12. Autophile

22 4 0
                                    

Detak jantung berpacu kencang, pikiran diselimuti oleh hal-hal negatif bahkan berjalan saja Zeline hampir jatuh berkali-kali. Setelah menempuh perjalanan yang lumayan, akhirnya Zeline sampai disalah satu rumah sakit ternama di Ibu kota Jakarta.

Kakinya lemas saat melihat Aliya duduk sendiri di depan ruang UGD. Dengan tubuh yang bergetar Zeline menghampiri Aliya dan di belakangnya sudah ada Pak Toni dan Mbak Narti. Mereka berdua sudah balik ke Jakarta saat Zeline berangkat ke sekolah.

“Nek!” panggil Zeline berdiri tepat dihadapan Aliya.

“Mama kenapa?” tanya Zeline penuh kekhawatiran.

Aliya menyuruh Zeline untuk duduk, saat itu juga tanpa basa-basi dan adanya perdebatan  Zeline langsung duduk.

“Merry menabrak pembatas jalan. Kata Polisi, Mama kamu mabuk.”

Zeline menggeleng tak percaya, mana mungkin Merry bisa mabuk. Setahunya Merry itu anti minuman keras.

“Nenek percaya?” tanya Zeline memastikan.

Aliya menggeleng sebagai jawaban. Bahkan Aliya yang merupakan Ibu kandung Mamanya saja tidak percaya.

“Polisi sedang mencari bukti yang pasti, apa akibat dari Bu Merry kecelakaan. Bahkan para Wartawan sudah berbondong-bondong menuju lokasi,” ujar Pak Toni memberikan sedikit informasi.

Aliya memijit kepalanya. Cukup pusing dan kaget kenapa anaknya bisa dikatakan mabuk saat mengendarai mobil.

“Toni, pastikan di rumah tidak ada satupun Wartawan bisa masuk. Katakan saja bahwa Merry Laiba tidak kenapa-kenapa,” ujar Aliya.

Aliya sendiri tahu bahwa anaknya itu sangat terkenal dikalangan Pengacara. Sedikit saja ada peristiwa atau masalah, dipastikan para Wartawan akan berbondong-bondong datang.

“Baik, Nenek Aliya.”

Seorang Dokter perempuan keluar dari ruangan UGD. Membuat Zeline langsung bangkit.

“Untung saja keadaan Ibu Merry sejak datang tidak dalam terpengaruh oleh minuman keras. Karena itu kita tim medis cepat menanganinya. Ada beberapa keretakan dibagian tulang kaki Ibu Merry, oleh karena itu menyebabkan kelumpuhan,” jelas Dokter Irma.

“Lumpuh?” gumam Zeline cukup terkejut.

Dokter Irma mengangguk, “Kelumpuhan yang dialaminya tidak bersifat permanen. Saya sarankan Ibu Merry melakukan fisioterapi secara rutin agar cepat sembuh. Tidak itu saja, ada beberapa luka dibagian bibir korban sehingga untuk ke depannya belum bisa berbicara dengan kalimat normal,” jelas Dokter Irma dengan penuh keramahan.

“Ibu Merry mulai besok pagi sudah bisa dipindahkan ke ruang inap. Kalau begitu saya pamit untuk mengecek kondisi pasien yang lainnya,” lanjutnya lalu pergi setelah mendapatkan jawaban dari pihak pasiennya.

“Nek, apa Nenek sudah mengabari Papa?” tanya Zeline pelan.

“Sudah, namun nomornya tidak aktif. Anisa juga tidak bisa dihubungi,” jawab Aliya lemah.

Tiba-tiba saja kedua tangan Zeline mengepal sangat kuat. Air matanya lolos begitu saja, lalu dengan cepat ia menepisnya.

“Biarkan Zeline yang nantinya menghubungi mereka. Nenek sudah makan?”

Aliya menggeleng lemah. Saat Merry dikabarkan kecelakaan ia buru-buru ke rumah sakit, pikirannya sangat kacau saat itu.

“Zeline pergi keluar untuk membelikan Nenek makanan dan yang lainnya. Mbak sama Pak Toni, jaga Nenek sebentar ya. Zeline ke Restauran samping rumah sakit saja agar cepat,” ujar Zeline lalu diangguki oleh Mbak Narti dan Pak Toni.

Aliya menatap kepergian Cucunya. Tanpa ia sadari sebuah cairan jatuh begitu saja membasahi kedua pipinya.

***

Setelah membelikan makanan untuk Aliya dengan secepat mungkin Zeline kembali ke rumah sakit. Zeline tidak bisa lagi berpikir jernih bagaimana tanggapan Merry bahwa dinyatakan lumpuh.

“Nek, makan dulu. Mbak sama Pak Toni juga, kalian makan saja dulu biar Zeline yang menjaga Mama.”

Aliya menatap Zeline dengan penuh kerinduan dan adanya rasa ketakutan yang mendalam. Dirinya langsung bangkit, memeluk Cucunya erat.

“Jangan pernah meninggalkan Mamamu sendirian,” ujar Aliya sedikit berbisik.

Zeline mengangguk tipis, “Untuk saat ini Zeline mengalah Nek. Tapi, dilain waktu Zeline akan tetap pada pendirian.”

Besok paginya Dokter Irma mengabari bahwa Merry sudah siuman dari masa kritisnya. Zeline dan Aliya langsung masuk ke ruang inap Merry. Di dalam ruang inap mereka melihat Merry yang tak berdaya. Banyak selang yang melekat di tubuhnya.

“Ma-ma sudah siuman?” gumam Zeline berjalan mendekati brankar milik Merry.

“Ma? Jangan banyak bergerak dulu.”

Merry menggeleng, mulutnya sulit untuk terbuka. Luka yang cukup parah sehingga sulit dan sakit untuk berbicara. Cairan bening terus turun, membuat Aliya iba pada putrinya.

“Istirahatlah dulu Mer,” ujar Aliya mengusap tangan Merry lembut.

Merry menatap Ibunya, seakan ia ingin bertanya kenapa kakinya sulit untuk digerakan bahkan kedua tangannya ngilu.

“B-u,” ujar Merry susah payah memanggil Aliya.

“Iya sayang, Ibu di sini.”

Merry mengisyaratkan dengan kedua matanya melihat kedua kakinya yang sulit untuk digerakan. Paham apa yang dimaksud oleh putrinya, Aliya langsung menjelaskan dengan jujur.

“Kamu mengalami kelumpuhan,” ujar Aliya.

Dan sedetik saat itu juga Merry menggeleng kuat bahkan menangis tanpa suara.

“Mama bisa sembuh. Jika Mama rajin fisioterapi, maka Mama bisa berjalan kembali seperti semula,” ujar Zeline menenangkan Merry agar ia tidak mengira mengalami kelumpuhan permanen.

“Sekarang Mama istirahat dulu. Zeline sama Nenek akan terus jagain Mama sampai sembuh.”

Aliya tersenyum menatap Cucunya. Begitu mulianya Zeline ingin merawat Mamanya sampai sembuh. Apakah Merry ketika sudah sembuh bisa membuka hati kecilnya agar tidak memaksa Cucunya lagi untuk menuruti kemauannya?

Beri dukungan Autophile dengan menekan vote.

AUTOPHILE : Mental Health ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang