13. Autophile

21 6 0
                                    

Anisa memegang perutnya yang terasa keram, keringat dingin keluar dari pelipisnya. Karena tak kuat menopang tubuhnya, ia pun bersandar pada lemari kaca yang ada di sampingnya.

“Akh sa-kit,” ringisnya menahan sakit yang amat luar biasa.

“Papa!” panggil Anisa keras karena ia tak tahan menahan sakit yang menjalar di area perutnya.

Hanu yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung menghampiri sang putri. Raut kecemasan terlihat jelas di wajah Hanu. Dengan segera ia membawa Anisa ke kamarnya yang terletak lumayan dekat dengan posisinya saat ini.

“Apa perlu ke rumah sakit sayang?” tanya Hanu. Pertanyaan ini sudah beribuan kali Hanu lontarkan, apakah kali ini Anisa kembali menolaknya?

Anisa menggeleng sebagai jawaban, lalu menatap Hanu dengan senyuman manisnya. “Nisa gak papa. Hanya keram biasa aja, Papa gak perlu khawatir.”

Hanu menghembuskan napasnya, Anisa ini sangat keras kepala. Sifatnya turun temurun dari Merry. Jika ia akan menolak maka tidak boleh dibantah.

“Untuk bulan ini dan bulan depan kita gak usah pulang dulu ya, Pa. Nisa belum siap,” ujar Anisa seraya mengusap perut buncitnya pelan untuk meminimalisir rasa sakitnya.

“Cepat atau lambat semuanya akan terbongkar. Karena perutmu semakin hari kian membesar dan kita tidak bisa lagi menutupi semuanya dari Merry, Zeline dan Nenekmu.”

Anisa menggangguk paham, ia tahu pada akhirnya semuanya tidak akan bisa ditutupi lagi. Karena kandungannya kini sudah masuk bulan keenam. Mati-matian Anisa menutupi perutnya yang buncit jika bertemu dengan Merry di rumah.

“Mama pasti kecewa banget sama Nisa. Kenapa gak Nisa gugurkan saja dulu ya Pa? Biar semuanya gak kayak gini.”

Hanu menarik putrinya dalam dekapannya, ia usap pelan kepala sang putri dengan penuh kelembutan. “Jangan berpikir seperti itu, kita hadapi sama-sama. Ini bukan sepenuhnya kesalahanmu sayang. Mamamu pasti akan mengerti.”

Tak jauh dari tempat mereka berada, Merry baru saja datang.
Merry ingin menghampiri mereka berdua, namun kakinya enggan untuk digerakan. Ia menutup mulutnya agar tidak mengeluarkan isakan. Apa ia salah dengar? Anisa hamil anak dari suaminya? Katakan ini hanya mimpi, bangunkan dirinya dari mimpi buruk ini. Namun, nyatanya ini bukan mimpi.

Sengaja datang ke sini diam-diam untuk mengagetkan mereka tapi nyatanya ia yang dikagetkan dengan sebuah fakta bahwa anak kandungnya sedang mengandung anak dari suaminya. Seperti judul FTV saja kisah hidupnya. Merry membalikan badannya, ia menarik kopernya dengan tergesa-gesa. Hatinya hancur, seperti ada ribuan belati yang menusuk hatinya. Kenapa harus Anisa?

Merry membuka matanya, mulutnya sulit untuk berteriak. Mimpi itu, mimpi itu bukan hanya sekadar mimpi. Itu nyata. Merry mengedarkan pandangannya, ia masih berada di rumah sakit. Kembali mengingat fakta yang ia lihat membuat dirinya kembali menangis. Hatinya kembali sakit. Kenapa mereka mengkhianati dirinya? Dosa apa yang ia perbuat sehingga Tuhan menghukumnya dengan cara seperti ini.

Zeline bangun dari tidurnya, ia melihat jam yang menempel indah di ding-ding rumah sakit. Menunjukkan pukul dua dini hari. Masih pagi, ingin melanjutkan tidurnya tapi Zeline sempatkan untuk melihat sang Mama terlebih dahulu.

“Mama?”

Zeline tidak salah lihatkan? Merry sedang menangis, bahkan sampai sesegukan. Apakah begitu sakit sehingga Merry menangis seperti itu, pikirnya.

