Zeline terus berlari menahan cairan kental yang keluar dari hidungnya. Saat sampai di toilet, Zeline membuka bilik toilet dengan cukup kencang lalu menguncinya dari dalam. Zeline menarik beberapa tisu lalu membersihkan cairan kental berwarna merah itu dengan cepat.
“Hufttt, setres dikit keluar darah. Bisa-bisa mati kekurangan darah, ck.”
Setelah bersih semuanya, Zeline keluar. Ia memutuskan untuk balik ke kelas saja, banyak siswa yang berkeliaran di area toilet membuat dirinya risih dan tak nyaman.
“Zeline Laiba, sudah?” tanya Pak Naupal.
Zeline baru saja menginjakkan kakinya di dalam kelas, ia menatap Pak Naupal lalu beralih menatap teman sekelasnya secara bergantian. Zeline mengangguk, lalu duduk membuat Pak Naupal menghembuskan napasnya pelan.
“Sabar banget ya saya ngadepin kamu, Zeline.”
Zeline orang pertama yang keluar dari kelas. Perempuan itu menggendong tasnya, cukup melelahkan untuk hari ini. Walaupun dengan jam singkat, itu mampu menguras tenaganya.
Zeline duduk di kursi yang sudah di sediakan oleh pihak sekolah untuk menunggu jemputan. Antensinya beralih saat melihat Afifah, Selen, Leo, Ojo dan Gale beriringan berjalan. Mereka sedikit ada perbincangan, lalu mereka berlima menatap Zeline. Zeline langsung berpura-pura menyibukkan diri.
“Lo di jemput sama bokap, Gal?” tanya Leo.
Gale menggeleng, “Lagi mogok. Naik bus ajalah. Kalian gimana?”
“Sama. Ojo gimana?” jawab Selen cepat.
“Kakak gue udah di depan, gue duluan.”
Ojo pamit untuk pulang duluan karena Kakaknya sudah menunggu.
Bus sekolah sudah datang, para siswa yang menunggu di depan gerbang maupun di dalam sekolah masuk ke dalam bus.
“Kalian duluan aja aku di jemput sama Abi,” ujar Afifah.
“Oke, lo hati-hati ya!”
Afifah mengangguk, lalu melangkah untuk duduk di kursi tunggu. Ia sengaja duduk di sebelah Zeline.
Sekolah mereka memang tidak memperbolehkan untuk membawa kendaraan pribadi. Pihak sekolah sudah menyediakan bus mini, jika mereka tidak mau pihak sekolah menyarankan untuk antar jemput dari pihak keluarga masing-masing.
“Zeline nunggu jemputan?”
Zeline yang awalnya sibuk dengan pikirannya kini menatap Afifah yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Zeline mengangguk lalu bangun dari duduknya.
“Afifah duluan,” pamit Zeline ketika sopir pribadinya sudah datang.
“Iya, hati-hati Zeline!” Afifah sedikit berteriak agar Zeline mendengarnya karena perempuan itu cepat sekali berjalan.
“AFIFAH!” panggil seorang pria paruh baya menggunakan peci dan sarung yang keluar dari mobil.
Afifah langsung menghampiri Abinya.
“Abi ko pake sarung?”
Abi menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Buru-buru jemput putri kesayangan, Abi.”
Afifah tersenyum lebar lalu masuk ke dalam mobil bersama Abi.
Zeline yang melihat interaksi antara Afifah dengan Abinya membuat dirinya iri. Ia tak pernah di antar maupun di jemput oleh orang tuanya. Mereka sedang sibuk untuk mencari uang.
“Kapan ya Zeline bisa kayak Afifah?” ujar Zeline tanpa sadar.
“Kan ada Pak Toni. Nak Zeline sudah saya anggap seperti anak sendiri. Jangan sungkan-sungkan ya, Nak Zeline.”
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTOPHILE : Mental Health ✔
Teen FictionAku bukan Anisa! Aku adalah Zeline. Zeline Laiba bukan Anisa Laiba. Kita saudara, tapi kita tak sama. Diamku bukan aku takut, melainkan aku malas meladeni semua kemauanmu. Aku adalah aku, bukan Anisa atau yang lainnya. Paham? Zeline hidup dalam ma...