Zeline hari ini lebih baik memesan Taksi dari pada peristiwa kemarin terulang kembali. Memberikan efek takut untuknya, dan harus lebih waspada pada orang sekitarnya. Bahkan Zeline tidak mau menilai seseorang dari cara berpakain mereka, mungkin saja itu tipuan belaka untuk menarik para korban.
Masuk ke kelas dengan keadaan sepi, itu berarti teman-teman kelasnya belum ada yang datang. Zeline memanfaatkan waktu untuk memahami materi sebelum ia dan Gale mempresentasikan tugas mereka.
“Assalamwalaikum,” ucap seseorang yang baru saja masuk ke dalam kelas.
Zeline tetap fokus pada buku yang ia baca, tanpa melihat siapa yang masuk ke dalam kelas. Karena ia juga tahu siapa pemilik suara itu, yaitu Afifah. Perempuan cantik yang memakai jilbab berwarna putih.
“Eh ada Zeline. Assalamwalaikum. Selamat pagi Zeline,” ujar Afifah mengucap salam untuk Zeline.
Zeline melirik Afifah sebentar lalu membalas salam, “Walaikumssalam.”
Afifah duduk di tempat duduknya, lalu melirik Zeline yang sangat fokus membaca buku. Afifah tersenyum, bukan ia ingin bersaing dengan Zeline bahkan dirinya saja terkejut saat menggeser peringkat pararel milik Zeline. Dari kelas sepuluh Zeline terus menduduki peringkat pararel pertama sedangkan dirinya menempati peringkat ke dua.
Masih tak menyangka memang, Afifah sangat menebak pasti Zeline akhir-akhir ini kurang fokus sehingga menyebabkan beberapa nilainya turun.
“Zeline.” Panggil Afifah dengan suara lembut.
Zeline melirik Afifah yang berada di samping kanannya dengan alis terangkat, seolah-olah bertanya ‘Ada apa?’
“Semangat belajarnya!” ujar Afifah dengan senyum manisnya tak lupa juga kedua tangannya terangkat dan mengepal ke udara, membuat Zeline sedikit bingung.
Tumben Afifah berucap seperti itu, pikirnya. “Kamu juga,” balas Zeline lalu kembali fokus pada bukunya.
Afifah bukan anak yang terlalu ambisi dan ia juga tak ingin bersaing. Apa lagi bersaing dengan Zeline, bukannya ia takut atau ragu memang ia tak ingin terlalu berambisi. Ia ingin belajar seperti mana mestinya tanpa menjatuhkan satu sama lain.
“Assalamualaikum, Ukhti!” ucap salam dari Leo yang baru saja datang.
Afifah menggeleng kecil, apa laki-laki bertahi lalat di bibir kanannya itu tidak bisa mengucapkan salam biasa saja?
“Walaikumsalam, Leo.”
Leo berjalan lalu duduk di tempatnya, menatap Afifah kagum. Memang ya Ukhti satu ini selalu cantik di matanya, ucapnya dalam hati.
“Kalau aja lo gak deket sama si Ojo udah gue gebet dari awal,” ujarnya masih menatap Afifah kagum.
“Kita hanya sebatas teman. Kamu juga teman aku, terima kasih atas pujiannya dalam hati.”
Leo mendelik lalu terkekeh pelan. “Tau aja lo gue muji dalam hati.” Afifah hanya membalas dengan senyuman kecil.
Bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi, semua siswa dan siswi sudah masuk ke dalam kelasnya masing-masing. Pak Kadek selaku Guru Seni Budaya masuk ke dalam kelas Autophile. Laki-laki yang tak jauh ramahnya dengan Pak Naupal. Guru laki-laki termuda setelah Pak Naupal bahkan Pak Kadek selalu jadi bahan perbincangan di kalangan murid dan guru di sekolah swasta ini.
“Selamat pagi, anak-anak Bapak tercinta!” seru Pak Kadek dengan semangat.
“Selamat pagi, Pak Ganteng!” balas seruan dari Selen dan Leo.
“Selamat pagi, Pak!” balas seruan dari Afifah, Ojo dan Gale. Sedangkan Zeline, perempuan berambut pirang itu hanya diam.
