penyakitku."
      
Aku menghela napas kecil. Menyamai tubuhku dengan tinggi tubuhnya.

"Aku pengecualiannya. Kau boleh menyentuhku. Kita boleh bersentuhan. Karena aku memakai pakaian ini. Lihat, kulit kita tak akan bersentuhan secara langsung Aira, jadi kau tak akan menularkan penyakitmu padaku."
      
Matanya menatap telapak tanganku yang terlapis APD.
"Benarkah?"
      
"Tentu."
Aku mengeluarkan sebatang coklat matcha dari balik tubuhku. Menyerahkannya padanya.

"Ambilah. Ini hadiah."
      
"Ayah bilang tak boleh menerina hadiah dari orang tak dikenal."
      
"Kita berdua bukan orang asing. Kita teman. Kita teman mulai sekarang jika kau ingin menerimaku sebagai temanmu."
      
"Kenapa kau ada di sini? Biasanya para perawat meninggalkan makananku di depan pintu lalu kembali meninggalkanku sendiri." Nada suaranya terdengar lirih. Air wajahnya menyendu, membuatku tak suka melihatnya.
      
"Aku berbeda dari mereka. Aku tak akan meninggalkanmu sendiri. Hmm?"
      
Akhirnya tangan mungil Aira mengambil sebatang coklat matcha yang berayun lembut di depannya.
      
"Mau aku bukakan?"
      
Kepalanya mengangguk beberapa kali. Aku mengangkat tubuh mungilnya agar kembali ke atas bangsal. Beralih membukakan sebatang coklat matcha di tangannya dan kembali menyodorkannya padanya.
      
"Makanlah anak pintar."
      
"Mau?"
      
"Aku sudah kenyang."
      
Lima menit lebih aku membiarkan suasana lenggang. Sepi sunyi membiarkan Aira memakan coklatnya dengan tenang.
      
"Aira," Hingga akhirnya aku memecah kesunyian yang ada.
      
"Apa sakit?" Tanyaku saat mata bulat itu kembali menatapku dengan polos.
      
"Tubuhmu, apa ada yang sakit?" Tanyaku menjawab kebingungannya.

Unexpected Meeting: Farewell (Book 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang