Setelah bercerita panjang, kini Zeline menyesal. Walaupun lega, tapi ada rasa penyesalan yang cukup mendalam. Kenapa ia harus bercerita pada orang yang baru dikenal? Bahkan bercerita dengan Mbak Narti selama 18 tahun saja tidak pernah.
Zeline masuk ke dalam rumah dengan lesu, rasa penyesalan masih menyelimuti hatinya. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore dan dirinya pulang dengan pikiran yang kacau.
“Sudahlah,” gumamnya.
Baru ingin masuk ke dapur mengambil segelas air karena merasa tenggorokannya kiring, suara tegas masuk ke dalam gendang telinganya.
“Keluyuran sampai tidak ingat waktu, bagus ya kamu Zeline.”
Nenek Aliya menghampiri Zeline dengan tongkat kayu di tangan kanannya. Menatap Cucunya tajam, tega sekali meninggalkan dirinya sampai setengah hari. Bahkan ia belum makan dari siang karena menunggu Zeline. Ia hanya memakan nasi goreng buatan Narti sebelum balik ke kampung halamannya dan itupun waktu pagi hari.
“Saya menahan lapar sejak siang, dan kamu malah keluyuran. Dosa apa yang Merry perbuat sehingga anaknya seperti ini,” ujar Nenek Aliya masih menatap tajam Zeline.
Zeline lagi-lagi dirinya harus menghela napas sabar. Jujur ia lupa bahwa Neneknya tidak diperbolehkan untuk masak, entahlah alasan apa yang membuat Nenek tua itu tidak diperbolehkan untuk masak dengan Merry.
“Zeline lupa mengabari Nenek. Zeline ada tugas kelompok dan baru saja selesai,” ujar Zeline lesu.
“Alasan saja kamu, cepat buatkan saya makanan. Saya sudah tidak kuat menahan lapar!”
Setelah itu Nenek Aliya langsung pergi berjalan menuju meja makan dengan santainya. Bolehkan Zeline mengumpat? Dirinya sangat muak, jika ada yang ingin menukar Neneknya dengan sebuah barang antik, sudah Zeline pastikan ia akan menukarkannya saja.
“Mbak Narti jangan lama-lama ya pulang kampungnya. Zeline sudah capek menghadapi Nenek tua itu,” ujar Zeline tapi tangannya sibuk mengambil beberapa bahan di kulkas.
Setelah setengah jam akhirnya masakan Zeline selesai. Zeline hanya masak tumis kangkung dan ayam kecap saja. Dua makanan ini cukup untuk mengisi perut mereka berdua.
“Aduh Zeline, kamu masak saja lama sekali. Bagaimana kamu ingin menjadi istri yang baik jika hal memasak saja kamu lama,” komentar Nenek Aliya membuat Zeline mendelik tidak suka.
“Begini ya Nenek Aliya yang terhormat. Zeline bukan pembantu, hal memasak itu kewajiban bersama. Bahkan sekalipun bersih-bersih rumah, Zeline adalah orang pertama yang menentang bahwa istri harus masak, bersih-bersih rumah! Istri juga bisa kerja tidak hanya mengurus pekerjaan rumah,” ujar Zeline membuat Nenek Aliya memutar bola matanya malas.
“Bisa-bisa tidak ada yang mau sama kamu!”
Zeline mengangkat kedua bahunya acuh. Ia tidak perduli sekalipun, jika mencari istri hanya digunakan sebagai pembantu Zeline akan mundur.
“Kamu itu harus menuruti apa yang dikatakan Merry. Jangan menentang ucapannya,” ujar Nenek Aliya disela-sela makannya.
“Merry kerja banting tulang untuk apa? Ya untuk keperluan sekolah kamulah, agar kamu nantinya sukses sama seperti Merry.”
“Anisa sudah sukses menjadi Dokter. Anak itu bagus mengambil jalan yang sama seperti Hanu. Kini kamu yang mengambil jalan yang sama seperti Merry, yaitu menjadi Pengacara yang sukses.”