“Nampaknya kalian ini sangat bersemangat. Ayo kita mulai saja presentasinya, di mulai dari kelompok Selen dan Leo. Dipersilakan untuk Monyet dan Singa maju ke depan,” ujar Pak Kadek di akhiri dengan gurauan.
Selen dan Leo maju, mereka memang tidak ambil pusing dengan panggilan dari Guru tersayang mereka setelah Pak Naupal.
Selen mengambil miniatur rumah yang sangat sederhana. Sederhana namun cantik untuk dipandang. Sedangkan Leo dan Pak Kadek menyiapkan file di laptop agar terlihat di layar monitor samping papan tulis.
“Sudah semuanya siap. Kalian fokus untuk presentasinya saja,” ujar Pak Kadek lalu diangguki oleh Leo dan Selen.
Di depan mereka sudah ada bangku untuk meletakkan miniatur yang mereka buat. Di samping sebelah kanan menampakan layar monitor yang akan memperlihatkan beberapa foto dokumentasi mereka. Sebelum itu Leo dan Selen berdeham.
“Berdirinya kami di sini untuk presentasi bukan untuk berekspetasi, karena tingginya ekspetasi membuat sakit hati.”
“Oleh itu tak perlu basa-basi dan tak kenal maka tak sayang, perkenalkan kelompok presentasi kami yaitu kelompok Maung!” lanjut Leo lalu mereka berdua bertepuk tangan dan diikuti oleh yang lainnya.
Selen menepuk jidatnya, lupa akan salam terlebih dahulu.
“Selamat pagi. Salam sejahtera untuk kita semua. Salam lintas enam!” ujar Selen dengan senyum manisnya.
“Selamat pagi!” seruan dari balasan Pak Kadek dan teman-temannya, kecuali Zeline.
“Terima kasih yang sudah menjawab salam, semoga masuk surga dan yang tidak menjawab semoga tidak masuk angin,” Selen dan Leo barengan menatap Zeline yang tak membalas salam mereka, namun mereka berdua tak ambil pusing karena sudah terbiasa dengan tabiat temannya yang satu itu.
Zeline sangat mengamati miniatur rumah yang dibuat oleh Leo dan Selen. Miniatur rumah yang diambil dari khas Betawi. Chat berwarna hijau tua dan hijau muda itu sangat mendominasi dari ciri khas rumah Betawi. Bahkan di samping miniatur tersebut ada dua ondel-ondel berpasangan. Zeline akui mereka sangat pintar membuatnya. Asik dengan pikirannya, Zeline tersadarkan dari tepukan Afifah di samping kanannya.
“Zeline maaf. Kamu dipanggil Kepala sekolah,” ujar Afifah.
Zeline nampaknya sangat bingung, kenapa Kepala sekolah memanggilnya?
“Zeline Laiba cepat ke ruang Kepala sekolah,” ujar Pak Kadek menyadarkan lamunan Zeline.
Zeline langsung bangkit dari duduknya lalu pergi keluar kelas. Di kepalanya sudah berkecamuk beberapa pertanyaan. Kenapa Kepala sekolah memanggilnya?
Sampai di ruang Kepala sekolah, Zeline disambut baik oleh Pak Ridwan selaku Kepala sekolah di sekolah Zeline.
“Ada apa ya Pak, memanggil saya?” tanya Zeline tanpa basa-basi.
Pak Ridwan tersenyum lalu mempersilahkan Zeline untuk duduk.
“Begini Nak Zeline. Bapak dapat kabar dari Nenek Aliya bahwa Ibu Merry mengalami kecelakaan, oleh karena itu saya ijinkan kamu untuk pulang lebih awal.”
Zeline langsung bangkit dari duduknya, wajahnya nampak terkejut.
“Sekarang Mama saya di rawat rumah sakit mana ya, Pak?”
***
Beri dukungan Autophile dengan menekan vote.
Fyi. Maaf sudah tidak update selama satu bulan lebih. Semoga ke depannya bisa update setiap hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTOPHILE : Mental Health ✔
Ficção AdolescenteAku bukan Anisa! Aku adalah Zeline. Zeline Laiba bukan Anisa Laiba. Kita saudara, tapi kita tak sama. Diamku bukan aku takut, melainkan aku malas meladeni semua kemauanmu. Aku adalah aku, bukan Anisa atau yang lainnya. Paham? Zeline hidup dalam ma...