Bunda tersenyum bangga melihat Zeline memakai bajunya sewaktu remaja dulu. Bajunya sangat pas ditubuh Zeline yang ideal. Kini ia menuntut perempuan cantik itu ke meja makan untuk makan siang.
“Makan dulu biar perutnya terisi, kalau perut terisi melakukan aktivitas apapun jadi fokus dan semangat,” ujar Bunda sangat antusias.
Bahkan Bunda melupakan keberadaan Ayah, Gale dan Nizzar. Ketiga laki-laki itu hanya diam dan fokus memperhatikan Bunda. Tidak ada kata iri, namun mereka senang melihat Bunda ceria.
“Sedikit saja, Tan. Zeline takutnya gak habis,” ujar Zeline. Bunda terlalu banyak menaruh lauk di atas piring Zeline membuat perempuan berambut pirang itu tak enak hati, apa lagi sedari tadi mereka berdua diperhatikan terus.
“Gak papa sayang, habiskan saja. Bunda malah senang.”
“Tapi Tan—”
“Gak papa, Kak. Habiskan saja, Bibi tidak menaruh racun kok.”
Nizzar itu memang mudah beradaptasi dengan orang, semua keluarganya juga seperti itu. Lihat saja Bunda, mereka saja baru pertama kali bertemu Bunda sudah antusias sekali.
Zeline juga tak enak hati, mereka sudah sangat baik. Akhirnya ia hanya mengangguk untuk mengiyakan.
“Kalian juga pada makan dong, sedari tadi lihat Bunda terus. Gale juga, lihat Bunda apa lihat Zeline terus?” Sedikit menggoda Gale mungkin lebih menyenangkan, batin Bunda.
“Lihat Bunda yang cantik tiada tara,” jawab Gale lalu mulai menyuapkan satu sendok kemulutnya.
Setelah makan, Gale dan Zeline langsung mengumpulkan bahan dan alat. Mereka mengerjakannya di ruang tamu di temani oleh Nizzar yang ikut mengerjakan tugas dari sang Bunda.
“Pake lem G atau lem tembak, Gal?” tanya Zeline memegang dua lem yang berbeda.
“Pake lem G aja, soalnya kalo pake lem tembak lama keringnya. Nanti lo yang megang, gue yang ngasih lemnya.”
Zeline mengangguk, mereka menata rapi bahan dan alat-alat yang digunakan untuk menjadikan dokumentasi nantinya.
“Zar sibuk gak?” tanya Gale pada Nizzar yang masih berkutat dengan tugasnya.
“Lagi dikit, emang kenapa? Butuh bantuan?”
Gale mengangguk, “Bantuin foto aja, entar gue kasih lego sebagai hadiahnya.”
“Oke, tunggu bentar.”
Selagi menunggu Nizzar, Gale melihat sketsa miniatur rumah di internet sebagai bahan contoh.
“Mau yang ini atau yang ini?” tanya Gale pada Zeline memperlihatkan dua sketsa yang berbeda.
“Ini aja, alasannya terlihat minimalis seperti bangunan eropa. Untuk halaman depannya kita kasih rerumputan segar agar terlihat asri,” jawab Zeline.
Jawaban Zeline membuat Gale sangat puas. Tuhkan benar, Zeline itu pintar tidak mungkin merepotkan dirinya. Pemikiran Zeline juga luas dan memiliki ide yang bagus.
“Kita jadikan contoh tapi jangan menirunya. Kita ambil dari segi minimalis dan ada kesan eropanya,” lanjut Zeline membuat Gale tersenyum bangga.
“Gue udah selesai, ponsel lo mana?” ujar Nizzar lalu Gale memberikan ponselnya.
“Gue cuma ngambil beberapa foto disetiap tahapnya, lo ngambil angelnya yang bagus. Intinya gue percayain semuanya ke lo,” ujar Gale percaya penuh kepada Nizzar.
Nizzar itu pandai mengambil foto, oleh itu Gale sangat percaya dengannya.
“Lo pegang yang ini ya, Lin. Nanti kita tinggal satuin aja dari beberapa stik es krim yang kita satukan jadi tiga bagian.”
KAMU SEDANG MEMBACA
AUTOPHILE : Mental Health ✔
Teen FictionAku bukan Anisa! Aku adalah Zeline. Zeline Laiba bukan Anisa Laiba. Kita saudara, tapi kita tak sama. Diamku bukan aku takut, melainkan aku malas meladeni semua kemauanmu. Aku adalah aku, bukan Anisa atau yang lainnya. Paham? Zeline hidup dalam ma...