“Mama kenapa nangis?” tanya Zeline pelan mengusap lengan Merry sangat lembut, agar tidak menimbulkan rasa sakit lagi.

Merry menatap Zeline, seperti kurang tidur itu yang dirinya lihat. Ia menggeleng sebagai jawaban, kenapa sesakit ini? Bahkan jika boleh memilih ia tidak ingin membuka matanya saat kecelakaan itu.

“Mama tidur ya, apa perlu Zeline pijitin biar rasa sakitnya hilang?”

Merry kembali menggeleng, tangisannya kembali keras mengingat kenapa harus Anisa? Anak yang selalu dirinya banggakan. Dan kini harus menelan kekecewaan karena Anisa tidak sebaik yang ia kira.

“Tenang ya, Ma. Bentar lagi Dokter Irma datang,” lagi-lagi Zeline harus sabar untuk menenangkan Merry karena wanita itu tak berhenti untuk menangis.

***

Aliya sudah memberi kabar keluarga besarnya, bahwa Merry mengalami kecelakaan dan sedang rawat inap. Para saudara Merry berbondong-bondong untuk menjenguk keadaannya, bahkan mereka meninggalkan pekerjaan pentingnya. Tidak hanya itu, Gilang—saudara tiri dari Merry langsung ke Indonesia. Bahkan kabarnya mereka akan pindah sementara waktu dari Thailand—Indonesia.

“Hanu ke mana, Bu?” Sejak kedatangannya, Gilang tidak melihat keberadaan adik iparnya itu. Bahkan Anisa pun juga tak nampak kehadirannya.

“Papa lagi ada operasi, Om. Mungkin jika tidak sibuk, Papa langsung ke sini.” Bukan Aliya yang menjawab melainkan Zeline.

Gilang menaikan satu alisnya, tumben sekali adik iparnya itu sibuk tidak bisa meluangkan waktu. Dulu Merry jatuh dari tangga saja, Hanu rela meninggalkan jadwal operasinya yang sangat padat itu.

“Aku dan keluarga akan menetap di Indonesia sementara waktu. Untuk menghandel perusahaan sudah ada Afdal yang akan mengaturnya,” ujar Gilang lalu menatap sang istri dan direspon senyuman hangat oleh—Jenny.

“Berarti Nana akan sekolah di Indonesia?!” Nanda Vaigorz—putri Gilang Vaigorz bertanya dengan nada yang terkejut. Gilang dan Jenny mengangguk seraya tersenyum manis.

“Nana mau satu sekolah dengan Kak Elin!” seru Nana langsung memeluk tubuh Zeline yang berada di sampingnya.

“Berisik!” tegur Nenda Vaigorz—kakak Nana lebih tepatnya saudara kembar.

“Diem kamu Nenen,” ejek Nana menjulurkan lidahnya.

Nenda menggeram tak suka lalu memberikan tatapan tajam kepada saudara kembarnya. “Jangan mengubah nama seenaknya!” protes Nenda, benar-benar tak suka.

“Namaku Nanda dan nama panggilannya Nana, sedangkan kamu Nenda otomatis dong nama panggilannya Nenen.” Nana tak mau kalah, tipekal orang yang ingin selalu menang.

“Nda!” adu Nenda pada sang Bunda—Jenny.

“Nana ini loh, Nenda bukan Nenen! Bunda susah-susah buat nama masa kamu ubah jadi Nenen.” Jenny membela sang putra.

“Uuu dasar anak Bunda!” sengut Nana mengeluarkan jurus wajah jailnya.

Nenda itu paling dekat dengan Jenny sedangkan Nana lebih dekat dengan Gilang. Makanya Nenda akan lebih manja dari Nanda. Tak dipungkiri anak putra memang akan lebih dekat dengan sang ibu dan sebaliknyapun.

Dibalik itu semua putra dan putri dari Gilang Vaigorz dan Jeny Almira Vaigorz memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh manusia biasa. Sama seperti dengan Ayah kandung Gilang—Alm. Sinanta Oldap Vaigorz. Kelebihan yang turun temurun dari leluhur.

Indra keenam.

***

Dukung Autophile dengan cara menekan Vote.

AUTOPHILE : Mental Health ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang