14 : I Pray You Never Know

980 163 31
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.
.
.

WAKTU menunjukkan pukul tujuh malam saat Jendral sudah selesai menata masakannya diatas meja makan. Anak laki-laki itu memasak dengan suasana hati yang ceria, senyumnya mengembang penuh dan sesekali kepalanya ikut bergoyang mengikuti musik yang sengaja dia setel lirih untuk membunuh keheningan.

Rumah besar milik keluarga Dhanandyaksa ini lebih sering dihantui keheningan. Seolah-olah suasana hangat dalam rumah ini turut lenyap setelah satu-satunya wanita yang ada pergi tanpa meninggalkan jejak yang tersisa kecuali luka, bagi Bastian juga anak-anaknya. Anne membawa banyak hal dari dalam rumah ini, kehangatan, keceriaan, dan tentunya kasih sayang Ayah- khususnya bagi Jendral yang merasa bahwa Ayah memang berubah total.

Sedangkan bagi Bastian, kehangatan rumah ini memang sudah menghilang sejak lama, bukan semenjak Anne pergi- melainkan saat dia menerima kehadiran Jendral di rumah ini. Selalu ada ingatan dan perasaan sakit luar biasa dalam hati Bastian saat melihat anak tengahnya itu tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa. Selalu ada hal yang membuat dada Bastian sesak hanya karena melihat Jendral berada di rumah ini.

Sesuatu yang tak jarang ia ledakkan, sehingga tak jarang anak itu yang menjadi korban.

Bastian melempar jasnya dengan asal, sukses membuat Jendral yang sedang fokus pada makanannya segera memutar badan untuk menatap Bastian. Anak itu kemudian buru-buru mematikan lagu yang terputar diponselnya dan kemudian tergopoh-gopoh menyambut Bastian.

"Tumben Ayah sudah pulang?"

Bastian melirik Jendral yang berdiri sambil menggerakkan tangannya, laki-laki itu menatap anaknya sebentar. Kemudian fokus menuangkan air putih ke dalam gelas dan menegaknya hingga tandas. Suara bantingan gelas yang beradu dengan meja kaca sukses membuat Jendral mendadak terdiam- anak itu seketika paham jika suasana hati Ayahnya sedang tidak baik.

"Panggilan Gala dan Hasta, saya mau makan sekarang."

Bastian mendudukkan dirinya di kursi paling ujung, menatap sekilas punggung Jendral yang sudah menghilang untuk melakukan perintahnya barusan. Tak lama, terdengar langkah kaki bersahutan. Dia melihat Manggala dan Hasta yang berjalan beriringan, dibelakangnya ada Jendral yang mengekor sambil membawa mangkok kotor.

Si sulung dan si bungsu segera mendudukkan diri ditempat mereka biasanya. Kemudian Jendral melangkah menuju wastafel untuk meletakkan mangkok kotor dan kemudian membawa lauk untuk makan malam ini- salah satu masakan kesukaan Hasta, udang saus mentega dan capcay. Anak itu tersenyum sambil meletakkan dua makanan itu. Kemudian dengan gesit menuangkan air putih digelas ketiganya.

"Selamat makan."

Jendral berkata dalam hati, kemudian memilih memundurkan langkah untuk mencuci bekas memasaknya dan membereskan dapur. Sekali-kali dia mencuri pandang kearah meja makan, kemudian kembali fokus pada pekerjaannya. Anak laki-laki itu sudah biasa makan setelah semua anggota keluarganya selesai, terlalu sungkan untuk bergabung karena semenjak dulu Bastian tidak pernah menawari apalagi membiarkan dirinya duduk bersama mereka.

SenandikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang