"Kalian siapa?!"
"Kalian penjarah juga?!"
"Apa ada orang lain di atas Adnan? Mereka bukan prompakkan?"
Itu suara Kiara! Napas lega berhembus dari mulutku. Keahlian tentara memang tak bisa diragukan lagi.
"Ini Kapten Reginald bersama--- Sekarang ini kau menjadi seorang Perawat atau Petugas?"
Mataku mengerjap beberapa kali sebelum menjawab pertanyaannya."Dokter tentara."
"Adakah? Aku baru mendengarnya."
"Ada. Baru saja dibuat tiga detik yang lalu."
"Aku tidak bisa mengatakannya karena itu belum disahkan."
"Maka sahkan sekarang."
Regi menopang kepalanya di lantai ventilasi. Masih tetap memusatkan tatapannya padaku. "Tidak bisa. Aku tidak punya kuasa untuk itu. Setidaknya kita harus minta persetujuan Mayor Jenderal lebih dulu."
"Regi," Ucapku menahan kesal. Pria ini sangat melatih kesabaranku.
"Ya?"
"Cepat buka ventilasinya dan turun. Atau kita akan kurus di sini."
"Itu tidak boleh terjadi. Jika terjadi maka tubuhmu hanya sisa tulang, Nona Garcia."
"Maka cepat buka ventilasinya." Ucapku penuh penekanan.Keringat makin berjatuhan dari pelipis dan daguku membasahi sebagian lantai ventilasi.
"Tapi kau sekarang sedang---"
"Perutku sakit. Aku sudah terlalu lama menahannya. Dan aku sedang terkena gangguan pencernaan setidaknya dari tiga hari yang lalu. Aku rasa akan meledak sekarang."
Barulah tangannya cepat-cepat mencoba membuka tutup ventilasi yang sayangnya sangat merekat kuat. Bunyi engsel besi yang coba dibuka paksa menghasilkan decitan yang cukup nyaring. Cukup membuat telinga ngilu mendengarnya.
"Apa itu? Tidak bisa dibuka?"
Mataku sudah memandang nelangsa. Bagaimana jika benar tidak bisa dibuka?
"Ruangan ini kedap suarakan Opsir Anan?"
"Kurasa. Dindingnya cukup tebal. Kalian berdua, cepat bantu Kapten Reginald. Dia tampak terburu-buru,"
"Apa perompak mengejar mereka dari dalam ventilasi juga?"
Sialan. Ucapan Kiara mampu membuat perutku sakit secara nyata.
"Tidak bisa dibuka?" Tanyaku menahan gelenyar di perut.
"Kenapa? Kau tidak bisa menahannya lagi? Tunggulah sebentar lagi. Hmm?"
"Cepat."
"Aku sedang berusaha."
"Cepat. Regi cepat."
"Bersabarlah!"
Aku menggigit bibir dalamku. Kali ini aku sungguhan menahan gas di dalam tubuhku yang memaksa hendak keluar.Perlahan pintu ventilasi terbuka karena bantuan dua opsir lainnya dari dalam ruangan. Regi loncat dengan terburu, lalu telentang di lantai ruangan dengan napas memburu.
Setelahnya barulah aku ikut loncat dan ditangkap baik oleh Adnan yang menunggu tepat di bawah pintu ventilasi.
"Kau okay?"
Aku bergumam dan mengangguk. Lalu mendudukan diriku di lantai ruangan yang terasa dingin. Suhu di dalam sini dengan di dalam ventilasi sangat jauh berbeda.Punggungku menyandar di dinding ruangan dengan napas memburu. Menatap Regi sejenak lalu menghadiahi bahu tegap itu dengan pukulan yang sedikit kuat.
"Apa?" Kepalanya mendongak menatapku.
"Kau berniat meninggalkanku sendirian di dalam sana?"
"Kau bilang kau ingin buang angin. Tak ada yang mau mati kehabisan napas karena gasmu Shaila."
"Dan kau percaya padaku?!"
Seperkian detik berikutnya Regi beranjak dari tidurnya. Duduk tak jauh dariku dengan tatapan serius. "Tadi kau bohong?"
"Kapten spertimu mudah ditipu?"
"Sial! Kau tak lihat sepanik apa aku tadi?!"
"Kau yang mengerjaiku lebih dulu!"
"Kapan? Sedari tadi aku mencoba membuka pintu ventilasi."
"Kau mempermainkan kesabaranku di atas sana Regi!"
"Percaya diri sekali. Lihat! Karenamu kulit tanganku terkoyak!"
Mataku terpaku menatap goresan di telapak tangan kanan Regi. Ada darah di sana, lukanya tak dalam, hanya saja panjang.
"Apa sakit?"
"Menurutmu?"
"Sudahlah. Kalian hentikan dulu perdebatan kalian." Opsir Anan melerai kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Meeting: Farewell (Book 1)
Jugendliteratur[Completed] # Series pertama dari cerita Unexpected Meeting. Bumi hancur... Aku pernah beberapa kali melihatnya di film, namun kini aku mengalaminya sendiri. Rasanya lebih menakutkan dari apa yang kubayangkan. Tak kukira kejadian di film-film bisa t...