“Hanya kamu harapan Merry satu-satunya, dan kamu harus menjadi anak yang penurut.”
Zeline benci ini semuanya. Kenapa semua orang harus mengurusi kemauan orang lain? Tidakkah bisa fokus pada diri sendiri saja?
“Jika Zeline menentang bagaimana?” tanya Zeline dengan senyum miringnya.
“Kamu disebut sebagai anak durhaka!” jawab Aliya cepat.
“Bukannya sebagai orang tua harus mendukung kemauan anaknya nanti? Kenapa mereka harus menuntut menjadi apa untuk ke depannya? Bukankah ini tidak adil?” tanya Zeline sengit.
“Sudah dibesarkan malah tidak tau terima kasih. Apa saja yang diajarkan di sekolah? Apa seperti ini? Melawan orang tua?”
Zeline menggeleng, ia bangkit dari duduknya menatap Aliya penuh kemarahan.
“Pasang telinga baik-baik ya, Nek. Zeline bukannya tidak tau terima kasih! Jujur saja, Zeline muak dengan sifat kalian berdua. Tidakkah kalian sedikit saja mendukung kemauan Zeline? Zeline capek, Nek! Capek menuruti semua kemauan dan keinginan Mama!”
Setetes air mata terjun ke pipi Zeline dengan cepat si empu menepisnya dengan kasar. Ia tak mau terlihat lemah di hadapan Aliya, ia harus tegar dan bisa melawan rasa kecewa yang amat terdalam ini.
“Zeline bisa sukses ko nantinya. Zeline akan buktikan pada kalian berdua! Asalkan kalian jangan ikut campur dengan masa depan Zeline nantinya. Cukup kalian berikan Zeline dukungan dan ingat ... Anisa Laiba, perempuan yang kalian puji-puji itu tak lama lagi akan membuat kalian malu seumur hidup!”
Zeline langsung pergi, berlari kencang menuju kamarnya. Sebenarnya ia malas, tapi pada akhirnya itu tidak memberikan dampak untuk mengubah kemauan mereka. Tapi, Zeline setidaknya sudah berusaha mengutarakan apa isi hatinya selama ini. Jika ada Merry, sungguh peristiwa tadi seperti drama di sinetron indosiar.
“Setidaknya sudah berusaha. Untuk ke depannya kuatkan mental dan fisik,” gumam Zeline tersenyum penuh arti.
Di meja makan, Aliya masih duduk menikmati makanan yang dibuat oleh Zeline. Sebenarnya ia tadi tidak terlalu mendengar ocehan Cucunya itu. Hanya saja ia berlagak ingin memancing, agar tahu apa isi di kepala Zeline.
“Merry, sebenarnya Ibu tidak setuju dengan apa yang kamu rencanakan. Lihatlah, Cucuku sudah tumbuh besar. Cukup Anisa saja yang merasakan itu semua, jangan sampai Zeline Cucu kesayanganku ikut merasakannya.” Aliya bergumam pelan, ia sangat menyayangi Zeline. Bahkan ia rela menjual rumah dan memilih tinggal di sini agar ia bisa menikmati kebersamaannya dengan Zeline.
Aliya cukup sadar, usianya yang sudah terbilang sangat tua ini pasti akan cepat menyusul sang suami.
“Tenang saja Cucuku, Nenek selalu mendukung kamu nantinya. Sebelum Nenek pergi, Nenek janji mengubah rencana Merry agar tidak terlalu mengekang Cucu kesayangan Nenek.”
Aliya tersenyum, kerutan di wajahnya sangat nampak jelas namun Nenek tua itu terlihat masih cantik.
Beri dukungan Autophile dengan menekan Vote.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTOPHILE : Mental Health ✔
Teen FictionAku bukan Anisa! Aku adalah Zeline. Zeline Laiba bukan Anisa Laiba. Kita saudara, tapi kita tak sama. Diamku bukan aku takut, melainkan aku malas meladeni semua kemauanmu. Aku adalah aku, bukan Anisa atau yang lainnya. Paham? Zeline hidup dalam ma...