Pembuka; Lugas Jendral Dhanandyaksa

2.8K 286 18
                                    

Katanya, setiap yang lahir akan selalu menghantarkan kebahagiaan, selalu disambut dengan senyuman dan dekap penuh kehangatan.

Lalu, Ayah, Bunda, apa dulu kalian juga begitu saat menyambutku? Saat kalian belum tahu kenyataan pahit pada salah satu buah cinta kalian.

Katanya, semesta selalu punya rencana untuk setiap insan, termasuk aku. Jadi, yang ini termasuk rencana itu ya? Rencana yang kata orang-orang istimewa.

Istimewa, haha.

Bukankah mereka seharusnya jujur saja? Tidak perlu memperhalus bahasa untuk kata yang tidak akan pernah berubah maknanya.

Aku lahir karena percaya pada semesta yang menjanjikan bahagia. Tetapi ternyata sang dirgantara ingkar, dia lebih suka memberikan luka bahkan sebelum aku tahu apa-apa.

Semesta lebih suka melihatku tersungkur dan tersudut. Tertatih dalam mencari makna hidup, berdarah ketika mencoba mencari sebuah penerimaan, sendirian.

Aku sudah mendaki hingga patah, berulang kali tersesat ketika mencari jalan pulang. Sampai akhirnya aku lupa, pulang itu yang bagaimana. Rumahku itu.. yang mana?

***

"Aku mau cerai."

Angin yang berhembus sedang menyampaikan sebuah sapaan kasar, mengudara jauh dan cepat sekali menerobos ruang rungu dua anak laki-laki yang bahkan belum bisa makan dengan benar itu. Dua kata yang terlontar barusan menimbulkan rasa sakit yang teramat jika saja mereka sudah mengerti apa artinya.

Sayangnya, hanya tatapan penuh kebingungan yang diberikan. Dua pasang mata itu saling beradu pandang, sama-sama bertanya mungkin. Harus sedikit disyukuri, mereka masih terlalu kecil ketika kata diucapkan didepan mereka tanpa penyesalan.

"Kita bicarakan nanti, ada anak-anak."

Jendral dan Hasta saling pandang, linglung dan nampak lebih bingung dari sebelumnya. Ada apa ini?

"Tinggal talak aku dan semua selesai. Dia aja gak mau ngurus anak cacat itu, kenapa kita harus?" Bunda berujar serius sambil menyerahkan sebuah surat kearah Ayah.

"Kita masih bisa bicarakan ini baik-baik." Ayah berbicara dngan nada tenang, "Bilang letak salahku dimana. Ini enggak harus berakhir dengan cerai.

"Dari awal kamu udah salah." Bunda menyahut cepat, "Keputusan kamu yang gegabah itu, itu semua kesalahan kamu."

"Kita berhasil besarin mereka sama-sama. Kenapa kamu baru permasalahin hal itu sekarang?" Ayah bertanya dengan nada tenang, mata sayunya menatap Bunda penuh tanya.

"Karena aku pikir kamu bakal ngertiin aku! Tapi nyatanya apa? Yang aku dapet cuma keegoisan kamu!" Bunda menyahut marah.

"Bilang letak keegoisanku dimana," Ayah memegang bahu Bunda, menatap mata Bunda penuh penuntutan. "Kita gak harus berakhir kayak gini, Ann. Anak-anak masih kecil."

"Justru itu," Bunda menyentak, "Selagi mereka belum dewasa dan mengerti ayo cerai. Aku putusin, aku mau pergi."

"Kenapa baru sekarang?" Ayah akhirnya mengalah, melepaskan cengkeramannya pada bahu Bunda.

"Kamu yang selalu nahan aku! Tunggu Manggala besar! Tunggu Hasta ini, tunggu Jendral itu." Bunda menatap Ayah marah, "Kamu pikir selama ini aku ngurus mereka karena apa? Kamu berharap aku bakal sayangin mereka? Nggak! Aku cuma pengen segera pergi dari sini!"

SenandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang