Saat sudah menjelang sore, Mbak Narti dan Pak Toni tiba dikediaman rumah Abimala. Mereka berdiri di depan pintu menunggu si pemilik rumah untuk membukakannya. Saat pintu yang menjulang tinggi itu terbuka, nampaklah perempuan cantik berkuncir kuda dengan senyuman kecil.
“Mbak sama Pak Toni udah lama nunggu?”
Wanita dan laki-laki paruh baya itu menggeleng kecil sambil tersenyum. Dari raut wajah mereka terdapat rasa kekhawatiran, karena mereka berdua sangat tahu bahwa anak dari majikannya itu belum pernah menginap sama sekali.
“Nak Zeline yakin bisa menginap? Bukannya Mbak meragukan, tapi takutnya tidak bisa tidur.”
Zeline menggeleg kecil, “Zeline gak papa, Mbak. Anggap saja simulasi dan beradaptasi. Dari lahir sampai usia 18 tahunkan belum pernah menginap.”
“Ini rumah teman Nak Zeline ya? Kalau boleh tau, perempuan atau laki-laki?” tanya Pak Toni sopan. Pertanyaan dari Pak Toni membuat Zeline enggan untuk menjawabnya. Takut ia akan dimarahi oleh Merry.
“Ibu tadi berpesan untuk menanyakannya,” sambung Pak Toni lalu memamerkan giginya yang sudah hilang satu dibagian depan.
“Sebenarnya Zeline bingung mau menginap di mana. Karena dari awal teman Zeline gak ada yang akrab. Ini rumahnya Galendra dari keluarga Abimala. Tapi, kalian tidak usah khawatir. Zeline nyaman kok tinggal di sini, mereka semua baik sama Zeline.”
“Syukurlah kalau begitu. Mbak gak bisa lama-lama, Nak Zeline. Tadi Ibu berpesan jangan terlalu lama, takut para Wartawan makin bar-bar,” jelas Mbak Narti membuat Zeline sangat paham bagaimana keadaan rumahnya saat ini.
Mbak Narti menyerahkan sebuah koper besar kepada Zeline, tak lupa juga Pak Toni memberikan tas sedang yang isinya laptop kesayangan milik Zeline.
“Makasih banyak ya, Mbak, Pak. Maaf merepotkan, kalau begitu kalian hati-hati pulangnya. Sampaikan kepada Mama, jangan khawatir, Putrinya baik-baik aja.”
“Iya, Nak Zeline pasti kami sampaikam kepada Ibu. Kami pamit ya.”
Setelah kepergian mereka, Zeline langsung masuk ke dalam lalu muncullah Jasmine dari arah dapur.
“Loh koper dari mana sayang?” tanya Bunda Jasmine mendekat ke arah Zeline, sedikit membatu menarik koper besar itu.
“Ini baju-baju Zeline, Tan. Tadi Mbak sama Pak Toni yang mengantarkannya,” jawab Zeline tak lepas pandangannya dari Jasmine.
“Mereka gak mampir dulu?”
Zeline menggeleng kecil, “Lagi darurat, Tan.”
Jasmine berohria seraya mengangguk tanda mengerti.
“Panggil Bunda Jasmine aja, kan Zeline udah anggap Bunda seperti anak sendiri.”
Zeline tersenyum, kenapa Bunda Jasmine terlalu baik? Bahkan tutur katanya sangat lembut.
***
Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, namun Zeline masih setia berada di depan laptop kesayanganya dan tak lupa dengan buku-buku tebal yang setia mendampinginya ketika belajar.
“Masih punya waktu lagi satu jam,” gumam Zeline sebelum menguap lebar-lebar.
Beginilah dirinya, setiap hari belajar sampai pukul tiga dini hari. Karena sudah terbiasa bahkan jam tidurnya terkadang terlewatkan, tidak masalah bagi Zeline karena ingin mendapatkan nilai yang sempurna pada mata pelajaran Matematika.
Gale yang baru saja turun ingin mengambil air karena kehausan, ia tak sengaja melihat cahaya dari pentilasi kamar Zeline. Apa perempuan itu sudah tidur? Dilihat dari jam yang menggantung indah di ruang tamu mungkin sudah dipastikan si empu sudah tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTOPHILE : Mental Health ✔
Teen FictionAku bukan Anisa! Aku adalah Zeline. Zeline Laiba bukan Anisa Laiba. Kita saudara, tapi kita tak sama. Diamku bukan aku takut, melainkan aku malas meladeni semua kemauanmu. Aku adalah aku, bukan Anisa atau yang lainnya. Paham? Zeline hidup dalam ma...