Rania menatap rumah Ghaz dengan bingung. Setahunya sewaktu kejadian gempa ia berlindung di rumah pria itu tapi rumah yang berbeda. Mungkinkah ia salah ingat. Rumah yang sekarang terlihat lebih anggun minimalis ada kesan hangat ketika ia menatapnya.
"Ini rumah yang sama Ra, hanya dimodifikasi agar nyaman kau tinggali."
"Persis seperti yang kubayangkan!" Sebagai rumah idamanku- sambungnya dalam hati.
Ghaz memeluk Rania. "Kau menyukainya?"
"Tentu."
Ghaz merangkul pinggangnya dan mencium tengkuk yang tertutupi rambut hitam panjang. "Selamat datang di rumah kita."
Rania berbalik badan mengulurkan tangannya memeluk leher Ghaz. "Hal terbaik yang kulakukan adalah menikahimu."
"Terimakasih telah hadir dalam hidupku." Dikecupnya bibir Rania.
"Mas!" Rania terkejut saat Ghaz meremas payudaranya. "Bagaimana kalau dilihat orang."
"Tak ada orang." Jawabnya acuh.
"Kau nakal." Ujarnya sambil tertawa dan tawanya menular pada Ghaz.
Ghaz tertawa renyah. "Baiklah Nyonya waktunya memasuki rumah." Ghaz membopongnya layaknya bridal. Rania tertawa lepas.
Ghaz menurunkan Rania pada sofa di ruang tamu. Mereka duduk berdampingan menatap langit-langit kamar sambil berpelukan.
"Mas... Aku belum memberi tahu keluarga perihal kita. Bagaimana sebaiknya? Mereka pasti terkejut."
"Kau maunya bagaimana? Aku ikuti."
Rania duduk tegak menatapnya. "Tunggu sejenak ya? Kita pelan-pelan Mereka tak akan percaya kita mendadak menikah terlebih meraka tahu bahwa aku tak pernah pacaran." Ada kekhawatiran di matanya, ia butuh persetujuan suaminya.
"Kita memang terlalu tergesa-gesa. Baiklah. Kau atur saja. Kalau kau sudah siap, mari kita menghadap keluarga mu."
Rania masih menatap ragu. "Tapi tak adil buatmu mas..."
Ghaz mengelus rambutnya. "Tak perlu khawatirkan aku."
Rania mengangguk lega. "Mengenai anak bagaimana?"
"Kita tunda tak apa? Kau fokus kuliah saja dulu. Bagaimana?"
"Tapi mas, nanti keluargamu menanyakan bagaimana?"
"Aku yang akan menangani."
Kini binar mata Rania benar-benar memancarkan sinar kelegaan. "Semoga, setidaknya untuk sekarang tak masalah."
"Ya anggap saja kita sedang berpacaran."
"Pacar halal." Senyum Rania mengembang.
"Dan mengenai hubungan suami istri... Ehm..." Ghaz terbatuk canggung. "Paling tidak cukup sehari sekali."
Wajah Rania seketika memerah. Ia mengangguk dengan mata menatap lantai.
"Baik lah itu saja." Ghaz berdiri canggung. "Aku mau ganti baju lantas ke bengkel."
"Kau langsung bekerja?"
"Tidak, hanya mengecek kondisi bengkel saja." Entah bagaimana keadaan bengkel setelah seminggu ia tinggal. Selama ini ia tak pernah libur bahkan hari minggu pun tetap ia handle semdiri. Baru kali ini ia libur itupun untuk menikah dan bulan madu. Kedepannya bengkel akan beroperasi enam hari kerja. Ia pun butuh menghabiskan waktu bersama Rania.
Sementara Ghaz di kamar, Rania mengeksplor rumah. Meneliti tiap sudutnya. Sayangnya rumah begitu minim perabotan mengingat tadinya rumah bujang.
Rania menengok jam di pergelangan tangannya. Waktu menunjukan pukul sembilan pagi. Masih terlalu dini baginya untuk kembali ke kasur namun juga waktu yang cukup untuk berbelanja dan masak.
KAMU SEDANG MEMBACA
GHAZ
Romance[21+] CERITA INI MENGANDUNG UNSUR ADEGAN DEWASA. BIJAKLAH DALAM MEMBACA. Ar-Rasyid Series : #Third Story Rania menganggap Alta sebagai sosok kakak laki-laki yang ia dambakan. Namun pria itu tanpa disangka menginginkan lebih dari ikatan saudara. Disa...