Rania menatap jam di pergelangan tangannya saat sampai di villa. Mereka baru tiba sore hari setelah diselingi perjalanan naik pesawat, makan siang, sholat dzuhur dan berbelanja pakaian di di butik ataupun pusat perbelanjaan yang mereka temui sepanjang jalan.
Saat seorang kurir meletakkan empat koper besar, Rania baru sadar ia dan Ghaz belanja begitu banyak. Koper Ghaz hanya satu selebihnya koper miliknya.
Pria itu bersikeras memenuhi kebutuhan sandangnya dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sebuah koper berisi tas dan sepatu, selebihnya berisi pakaian. Belum lagi tas jinjingnya yang berisi kosmetik dan alat mandi mereka berdua.
Di dalam villa terdapat dua pelayan yang membantunya membongkar koper hingga tak lebih dari tiga puluh menit semua keperluan tertata rapi pada tempatnya.
Pelayan yang lebih tua yang nametagnya bernamakan Rumi berkata, "Kami para pelayan tinggal di bagian luar villa pada rumah tersendiri sehingga tidak mengganggu privasi tuan dan nyonya. Bila nyonya membutuhkan sesuatu, kami siap selama 24 jam. Silahkan tekan nomor 1 pada saluran telepon, kami akan segera datang."
"Terimakasih." Rania tersenyum membalas.
Dua pelayan pun segera undur diri.
Rania menatap kamar dengan canggung. Matanya mengarah pada pesisir pantai kuta. Pikirannya mengembara. Ia masih resah akan kakak dan adiknya. Ia akan mencari waktu yang tepat untuk berbicara dengan keduanya.
Rania tak menyadari Ghaz memasuki kamar. Ia terkejut manakala sepasang lengan melingkar di pinggangnya.
"Apa yang kau pikirkan?"
Rania menggeleng. "Aku sedang mengagumi indahnya pesisir pantai." Ia tak ingin Ghaz ikut resah. Bagaimanapun ini hari bahagia mereka. Ia harus fokus pada suaminya.
Pria itu merapatkan tubuhnya menempel pada lekuk belakang Rania. Rambut di leher kiri Rania disibaknya. Hingga menampakkan leher jenjang perempuannya. Napasnya berhembus membelai disusul kecupan lembut menyusuri sepanjang leher mulus itu. "Kau mandi dulu?"
Rania berdiri gugup belum terbiasa kontak fisik antar lawan jenis yang mengarah pada kemesraan. Selama ini ia hanya akrab dengan Alta, sang kakak angkat. Itupun tak lebih dari usapan lembut di kepalanya atau sekedar salim. Tak lebih dan tak kurang.
Alta sangat menjaganya bahkan dari pemuda-pemuda yang berusaha mendekatinya. Alta selalu jadi tameng. Karena itu ia minim pengalaman terkait hubungan romantis pria dan wanita.
Hanya Ghaz, pria itu yang mengenalkannya apa itu hasrat.
"Rania?" Ghaz memanggilnya pelan, sebagai teguran atas lamunannya.
"Oh maaf." Wajahnya bersemu merah. Dengan terburu ia meraih handuk lantas bergegas ke kamar mandi.
Ia membersihkan diri dengan melumuri cream luluran pada tubuhnya. Ia hanya luluran sepuluh menit, khawatir Ghaz menyangkanya tidur di kamar mandi. Setelah itu ia berendam pada bathtub yang telah ditaburi mawar dan wewangian buhur.
Tubuhnya yang kaku mendadak segar kembali. Serasa vitalitas tubuhnya kembali prima. Cukup lama ia berendam hingga air bathub mendingin. Ia pun beranjak membilas diri.
Ketka hendak keluar ruangan mendadak ia berdiri termangu.
Ia lupa tadi hanya mengambil selembar handuk tampa pakaian ganti. Dilema. Ia tak mungkin selamanya berada di dalam kamar mandi sampai suaminya terlelap. Ghaz pun butuh mandi. Tapi ia pun malu keluar hanya dengan selembar handuk yang hanya mampu menutupi sebagian tubuhnya.Tenang Ra... Yang diluar adalah suamimu. Tak berdosa kau keluar dengan keadaan setengah telanjang.
Rania menghela nafas panjang mencoba mengumpulkan keberanian. Butuh waktu sekitar sepuluh menit ia berperang bathin hingga tekadnya bulat.
KAMU SEDANG MEMBACA
GHAZ
Romance[21+] CERITA INI MENGANDUNG UNSUR ADEGAN DEWASA. BIJAKLAH DALAM MEMBACA. Ar-Rasyid Series : #Third Story Rania menganggap Alta sebagai sosok kakak laki-laki yang ia dambakan. Namun pria itu tanpa disangka menginginkan lebih dari ikatan saudara. Disa...